Teman Terbaik
Kawan, ingin aku bercerita tentang teman terbaik yang pernah kumiliki. Ayah mengenalkan aku dengannya sewaktu usiaku baru menginjak tiga tahun. Meski belum banyak mengerti, aku masih ingat kata-kata ayah, “Kapanpun dan dimanapun, jadikanlah ia peganganmu, insya Allah kamu akan selamat”. Setelah saat itu, aku mulai rajin untuk mengenalnya. Kemana pergi selalu kuajak serta. Ia bukan saja teman terbaik bagi diriku, tapi juga teman terbaik bagi semua orang, begitu cerita ibu.
Ia tidak pernah meminta diajak serta, karena semestinya kita yang membutuhkan keberadaannya kemanapun kaki melangkah. Senantiasa memberi jawaban atas semua tanya, mengoleskan kesejukan untuk setiap hati yang gersang. Bagi yang gelisah dan gundah, ia akan menjadi obat yang mujarab yang mampu memberikan ketenangan. Ia juga menjadi pelipur lara bagi yang bersedih. Tanpa diminta, jika kita mau, ia selalu menunjukkan jalan yang benar dengan cara yang sangat arif. Ikuti jalannya jika mau selamat atau tak perlu hiraukan peringatannya asal mau dan sanggup menanggung semua resikonya. Ia tak pernah memaksa kita untuk mematuhinya, karena itu bukan sifatnya.
Tutur katanya, indah menyejukkan, menyiratkan kebesaran Maha Pujangga dibalik untaian goretan barisan hikmah padanya. Tak ada yang sehebat ia dalam bertutur, tak ada pula yang seindah ia dalam bersapa. Hingga akhirnya, setiap yang mengenalnya, senantiasa ingin membawanya serta kemanapun. Tak peduli siang, malam, terik ataupun mendung, ia kan setia menemani. Cukup hanya dengan menyelami kedalamannya, tak terasa setitik air bening mengalir dari sudut mataku. Hingga satu masa, aku begitu mencintainya. Sungguh tiada tanding Maha Pujangga pencipta teman terbaikku ini.
Sebegitu dekatnya kami berdua, sehingga melewati satu hari pun tanpanya, hati akan kering, gersang dan merinduharu. Ada kegetiran yang terasa menyayat saat tak bersamanya, bahkan pernah aku tersesat, sejenak kemudian aku teringat pesan-pesannya, hingga aku terselamatkan dari kesesatan yang menakutkan. Di waktu lain, aku berada di persimpangan jalan yang membuatku tak tahu menentukan arah melangkah, berkatnyalah aku menemukan jalan terbaik. Entah bagaimana jika ia tak bersamaku saat itu.
Kawan, maukah mendengarkan betapa kelamnya satu masaku tanpa teman terbaikku itu?
Mulanya hanya lupa tak membawanya serta ke satu tempat. Esoknya sewaktu ke tempat yang berbeda, aku tak mengajaknya serta, karena kupikir, untuk ke tempat yang satu ini, saya merasa tak pantas membawanya serta. Saat itu saya lupa pesan ayah, “jika tak bersamanya, keselamatanmu terancam”. Esok hari dan seterusnya, entah lupa entah sudah terbiasa teman terbaik itu tak pernah lagi kuajak serta. Kubiarkan ia berhari-hari bersandar di salah satu sudut kamarku. Satu minggu, bulan berlalu dan tahun pun berganti, aku semakin lupa kepadanya, padahal ia senantiasa setia menungguku dan masih di sudut kamar hingga berdebu.
Hingga satu masa, bukan sekedar lupa. Bahkan aku mulai malu untuk mengajaknya. Disaat yang sama, semakin tak sadar jika diri ini telah jauh terseret dari jalur yang semestinya. Tapi aku tidak perduli, pun ketika seorang teman menyampaikan teguran dari teman terbaikku agar aku memperbaiki langkahku. Kubilang, ia cerewet! Terlalu mencampuri urusanku.
Begitulah kawan, Anda pasti sudah tahu akibatnya. Langkahku terseok-seok, pendirianku goyah hingga akhirnya tubuhku limbung. Mata hati ini mungkin telah mati hingga tak mampu lagi membedakan hitam dan putih. Semakin dalam aku terperosok, tanganku menggapai-gapai, nafasku sesak oleh lumpur dosa. Disaat hampir sekarat itu, mataku masih menangkap sesosok kecil yang penuh debu, disaat kurebahkan tubuh di kamar.
Ya! Sepertinya aku pernah mengenalnya. Teman yang pernah dikenalkan ayah kepadaku dulu. Ia yang pernah untuk sekian lama setia menemaniku kemana aku pergi. Teman terbaik yang pernah kumiliki, ia masih setia menungguku di sudut kamar, dan semakin berdebu. Kuhampiri, perlahan kusentuh kembali. “Jangan ragu, kembalilah padaku. Aku masih teman terbaikmu. Ajaklah aku kemanapun pergi” kuat seolah ia berbisik kepadaku dan menarik tanganku untuk segera menyergapnya. Ffuihh…!!! kuhempaskan debu yang menyelimutinya dengan sekali hembusan. Nampaklah senyum indah teman terbaikku itu.
Ingin kumenangis setelah sekian lama meninggalkannya. Ternyata, ia teramat setia jika kita menghendakinya. Kini, bersamanya kembali kurajut jalinan persahabatan. Aku tak ingin lagi terperosok, tersesat, terseok-seok hingga jatuh ke jurang yang pernah dulu aku terjatuh. Jurang kesesatan. Bersamanya, hidupku lebih damai terasa. Satu pesanku untukmu kawan, kuyakin masing-masing kita memiliki teman terbaik itu. Jangan pernah meninggalkannya, walau sesaat. Percayalah. Wallaahu ‘a’lam bishshowaab. (Bayu Gaw)
Buat Papa, terima kasih telah mengenalkanku dengan ayat-ayat-Nya.