Belum satu pekan saya tinggal di Sawangan, Depok. Namun sudah mendapatkan banyak pelajaran berharga nan penuh hikmah. Salah satu pelajaran saya dapatkan dari Si Entong -semua warga perumahan tempat kami tinggal memanggilnya demikian- penjual buah dan sayuran yang kerap mampir menawarkan dagangannya.
Usianya baru dua belas tahun, namun perawakannya lumayan tinggi untuk anak seusianya. Setiap pagi ia memikul dua keranjang yang berisi buah-buahan seperti pisang, pepaya dan juga singkong. Beberapa jenis sayuran seperti daun singkong, kangkung dan bayam pun sering dibawanya serta. Suara cemprengnya mudah dikenali dan sangat khas saat berteriak memanggil pembeli.
Beberapa hari lalu, Entong mampir ke halaman rumah kami dan menawarkan dagangannya. "Pepaya pak, bu... manis nih, matang di pohon. Pisangnya juga bagus-bagus..." Beruntung ia, kami memang sedang kehabisan buah di rumah. Maka kami pun membelinya. Cukup kaget saat tahu harga yang disebutkannya untuk sebuah pepaya seberat kurang lebih satu kilo, "dua ribu rupiah..." katanya.
Begitu pun dengan sesisir pisang mas yang hanya seharga seribu lima ratus. Selain kami jarang sekali menawar barang dagangan kepada pedagang kecil, tentu saja takkan mungkin kami menawarnya lagi mengingat harga yang sangat murah itu. Terlebih setelah tahu berapa jarak yang harus ditempuhnya untuk berjualan dari rumahnya sampai ke komplek perumahan kami, yakni dua setengah jam berjalan kaki. Bisa dibayangkan, memikul beban berat dan menempuh jarak yang sangat jauh dengan berjalan kaki. Kaki kecil tak beralas kaki itu harus menapaki jalan beraspal dan berbatu, belum lagi tubuh kurusnya yang tak henti dihantam terik matahari.
Tidak ada satu alasan pun bagi saya untuk menawar barang dagangannya. Belum lagi setelah kami mendengar ceritanya, bahwa ia tak pernah diizinkan kembali ke rumah sebelum semua dagangannya habis. "Bisa diomelin sama bapak kalau masih tersisa. Mendingan saya nggak pulang sampai malam daripada diomelin..." terangnya.
Ketika kami bertanya tentang sekolahnya, ia tertunduk malu dan, "Sudah dua tahun saya nggak sekolah, dagang aja. Lagian bapak nggak punya uang untuk biaya sekolah," tambahnya.
Isteri saya yang sejak tadi terdiam pun ambil suara, "kalau ada yang mau biayain sekolah, Entong mau sekolah lagi?"
"Saya sih mau banget bu, tapi pasti nggak boleh sama bapak. Nanti siapa yang jualan buah dan sayuran ini..." wajahnya tampak sedih. Dan tergesa ia menata kembali buah-buah di keranjangnya seraya mengalihkan pembicaraan, "ini pepayanya jadi nggak...?"
Kami pun membeli beberapa dagangannya, setidaknya meringankan beban di pundaknya serta menghapus keraguannya untuk kembali ke rumah tanpa khawatir terkena marah bapaknya. Entong berjalan ceria sambil tangannya sibuk menghitung laba yang tak seberapa.
Sungguh, sebuah pelajaran baru tentang kegigihan dan perjuangan hidup digambarkan dengan apik oleh lelaki kecil itu. Sangat mencabik-cabik perasaan saya akan hakikat perjalanan kehidupan, bahwa ada sebagian di antara kita yang mempertaruhkan segalanya untuk hidup, sementara sebagian lainnya tak butuh apapun untuk hidup karena sudah tersedia dan berlimpah.
Terima kasih, Entong... (gaw)
No comments:
Post a Comment