Beberapa hari yang lalu, ada seseorang menelepon ke kantor ACT, “Pak, saya berapa harga seekor kambing qurban melalui ACT?”
Setelah mendapat jawaban dari seorang petugas ACT, bahwa harga seekor kambing qurban Rp. 775.000,- sedangkan sapi atau kerbau Rp. 5.750.000,-/ekor, perempuan yang menelepon itu bertanya kembali, “uang saya hanya Rp. 350.000,- apakah saya bisa ikut berqurban?”
Sejenak terdiam, petugas ACT itu langsung menjawab lugas, “Bisa bu, tidak perlu khawatir. Dengan uang sebesar itu ibu akan tetap bisa berqurban,” jelasnya dengan sopan dan meyakinkan.
Memang, jumlah uang yang disebutkan perempuan di seberang telepon itu tidak mencukupi untuk harga seekor kambing, bahkan separuhnya pun tidak. Menjadi tugas kami untuk menjaga semangat berqurban setiap orang, sebab teramat banyak orang yang berkeinginan bahkan menjadikan qurban sebagai salah satu cita-cita tertingginya. Namun karena alasan keterbatasan ekonomi dan kebutuhan lainnya yang dianggap lebih mendesak, maka kesempatan berqurban pun seringkali menguap begitu saja dengan satu harapan, “Insya Allah tahun depan bisa berqurban”.
Masalahnya kemudian, peristiwa setiap tahun menjelang hari raya qurban selalu berulang. Kejadiannya pun persis sama dengan tahun-tahun sebelumnya, kesempatan berqurban terkalahkan oleh kebutuhan primer lainnya. Harapan “tahun depan insya Allah bisa berqurban” selalu menjadi harapan yang terus diperbaharui setiap usai hari raya Idul Qurban.
Berqurban adalah hak sekaligus keinginan, mimpi dan cita-cita setiap orang yang beriman. Meski pada akhirnya, berqurban bagi sebagian besar orang tetap sebatas keinginan, masih menjadi mimpi dan sekadar cita-cita yang entah kapan kan terwujud. Namun meski sekadar memiliki keinginan, punya mimpi dan cita-cita berqurban, itu sudah lebih baik daripada tidak ada niat sedikit pun untuk berqurban. Selama keinginan dan mimpi itu terus terpatri dalam jiwa dan tak pernah lekang digerogoti waktu, maka suatu waktu di tahun yang akan dating seseorang sangat mungkin melumuri tangannya dengan darah qurbannya sendiri.
Kewajiban kita bersama untuk sama-sama menjaga agar keinginan, mimpi dan cita-cita berqurban setiap orang tetap bersemayam, hingga akhirnya mimpi itu menjadi kenyataan. Seperti yang kami lakukan kepada ibu yang bertanya, apakah ia bisa berqurban hanya dengan jumlah uang yang kurang dari separuh harga qurban. Sungguh, segenap keyakinan kami ingin mengatakan bahwa ibu yang memiliki niat dan tekad kuat berqurban dengan uang yang seadanya itu, sesungguhnya sudah mendapatkan nilai berqurban meski hari raya Idul Qurban masih jauh.
Allah dan para Malaikat-Nya senantiasa tersenyum menyaksikan setiap hamba yang secara ikhlas menanamkan sebiji zarah niat kebaikan, sekali lagi, sebiji zarah niat kebaikan. Meski baru sebatas niat dan keinginan kuat untuk melakukan sebuah kebaikan, tentu sangat bernilai di mata Allah.
Kita sadari, tak satu pun diantara kita yang bisa mengklaim bahwa ibadah siapa yang akan diterima Allah. Seperti halnya tak satu pun dari kita yang boleh menyebut diri paling bertaqwa di mata Allah. Belum tentu infak yang kita keluarkan setiap hari lebih bernilai dari infak seseorang yang hanya melakukannya sekali seumur hidupnya. Tidak ada jaminan jumlah sedekah yang banyak lebih membuat Allah tersenyum dibanding uang receh yang disedekahkah seorang kaum dhuafa. Begitu juga dengan ibadah-ibadah lainnya, seperti shalat, puasa, haji, juga qurban.
