Sholat subuh berjamaah pagi ini terasa sangat indah. Bukan karena rembulan bulat penuh yang mengiringi langkah-langkah saya menuju masjid, bukan karena semilir angina fajar yang merasuk menjalari celah-celah pakaian, serta bukan karena panggilan adzan nan merdu yang senantiasa terdengar dari corong masjid di lingkungan tempat tinggal saya itu.
Rembulan fajar berwarna kuning kemerah-merahan sudah hampir setiap hari menemani langkah para jamaah. Ia kadang hadir sebulat penuh, meski kadang malu mengintip dengan sepertiga tubuhnya saja. Namun bulat penuh maupun separuhnya, tetaplah indah. Demikian pula dengan angin yang menembus tipis jaket atau gamis yang dipakai para jamaah, udara pagi itu juga membawa serta aroma fajar yang menyejukkan. Siapa pun yang mengayunkan langkah di waktu itu, akan memanfaatkannya dengan menghirup panjang udara bersih anugerah Allah. Bagus untuk kesehatan, terlebih buat seorang pengidap asma seperti saya.
Tetapi subuh pagi ini terasa lebih indah bukan karena semua keindahan fajar yang biasa dinikmati setiap hari itu. Subuh ini, begitu melangkahkan kaki menaiki anak tangga, belum sempat melakukan shalat sunnah, sesuatu terasa aneh di perut saya yang memaksa tubuh ini berlari ke area tempat wudhu dan segera mencari toilet. Entah apa yang saya makan semalam sehingga perut terasa mulas dan harus menyelesaikannya di toilet masjid.
Ternyata butuh waktu agak lama untuk menghilangkan rasa mulas itu, saya pun berpikir akan tertinggal jamaah. Segera setelah selesai dan mengambil wudhu, tubuh ini pun saya paksa untuk berlari – lebih cepat dari saat tadi menuju toilet- agar tidak tertinggal jamaah. Sedetik kemudian, saya merasa terharu dengan apa yang saya lihat dalam hitungan detik itu. Sejak saya keluar dari toilet, kemudian saya berwudhu hingga terus berlari ke dalam masjid, posisi barisan jamaah dalam keadaan ruku’. Sehingga ketika saya merapatkan barisan dalam jamaah, saya masih mendapatkan nilai jamaah dalam sholat saya.
Sungguh, saya berterima kasih dengan Pak Wahid, salah seorang warga baru yang menjadi imam subuh pagi ini. Saya memang tidak bertanya langsung apakah beliau sengaja memperlama ruku’ untuk menunggu saya atau karena hal lain. Yang pasti sampai usai sholat subuh bibir ini masih tertutup rapat tak melayangkan pertanyaan itu, bahkan ketika kami semua satu persatu beranjak dari masjid, pertanyaan itu menyelinap dalam-dalam di sisi tercuram hati ini.
Biarlah saya yang terus mengagumi keindahan subuh dan menuangkannya dalam tulisan ini. Berharap ragam keindahan subuh, juga di waktu-waktu shalat berjamaah lainnya terus bertumbuh layaknya bunga-bunga yang merekah di musim semi, seolah musim gugur takkan pernah terjadi. (gaw)
2 comments:
wah ternyata begini toh sejarah sakit diare kemarin
alhamdulillah sudah sembuh ya mas :)
Post a Comment