Ketika mobil berhenti di sebuah traffic light, berhamburanlah para pengemis, pedagang asongan, dan anak jalanan, menghampiri setiap mobil yang antri menunggu lampu hijau menyala. Tak lama kemudian, seorang pengemis mengetuk kaca jendela mobil saya sambil menengadahkan tangannya. Wajahnya pucat, lumayan kumal dan terlihat sangat menderita. “Ah biasa pengemis, memang harus berpenampilan seperti itu bukan ?”
Kurang beruntung baginya, karena saya tak mendapatkan uang receh di mobil. Biasanya, selalu ada beberapa lembar uang ribuan berserakan di sekitar dashboard mobil, yang sengaja disediakan entah untuk pengemis maupun parkir. Tangan saya pun terangkat mengisaratkan penolakan kepada pengemis itu. Wajahnya terlihat semakin memelas, gurat kekecewaan sangat jelas tergambar. Tetapi lagi-lagi hati ini berkata, “Kalau nggak begitu, nggak akan ada yang bakal merasa iba …”
Meski akhirnya saya memberinya selembar uang lima ribuan, namun sepanjang beberapa menit menunggu di traffic light itu pula saya sempat menghitung jumlah mobil di depan, juga beberapa mobil yang terlihat dari kaca spion di belakang mobil saya. Kisarannya, tak kurang dari empat puluh mobil dari tiga ruas jalan dan sepanjang antrian siang itu. Hitungan pun berlanjut, dengan asumsi seperempat dari jumlah mobil itu memberi minimal seribu rupiah saja, berarti sepuluh ribu yang di dapat pengemis itu untuk sekali putaran traffic light. Berapa pun jumlah pengemis di situ, akan lebih menakjubkan lagi menghitung berapa kali traffic light menyala sepanjang hari, berapa ribu jumlah mobil yang berhenti dan melintasi jalan itu, “Wah wah wah… , banyak sekali uang yang bakal diperoleh para pengemis itu setiap harinya. Pantas saja mereka tetap bertahan dengan profesi itu, mungkin karena mereka bisa mendapatkan uang begitu mudahnya. Wajar saja mereka rela menggantang matahari dan menerjang hujan jika hasil yang diperolehnya lumayan besar … “
Sambil memacu mobil selepas lampu hijau menyala, saya tak henti berpikir, “enak juga ya jadi pengemis, nggak pakai mikir, nggak perlu beli baju bagus, nggak bayar pajak pula, tapi penghasilannya besar”.
Tetapi tak lama kemudian saya tersadar ketika melihat wajah saya di kaca spion dalam. Mobil pun saya hentikan sejenak, kembali saya berkaca lagi. Ah, dengan wajah seperti ini, dengan pakaian yang senantiasa rapih, apalagi dengan mobil bagus yang tidak semua orang mampu memilikinya, kenapa saya harus iri kepada para pengemis itu? Pantaskah saya mempermasalahkan berapa banyak uang yang akan didapat oleh seorang pengemis?
Belum tentu mereka benar-benar mendapatkan jumlah uang sesuai dengan hitungan matematis saya di atas. Pun mereka mendapatkan jumlah yang banyak pada hari ini, apakah besok masih bisa mendapatkan jumlah yang sama atau lebih? Buktinya, bertahun-tahun mereka mengemis tak ada yang berubah nasibnya, tetap saja menjadi pengemis. Bahkan kalau perlu, bakat dan profesinya itu diturunkan kepada anak-anaknya.
Astaghfirullah… terlepas bahwa mereka tak memiliki pengetahuan mengelola keuangan, tak pernah merancang visi agar di tahun-tahun yang akan datang tak lagi menjadi pengemis, tetap saja tak pantas saya merasa iri terhadap mereka. Justru sebaliknya, saya harus bersyukur memiliki segalanya. Bersyukur karena yang mengetuk-ngetuk jendela kaca itu bukan saya, bukan anak-anak saya.
Maafkan saya ya Allah … hamba sering lupa bersyukur atas nikmat-Mu.