Hewan qurban siapa yang paling bernilai di mata Allah? Tentu semua kita berharap persembahan qurban kita lah yang lebih bernilai. Namun hak prerogatif penilaian tetap terletak di tangan Allah. Hanya Allah sahaja yang tahu, dan kita hanya bisa berusaha melakukan yang terbaik, menjaga keikhlasan hati, serta meluruskan niat di setiap aktifitas ibadah kita.
Oya, boleh jadi, meski uangnya tak seharga seekor kambing. Justru ibu itulah yang detik ini sudah menggenggam pahala berqurban dari Allah SWT, meski pun hari raya Idul Adha masih beberapa hari lagi. Wallahu ‘a’lam (gaw)
***
Berqurban melalui program QURBANKU untuk korban bencana. Salurkan melalui rekening (atas nama Yayasan Aksi Cepat Tanggap):
BCA 676 030 3133 (swift code: Cenaidja)
BSM 004 011 9999
Mandiri 128 000 4555 808
Muamalat 304 002 2915
BNI Syariah 009 611 0239
ACT – Aksi Cepat Tanggap
Perkantoran Ciputat Indah Permai Blok B-8
Jl. Ir. H. Juanda No. 50, Ciputat 15419
Informasi dan layanan jemput: Andhika
021-7414482 ext 108
021-7061 4482
email: qurban@aksicepattanggap.com
www.aksicepattanggap.com
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Thursday, November 29, 2007
Wednesday, November 28, 2007
Bosan Jadi Penerima Daging Qurban
Tahun lalu, seorang sahabat bertandang ke rumah dan mengungkapkan satu keinginan orang tuanya. “Ibu saya bilang sudah bosan menjadi penerima daging qurban. Ibu ingin sekali tahun depan keluarga kami bisa menyembelih seekor hewan qurban,” begitu lirih sahabat saya.
Saya menyentuh tangannya, memegangnya erat-erat sambil berkata, “kamu bisa mewujudkan keinginan ibumu. Tahun depan itu masih ratusan hari lagi, dan sangat mungkin itu bisa terealisasi,” saya menepuk semangatnya.
Apa yang terjadi setelah hampir satu tahun kemudian adalah sesuatu yang sudah bisa terduga. Belum lama ia menelepon dan bertanya tentang harga seekor kambing untuk qurban. “Saya punya tabungan delapan ratus ribu, apakah sudah cukup untuk membeli seekor kambing?” tanyanya bersemangat. Tentu saja uang sejumlah itu sudah lebih dari cukup untuk seekor kambing.
Ia pun membawa kabar gembira itu kepada ibunya di rumah dan mengatakan akan segera ada hewan qurban di rumah itu. Semua anggota melonjak kegirangan dan air mata bahagia tak tertahankan tumpah ruah bersamaan dengan datangnya kabar tersebut. Bahwa ia, sahabat saya itu, lelaki satu-satunya di keluarga itu semenjak sang Ayah berpulang sebelas tahun yang lalu, akhirnya bisa mewujudkan mimpi sang ibu untuk berqurban.
Menurutnya, lantaran keluarga mereka termasuk dalam kategori keluarga miskin, maka setiap tahun pula mereka selalu mendapatkan jatah zakat fitrah maupun daging qurban. Bahkan setiap kali ada perayaan hari besar Islam yang menyertakan acara santunan bagi anak-anak yatim piatu, ia beserta ketiga adiknya tak pernah terlewat dalam catatan panitia penyelenggara sebagai penerima santunan. Tidak hanya itu, bahkan sang ibu pun masuk dalam daftar penerima, dengan status janda miskin.
