Saya masih ingat betul, pengalaman sepuluh tahun lalu ketika masih menjadi pemandu untuk para pendaki gunung pemula. Anak-anak SMP dan SMA, laki-laki dan perempuan, dari sekolah-sekolah tertentu, sering meminta tenaga kami untuk memandu perjalanan pertama mereka ke gunung tertentu juga. Tidak hanya gunung, kadang kami juga harus memenuhi permintaan pemandu untuk ke gua atau tracking ke kawasan Baduy.
Suatu hari, sekelompok anak sekolah dari Tangerang sudah berkumpul di wilayah Cibodas, Jawa Barat, untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango. Seperti biasa, setiap anggota harus mengecek perlengkapan dan perbekalan yang ada. Segala yang tidak penting dan memberatkan harus disortir dan diminimalisir. Ada-ada saja anak-anak sekolah itu. Ada yang sengaja membawa selimut, radio tape, alat musik, dan bahkan obat nyamuk! Semua itu harus disingkirkan, selain memberatkan tentu saja tidak perlu dan alat musik dilarang.
Rupanya, hampir semua anak -lebih tepatnya orangtuanya- takut kelaparan di gunung. Jadi, hampir setiap anak membawa serta satu tas daypack khusus berisi makanan ringan dan berat. Makanan-makanan ini, mungkin tidak memberatkan. Hanya saja jumlahnya yang overload sehingga dikhawatirkan akan membuat mereka kerepotan sendiri. Kami hanya mengingatkan agar mereka membawa turun kembali semua sampah yang dibawa dari bawah.
Nah, yang menarik adalah pakaian mereka. Beberapa anak lelaki menggunakan baju gamis (pakaian pria muslim). "Saya kan muslim, ini pakaian yang menunjukkan identitas kemusliman saya," alasan mereka mengenakannya.
Ya iyalah...
Inilah yang lebih ingin saya ceritakan. Seperti cerita di atas soal pakaian, saya kenal seorang satpam yang baru saja pulang dari tanah suci. Semenjak menyandang titel "haji", satpam itu senang mengenakan peci putih. Sebenarnya wajar dan sah saja seseorang mengenakan peci putih, apalagi buat orang yang merasa sudah menyandang predikat haji. Hanya saja menjadi tidak pas jika ia mengenakannya juga pada saat bertugas di kantornya.
Suatu hari, pimpinan di kantornya bekerja memanggil satpam haji itu. "Kenapa bapak pakai peci putih saat bertugas?"
"Seperti bapak ketahui, saya kan baru pulang haji," jawabnya.
Kemudian pimpinan tersebut mendekati si satpam dan berkata, "saya juga sudah pernah ke tanah suci dan bahkan beberapa kali. Tapi saya tidak harus mengenakannya ketika sedang bekerja atau menghadapi klien. Saya hanya mengenakannya pada saat-saat yang memang tepat waktu dan tempatnya," terang si pimpinan.
Ya. Sama dengan kasus anak SMA yang memakai baju gamis di gunung. Jelas tidak salah jika ia tetap mengenakannya, pun tidak ada larangan akan hal itu. Tetapi untuk naik gunung ada pakaian yang lebih pas dan lebih fleksibel, seperti T-Shirt atau casual. Pertanyaannya, kalau yang naik gunung itu Kyai atau Santri sebuah pesantren, apakah mereka tetap harus mengenakan kain sarung?
Peci putih milik pak Satpam, tentu saja tetap boleh dikenakan. Mungkin dan waktunya saja yang perlu diatur. Saat sedang bertugas, topi seragam satpam -mirip topi polisi- itu lah yang lebih pas dipakai.
Terlebih, identitas kemusliman seseorang bukanlah tempelan. Bukan sekadar simbol-simbol yang diwakilkan oleh baju gamis, peci haji, atau stiker bertuliskan "I'm Muslim". Siapa pun akan mengenali Anda seorang muslim dari tutur kata, sikap dan kepribadian sehari-hari, meski pun Anda tak sedang memakai baju gamis atau peci putih. Insya Allah. (Gaw)