Gaw
(sebuah inspirasi dari cerita seseorang di Jakarta)
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Wednesday, April 30, 2008
Tuesday, April 29, 2008
Kearifan Penjual Kue Pukis
Perlahan tangan kekar itu menuangkan adonan kue ke loyang kue yang beruas-ruas. Setelah rata dan semua ruas terisi, sebelah tangan lainnya mengambil penutup loyang dan meletakan di atasnya rapat-rapat. Beberapa menit kemudian, ia kembali membuka penutupnya dan mulai mengangkat satu persatu kue yang sudah masak dengan pengungkit kecil, satu, dua, tiga dan seterusnya seraya memindahkan kue-kue itu ke tempat khusus yang sudah disediakan.
Di sebelah lelaki itu, seorang perempuan anggun bersanding. Lihai gerak tangannya bermain dengan sebilah capit, seperti sudah terlatih bertahun-tahun menggunakan alat tersebut. Tangan kirinya memegang plastik transparan ukuran setengah kilogram, dengan capit di tangan kanannya ia memasukkan serta menyusun kue-kue ukuran kecil itu. Terakhir, kedua tangannya melipat dan merekatkan ujung plastik dengan stepler. Tumpukan kue pukis yang sudah tersusun rapih itu tinggal menunggu berpindah tangan kepada para pembelinya.
Begitulah setiap sore hingga malam dua pasang tangan lihai bekerja, mulai dari membuat adonan kue, memasaknya, hingga menjualnya. Mereka terlihat akrab, bahkan mesra dalam kadar sewajarnya, sesekali tangan perempuan itu mengambil sehelai lap bersih untuk membasuh peluh di kening lelaki di sisinya. Kadang, si lelaki berganti menggoda makhluk manis di sebelahnya, sekadar untuk memelihara semangat berjualan di antara mereka berdua.
Setiap sore atau malam, sepulang kerja saya melewati sepasang suami isteri yang berjualan kue pukis itu. Ia menetap di sebuah rumah kontrakan kecil di tepi jalan Cinangka, Sawangan, Depok. Di depan kontrakannya itulah mereka menaruh harapan rezekinya, di meja berukuran 1 x 1,5 meter, dan sebuah kompor yang di atasnya terletak loyang kue pukis.
Suatu hari, saya membeli kuenya. Mereka sudah cukup hafal dengan motor yang saya tumpangi, juga cukup familiar dengan kalimat pertama yang terucap ketika saya membuka helm, “Assalaamu’alaikum…”
Ceria, ramah, dan penuh senyum. Itulah wajah keseharian keduanya setiap kali saya singgah.
Malam itu, “Tiga bungkus ya…” satu untuk di rumah, dua bungkus lagi untuk penjaga keamanan di komplek tempat tinggal saya. Saya sering merasa harus berterima kasih kepada banyak orang dalam menjalani kehidupan, tidak terkecuali para penjaga keamanan di komplek. Meski pun hanya sebatas makanan kecil yang kerap saya bawakan setiap kali melewati pintu gerbang.
Tiga bungkus kue di tangan, saya pun menyodorkan selembar uang duapuluh ribuan, sedangkan harga tiga bungkus kue itu sebesar sembilan ribu rupiah. Satu menit, dua menit, sampai lima menit, lelaki penjual kue itu mencari-cari uang seribu rupiah, sementara yang sepuluh ribunya sudah di tangannya. Saya melihat gelagat tak tersedia uang seribu rupiah itu, “Sudah pak, biar saja kembaliannya cukup sepuluh ribu saja.”
Sontak isterinya menjawab, “Wah, nggak bisa. Ini korupsi namanya. Kami tidak mau mengambil hak orang lain”.
“Lho, saya kan ikhlas…” tak mau kalah saya.
“Kalau begitu, terima ini….” Perempuan itu menyodorkan beberapa kue yang telah dimasukkannya ke dalam plastik, kira-kira pas untuk harga seribu rupiah.