Tahun ini, merupakan tahun paling membahagiakan di keluarga itu. Bayangkan, bukan bermaksud menyombongkan diri jika di hari raya Idul Adha nanti keluarga ini akan menolak kiriman daging qurban dari panitia di masjid. Dengan sedikit bangga mereka akan berkata, “Terima kasih, kami keluarga pequrban. Silahkan berikan kepada yang lain yang lebih berhak”.
Kalimat bangga semacam ini pula yang belum lama ini mereka miliki menjelang hari raya Idul Fitri. Keluarga itu memohon kepada panitia zakat untuk tak memasukkan namanya dalam daftar mustahik tahun ini. Dan luar biasa, hal itu memang mereka lakukan karena keinginan kuat mereka untuk memerbaiki kualitas dan taraf hidup mereka. “Siapa yang mau seumur hidup menyandang status fakir miskin? Kami harus berubah”.
Sepakat dengan semangat keluarga ini. Bagaimana pun hidup dibayangi belas kasihan orang lain tetaplah tidak nyaman. Senikmat-nikmatnya makanan adalah yang dihasilkan dari jerih payah dan hasil memeras keringat sendiri, bukan dari pemberian orang lain, bukan dari usaha tangan di bawah alias meminta-minta.
Si Sulung, sahabat saya ini pun membawa keluarganya pada posisi yang lebih terhormat. Mereka bukan lagi golongan mustahik, melainkan muzakki. Ia senantiasa bersedekah dan berinfak, tak lagi berharap sedekah orang untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya. Dan di hari raya Idul Qurban tahun ini, keluarga ini benar-benar akan mengatakan, “kami bosan menjadi penerima daging qurban”.
Sungguh, berinfak, sedekah, membayar zakat, juga berqurban, tak semata menjalankan perintah Allah. Secara langsung semua aktifitas ‘tangan diatas’ ini serta merta meningkatkan derajat seseorang. Baik derajat ketaqwaan di mata Allah, maupun derajat sosial di mata masyarakat sekitarnya. Wallaahu ‘a’lam (gaw)
***
Berqurban melalui program QURBANKU untuk korban bencana, hubungi ACT 021-7414482
Saya menyentuh tangannya, memegangnya erat-erat sambil berkata, “kamu bisa mewujudkan keinginan ibumu. Tahun depan itu masih ratusan hari lagi, dan sangat mungkin itu bisa terealisasi,” saya menepuk semangatnya.
Apa yang terjadi setelah hampir satu tahun kemudian adalah sesuatu yang sudah bisa terduga. Belum lama ia menelepon dan bertanya tentang harga seekor kambing untuk qurban. “Saya punya tabungan delapan ratus ribu, apakah sudah cukup untuk membeli seekor kambing?” tanyanya bersemangat. Tentu saja uang sejumlah itu sudah lebih dari cukup untuk seekor kambing.
Ia pun membawa kabar gembira itu kepada ibunya di rumah dan mengatakan akan segera ada hewan qurban di rumah itu. Semua anggota melonjak kegirangan dan air mata bahagia tak tertahankan tumpah ruah bersamaan dengan datangnya kabar tersebut. Bahwa ia, sahabat saya itu, lelaki satu-satunya di keluarga itu semenjak sang Ayah berpulang sebelas tahun yang lalu, akhirnya bisa mewujudkan mimpi sang ibu untuk berqurban.
Menurutnya, lantaran keluarga mereka termasuk dalam kategori keluarga miskin, maka setiap tahun pula mereka selalu mendapatkan jatah zakat fitrah maupun daging qurban. Bahkan setiap kali ada perayaan hari besar Islam yang menyertakan acara santunan bagi anak-anak yatim piatu, ia beserta ketiga adiknya tak pernah terlewat dalam catatan panitia penyelenggara sebagai penerima santunan. Tidak hanya itu, bahkan sang ibu pun masuk dalam daftar penerima, dengan status janda miskin.
Tahun ini, merupakan tahun paling membahagiakan di keluarga itu. Bayangkan, bukan bermaksud menyombongkan diri jika di hari raya Idul Adha nanti keluarga ini akan menolak kiriman daging qurban dari panitia di masjid. Dengan sedikit bangga mereka akan berkata, “Terima kasih, kami keluarga pequrban. Silahkan berikan kepada yang lain yang lebih berhak”.
Kalimat bangga semacam ini pula yang belum lama ini mereka miliki menjelang hari raya Idul Fitri. Keluarga itu memohon kepada panitia zakat untuk tak memasukkan namanya dalam daftar mustahik tahun ini. Dan luar biasa, hal itu memang mereka lakukan karena keinginan kuat mereka untuk memerbaiki kualitas dan taraf hidup mereka. “Siapa yang mau seumur hidup menyandang status fakir miskin? Kami harus berubah”.
Sepakat dengan semangat keluarga ini. Bagaimana pun hidup dibayangi belas kasihan orang lain tetaplah tidak nyaman. Senikmat-nikmatnya makanan adalah yang dihasilkan dari jerih payah dan hasil memeras keringat sendiri, bukan dari pemberian orang lain, bukan dari usaha tangan di bawah alias meminta-minta.
Si Sulung, sahabat saya ini pun membawa keluarganya pada posisi yang lebih terhormat. Mereka bukan lagi golongan mustahik, melainkan muzakki. Ia senantiasa bersedekah dan berinfak, tak lagi berharap sedekah orang untuk menghidupi ibu dan adik-adiknya. Dan di hari raya Idul Qurban tahun ini, keluarga ini benar-benar akan mengatakan, “kami bosan menjadi penerima daging qurban”.
Sungguh, berinfak, sedekah, membayar zakat, juga berqurban, tak semata menjalankan perintah Allah. Secara langsung semua aktifitas ‘tangan diatas’ ini serta merta meningkatkan derajat seseorang. Baik derajat ketaqwaan di mata Allah, maupun derajat sosial di mata masyarakat sekitarnya. Wallaahu ‘a’lam (gaw)
***
Berqurban melalui program QURBANKU untuk korban bencana, hubungi ACT 021-7414482
Tuesday, November 27, 2007
Subuh Terindah
Sholat subuh berjamaah pagi ini terasa sangat indah. Bukan karena rembulan bulat penuh yang mengiringi langkah-langkah saya menuju masjid, bukan karena semilir angina fajar yang merasuk menjalari celah-celah pakaian, serta bukan karena panggilan adzan nan merdu yang senantiasa terdengar dari corong masjid di lingkungan tempat tinggal saya itu.
Rembulan fajar berwarna kuning kemerah-merahan sudah hampir setiap hari menemani langkah para jamaah. Ia kadang hadir sebulat penuh, meski kadang malu mengintip dengan sepertiga tubuhnya saja. Namun bulat penuh maupun separuhnya, tetaplah indah. Demikian pula dengan angin yang menembus tipis jaket atau gamis yang dipakai para jamaah, udara pagi itu juga membawa serta aroma fajar yang menyejukkan. Siapa pun yang mengayunkan langkah di waktu itu, akan memanfaatkannya dengan menghirup panjang udara bersih anugerah Allah. Bagus untuk kesehatan, terlebih buat seorang pengidap asma seperti saya.
Tetapi subuh pagi ini terasa lebih indah bukan karena semua keindahan fajar yang biasa dinikmati setiap hari itu. Subuh ini, begitu melangkahkan kaki menaiki anak tangga, belum sempat melakukan shalat sunnah, sesuatu terasa aneh di perut saya yang memaksa tubuh ini berlari ke area tempat wudhu dan segera mencari toilet. Entah apa yang saya makan semalam sehingga perut terasa mulas dan harus menyelesaikannya di toilet masjid.