Saya kembalikan kue itu, kemudian ia memaksa bahkan menjejalkan kue itu ke dalam helm saya. Lalu saya kembalikan lagi kuenya, “terima kasih, tapi saya ikhlas. Hanya seribu rupiah kok…”
“Benar ikhlas?” Saya mengangguk, ia pun menyerah seraya menengok kepada suaminya. Sang suami pun mengangguk.
***
Subhanallah. Seribu rupiah membuat seseorang begitu takut dianggap mengambil hak orang lain. Seribu rupiah begitu mengerikan di mata sepasang penjual kue pukis. Dan meski hanya seribu rupiah, tak mau ia mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Allah telah memberi nasihat langsung melalui penjual kue pukis. Motor pun melaju tenang, namun tak terasa bulir air bening meleleh di sudut mata ini. Astaghfirullahal adziim… (Gaw, penikmat kue pukis)
Di sebelah lelaki itu, seorang perempuan anggun bersanding. Lihai gerak tangannya bermain dengan sebilah capit, seperti sudah terlatih bertahun-tahun menggunakan alat tersebut. Tangan kirinya memegang plastik transparan ukuran setengah kilogram, dengan capit di tangan kanannya ia memasukkan serta menyusun kue-kue ukuran kecil itu. Terakhir, kedua tangannya melipat dan merekatkan ujung plastik dengan stepler. Tumpukan kue pukis yang sudah tersusun rapih itu tinggal menunggu berpindah tangan kepada para pembelinya.
Begitulah setiap sore hingga malam dua pasang tangan lihai bekerja, mulai dari membuat adonan kue, memasaknya, hingga menjualnya. Mereka terlihat akrab, bahkan mesra dalam kadar sewajarnya, sesekali tangan perempuan itu mengambil sehelai lap bersih untuk membasuh peluh di kening lelaki di sisinya. Kadang, si lelaki berganti menggoda makhluk manis di sebelahnya, sekadar untuk memelihara semangat berjualan di antara mereka berdua.
Setiap sore atau malam, sepulang kerja saya melewati sepasang suami isteri yang berjualan kue pukis itu. Ia menetap di sebuah rumah kontrakan kecil di tepi jalan Cinangka, Sawangan, Depok. Di depan kontrakannya itulah mereka menaruh harapan rezekinya, di meja berukuran 1 x 1,5 meter, dan sebuah kompor yang di atasnya terletak loyang kue pukis.
Suatu hari, saya membeli kuenya. Mereka sudah cukup hafal dengan motor yang saya tumpangi, juga cukup familiar dengan kalimat pertama yang terucap ketika saya membuka helm, “Assalaamu’alaikum…”
Ceria, ramah, dan penuh senyum. Itulah wajah keseharian keduanya setiap kali saya singgah.
Malam itu, “Tiga bungkus ya…” satu untuk di rumah, dua bungkus lagi untuk penjaga keamanan di komplek tempat tinggal saya. Saya sering merasa harus berterima kasih kepada banyak orang dalam menjalani kehidupan, tidak terkecuali para penjaga keamanan di komplek. Meski pun hanya sebatas makanan kecil yang kerap saya bawakan setiap kali melewati pintu gerbang.
Tiga bungkus kue di tangan, saya pun menyodorkan selembar uang duapuluh ribuan, sedangkan harga tiga bungkus kue itu sebesar sembilan ribu rupiah. Satu menit, dua menit, sampai lima menit, lelaki penjual kue itu mencari-cari uang seribu rupiah, sementara yang sepuluh ribunya sudah di tangannya. Saya melihat gelagat tak tersedia uang seribu rupiah itu, “Sudah pak, biar saja kembaliannya cukup sepuluh ribu saja.”
Sontak isterinya menjawab, “Wah, nggak bisa. Ini korupsi namanya. Kami tidak mau mengambil hak orang lain”.
“Lho, saya kan ikhlas…” tak mau kalah saya.
“Kalau begitu, terima ini….” Perempuan itu menyodorkan beberapa kue yang telah dimasukkannya ke dalam plastik, kira-kira pas untuk harga seribu rupiah.