Ternyata butuh waktu agak lama untuk menghilangkan rasa mulas itu, saya pun berpikir akan tertinggal jamaah. Segera setelah selesai dan mengambil wudhu, tubuh ini pun saya paksa untuk berlari – lebih cepat dari saat tadi menuju toilet- agar tidak tertinggal jamaah. Sedetik kemudian, saya merasa terharu dengan apa yang saya lihat dalam hitungan detik itu. Sejak saya keluar dari toilet, kemudian saya berwudhu hingga terus berlari ke dalam masjid, posisi barisan jamaah dalam keadaan ruku’. Sehingga ketika saya merapatkan barisan dalam jamaah, saya masih mendapatkan nilai jamaah dalam sholat saya.
Sungguh, saya berterima kasih dengan Pak Wahid, salah seorang warga baru yang menjadi imam subuh pagi ini. Saya memang tidak bertanya langsung apakah beliau sengaja memperlama ruku’ untuk menunggu saya atau karena hal lain. Yang pasti sampai usai sholat subuh bibir ini masih tertutup rapat tak melayangkan pertanyaan itu, bahkan ketika kami semua satu persatu beranjak dari masjid, pertanyaan itu menyelinap dalam-dalam di sisi tercuram hati ini.
Biarlah saya yang terus mengagumi keindahan subuh dan menuangkannya dalam tulisan ini. Berharap ragam keindahan subuh, juga di waktu-waktu shalat berjamaah lainnya terus bertumbuh layaknya bunga-bunga yang merekah di musim semi, seolah musim gugur takkan pernah terjadi. (gaw)
Rembulan fajar berwarna kuning kemerah-merahan sudah hampir setiap hari menemani langkah para jamaah. Ia kadang hadir sebulat penuh, meski kadang malu mengintip dengan sepertiga tubuhnya saja. Namun bulat penuh maupun separuhnya, tetaplah indah. Demikian pula dengan angin yang menembus tipis jaket atau gamis yang dipakai para jamaah, udara pagi itu juga membawa serta aroma fajar yang menyejukkan. Siapa pun yang mengayunkan langkah di waktu itu, akan memanfaatkannya dengan menghirup panjang udara bersih anugerah Allah. Bagus untuk kesehatan, terlebih buat seorang pengidap asma seperti saya.
Tetapi subuh pagi ini terasa lebih indah bukan karena semua keindahan fajar yang biasa dinikmati setiap hari itu. Subuh ini, begitu melangkahkan kaki menaiki anak tangga, belum sempat melakukan shalat sunnah, sesuatu terasa aneh di perut saya yang memaksa tubuh ini berlari ke area tempat wudhu dan segera mencari toilet. Entah apa yang saya makan semalam sehingga perut terasa mulas dan harus menyelesaikannya di toilet masjid.
Ternyata butuh waktu agak lama untuk menghilangkan rasa mulas itu, saya pun berpikir akan tertinggal jamaah. Segera setelah selesai dan mengambil wudhu, tubuh ini pun saya paksa untuk berlari – lebih cepat dari saat tadi menuju toilet- agar tidak tertinggal jamaah. Sedetik kemudian, saya merasa terharu dengan apa yang saya lihat dalam hitungan detik itu. Sejak saya keluar dari toilet, kemudian saya berwudhu hingga terus berlari ke dalam masjid, posisi barisan jamaah dalam keadaan ruku’. Sehingga ketika saya merapatkan barisan dalam jamaah, saya masih mendapatkan nilai jamaah dalam sholat saya.
Sungguh, saya berterima kasih dengan Pak Wahid, salah seorang warga baru yang menjadi imam subuh pagi ini. Saya memang tidak bertanya langsung apakah beliau sengaja memperlama ruku’ untuk menunggu saya atau karena hal lain. Yang pasti sampai usai sholat subuh bibir ini masih tertutup rapat tak melayangkan pertanyaan itu, bahkan ketika kami semua satu persatu beranjak dari masjid, pertanyaan itu menyelinap dalam-dalam di sisi tercuram hati ini.
Biarlah saya yang terus mengagumi keindahan subuh dan menuangkannya dalam tulisan ini. Berharap ragam keindahan subuh, juga di waktu-waktu shalat berjamaah lainnya terus bertumbuh layaknya bunga-bunga yang merekah di musim semi, seolah musim gugur takkan pernah terjadi. (gaw)
Sunday, November 11, 2007
Cantik Itu Wanita
Sabtu lalu, kami sekeluarga berencana pergi ke Tangerang. “Kangen sama nenek,” kata si kecil Iqna. Maka lima menit sebelum pukul 06.00 pun semua sudah mandi dan berpakaian rapih, kecuali Iqna yang masih sibuk memilih pakaian mana yang akan dikenakannya. Sepuluh menit kemudian, pakaian pilihannya sudah dikenakan, tetapi, “Kok dede nggak pakai kaos dalam?” tanya Umminya.
“Nggak mau” jawabnya singkat.
“Nanti masuk angin kalau nggak pakai kaos dalam”, “Ummi marah deh kalau dede nggak pakai kaos dalam”, “Teteh aja pakai kaos dalam”, “Jelek dede…”, Itu beberapa kalimat yang digunakan isteri saya untuk merajuk Iqna agar mau pakai kaos dalam. Semua rajukan itu hanya mendapat jawaban singkat penuh keteguhan, “nggak mau”.
Bahkan, satu ancaman pun terpaksa terlontarkan, “Kalau dede nggak mau juga, mending nggak usah ikut. Dede dengar ummi ya…”. Sementara yang diancam tetap tidak bergeming dengan pendiriannya. Mungkin ia tahu persis bahwa tidaklah mungkin ditinggalkan. Mungkin juga isteri saya lupa –karena kesalnya- bahwa ancaman tidak akan pernah efektif dipakai dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Orang tua mana yang tega sengaja meninggalkan anaknya yang masih balita sendirian di rumah?
Akhirnya, isteri saya pun menyerahkan ‘urusan’ kaos dalam itu kepada saya yang sejak tadi tersenyum memerhatikan celoteh pagi ibu dan anak itu. Kemudian, saya menghampiri Iqna, menggendongnya dan membisikkan sesuatu. Hanya dalam hitungan detik, si dede pun berlari ke kamarnya serta mengambil kaos dalam dan mengenakannya.
Saya berikan senyum ‘kemenangan’ ke arah isteri. Namun ditanggapi ledekan, “Ah, paling-paling dijanjikan beli es krim sama Abi…” jelas ia tak mau kalah begitu saja. “Siapa yang nggak nurut kalau setiap kali harus diiming-imingi jajanan,” tambah si manis.
Sebenarnya, prasangka isteri saya itu tidak benar. Saya tak mengimingi Iqna dengan es krim atau makanan kesukaannya yang lain. Pun tak menjanjikan sejumlah uang hanya untuk meluluhkan hatinya agar mau mengenakan kaos dalam. Sungguh, ini hanya soal komunikasi yang sering dianggap remeh. Kepada siapa berkomunikasi, apa konten komunikasinya dan bagaimana situasi serta waktu saat berkomunikasi.
Faktanya, pagi itu Iqna memang tetap pada pendiriannya tidak mau mengenakan kaos dalam. Saya berbagai rahasia kepada isteri, apa yang saya bisikkan kepada Iqna sehingga ia mau mengenakan kaos dalam. “Abi cuma bilang, Iqna pasti lebih cantik kalau pakai kaos dalam. Coba deh…”.
Muncul rasa penarannya untuk membuktikan, benarkah pernyataan saya bahwa ia akan lebih cantik kalau pakai kaos dalam. Setelah ia kenakan, saya langsung serang ia dengan pujian, “Wah, dede cantik sekali. Tuh benarkan Abi bilang, dede jauh lebih cantik,” ia pun tersipu malu.
Belum sempat ia berkomentar, saya minta dukungan isteri, “Ummi lihat deh, dede lebih cantik kan?” Isteri pun berujar, “Ya jelas donk, itu baru anak Ummi”.