Saya kembalikan kue itu, kemudian ia memaksa bahkan menjejalkan kue itu ke dalam helm saya. Lalu saya kembalikan lagi kuenya, “terima kasih, tapi saya ikhlas. Hanya seribu rupiah kok…”
“Benar ikhlas?” Saya mengangguk, ia pun menyerah seraya menengok kepada suaminya. Sang suami pun mengangguk.
***
Subhanallah. Seribu rupiah membuat seseorang begitu takut dianggap mengambil hak orang lain. Seribu rupiah begitu mengerikan di mata sepasang penjual kue pukis. Dan meski hanya seribu rupiah, tak mau ia mengambil sesuatu yang bukan haknya.
Allah telah memberi nasihat langsung melalui penjual kue pukis. Motor pun melaju tenang, namun tak terasa bulir air bening meleleh di sudut mata ini. Astaghfirullahal adziim… (Gaw, penikmat kue pukis)
Wednesday, April 23, 2008
Cermin untuk Diri
Saya ingat seorang teman ketika saya pernah bekerja di sebuah perusahaan besar -maaf saya tidak menyebutkan nama perusahaan ini-.Ia orang yang sangat 'rajin' mengomentari, memberikan usul, mengritik tugas dan pekerjaan teman-temannya (termasuk saya yang sering jadi korbannya).
Setiap ada kesempatan meeting manajemen, ia selalu antusias untuk mengomentari pekerjaan semua teman2 di lain divisi. Sebenarnya sih, sebagian komentar dan kritiknya bagus dan bisa diterima. Bahkan kadang ia sendiri berinisiatif membantu pekerjaan teman yang lain.
Yang jadi masalah, justru nyaris semua pekerjaannya sering tidak pernah selesai. Ia begitu rajin mengritik -bahkan mengerjakan pekerjaan yang bukas tugasnya- namun tugas utamanya malah dilalaikan.
Hikmahnya, coba deh lihat diri kita. Kadang kita -termasuk saya- sering lupa pada hal-hal utama yang seharusnya menjadi perhatian kita sendiri, tetapi sebaliknya mata dan telunjuk ini terkesan lebih mudah melihat dan menunjuk orang lain, membeberkan ketidakberesan rekan
sendiri. Padahal belum satupun tugas dan kewajiban utama kita terselesaikan.
catatan lain, teman saya ini, dengan karakternya yang demikian, ternyata tidak berumur lama bekerja di tempat saya bekerja. So, mari sama-sama benahi diri, sebelum banyak berkomentar tentang diri dan pekerjaan orang lain.
Terima kasih
maaf jika kurang berkenan, ini hanya renungan untuk diri sendiri
Gaw
Setiap ada kesempatan meeting manajemen, ia selalu antusias untuk mengomentari pekerjaan semua teman2 di lain divisi. Sebenarnya sih, sebagian komentar dan kritiknya bagus dan bisa diterima. Bahkan kadang ia sendiri berinisiatif membantu pekerjaan teman yang lain.
Yang jadi masalah, justru nyaris semua pekerjaannya sering tidak pernah selesai. Ia begitu rajin mengritik -bahkan mengerjakan pekerjaan yang bukas tugasnya- namun tugas utamanya malah dilalaikan.
Hikmahnya, coba deh lihat diri kita. Kadang kita -termasuk saya- sering lupa pada hal-hal utama yang seharusnya menjadi perhatian kita sendiri, tetapi sebaliknya mata dan telunjuk ini terkesan lebih mudah melihat dan menunjuk orang lain, membeberkan ketidakberesan rekan
sendiri. Padahal belum satupun tugas dan kewajiban utama kita terselesaikan.
catatan lain, teman saya ini, dengan karakternya yang demikian, ternyata tidak berumur lama bekerja di tempat saya bekerja. So, mari sama-sama benahi diri, sebelum banyak berkomentar tentang diri dan pekerjaan orang lain.
Terima kasih
maaf jika kurang berkenan, ini hanya renungan untuk diri sendiri
Gaw
Subscribe to:
Posts (Atom)