Matanya terus berbinar mendapatkan pujian, senyumnya tak tertahankan. Ya, Iqna akhirnya mau mengenakan kaos dalam hanya karena kami tahu bagaimana berkomunikasi dengannya. Iqna itu wanita, dan wanita itu identik dengan kecantikan. Sentuhlah ia pada hal-hal yang dekat dengan identitasnya. Coba deh … (gaw)
“Nggak mau” jawabnya singkat.
“Nanti masuk angin kalau nggak pakai kaos dalam”, “Ummi marah deh kalau dede nggak pakai kaos dalam”, “Teteh aja pakai kaos dalam”, “Jelek dede…”, Itu beberapa kalimat yang digunakan isteri saya untuk merajuk Iqna agar mau pakai kaos dalam. Semua rajukan itu hanya mendapat jawaban singkat penuh keteguhan, “nggak mau”.
Bahkan, satu ancaman pun terpaksa terlontarkan, “Kalau dede nggak mau juga, mending nggak usah ikut. Dede dengar ummi ya…”. Sementara yang diancam tetap tidak bergeming dengan pendiriannya. Mungkin ia tahu persis bahwa tidaklah mungkin ditinggalkan. Mungkin juga isteri saya lupa –karena kesalnya- bahwa ancaman tidak akan pernah efektif dipakai dalam berkomunikasi dengan anak-anak. Orang tua mana yang tega sengaja meninggalkan anaknya yang masih balita sendirian di rumah?
Akhirnya, isteri saya pun menyerahkan ‘urusan’ kaos dalam itu kepada saya yang sejak tadi tersenyum memerhatikan celoteh pagi ibu dan anak itu. Kemudian, saya menghampiri Iqna, menggendongnya dan membisikkan sesuatu. Hanya dalam hitungan detik, si dede pun berlari ke kamarnya serta mengambil kaos dalam dan mengenakannya.
Saya berikan senyum ‘kemenangan’ ke arah isteri. Namun ditanggapi ledekan, “Ah, paling-paling dijanjikan beli es krim sama Abi…” jelas ia tak mau kalah begitu saja. “Siapa yang nggak nurut kalau setiap kali harus diiming-imingi jajanan,” tambah si manis.
Sebenarnya, prasangka isteri saya itu tidak benar. Saya tak mengimingi Iqna dengan es krim atau makanan kesukaannya yang lain. Pun tak menjanjikan sejumlah uang hanya untuk meluluhkan hatinya agar mau mengenakan kaos dalam. Sungguh, ini hanya soal komunikasi yang sering dianggap remeh. Kepada siapa berkomunikasi, apa konten komunikasinya dan bagaimana situasi serta waktu saat berkomunikasi.
Faktanya, pagi itu Iqna memang tetap pada pendiriannya tidak mau mengenakan kaos dalam. Saya berbagai rahasia kepada isteri, apa yang saya bisikkan kepada Iqna sehingga ia mau mengenakan kaos dalam. “Abi cuma bilang, Iqna pasti lebih cantik kalau pakai kaos dalam. Coba deh…”.
Muncul rasa penarannya untuk membuktikan, benarkah pernyataan saya bahwa ia akan lebih cantik kalau pakai kaos dalam. Setelah ia kenakan, saya langsung serang ia dengan pujian, “Wah, dede cantik sekali. Tuh benarkan Abi bilang, dede jauh lebih cantik,” ia pun tersipu malu.
Belum sempat ia berkomentar, saya minta dukungan isteri, “Ummi lihat deh, dede lebih cantik kan?” Isteri pun berujar, “Ya jelas donk, itu baru anak Ummi”.
Matanya terus berbinar mendapatkan pujian, senyumnya tak tertahankan. Ya, Iqna akhirnya mau mengenakan kaos dalam hanya karena kami tahu bagaimana berkomunikasi dengannya. Iqna itu wanita, dan wanita itu identik dengan kecantikan. Sentuhlah ia pada hal-hal yang dekat dengan identitasnya. Coba deh … (gaw)
Subscribe to:
Posts (Atom)