Tahun 1993-1994, saya pernah diamanahi untuk menjadi ketua CRIPTA (Club Remaja Islam Perumnas Tangerang), sebuah wadah yang menyatukan puluhan bahkan ratusan remaja masjid di seluruh Perumnas Tangerang, baik Perumnas I, II, dan III.
Dari kebanyakan program yang dilakukan selama satu tahun, ada satu kegiatan yang membuat saya begitu rindu untuk mengulanginya lagi, walau belum yakin seratus persen bisa melakukannya lagi. Satu kegiatan itu diberi nama "Serangan Fajar", mengambil judul sebuah film sekaligus sebuah aksi sejarah -tolong koreksi- peperangan zaman kemerdekaan.
Namun "serangan fajar" kali ini tidak menggunakan senjata dan tidak ada musuh yang harus ditembaki. Aksi ini berupa shalat subuh bersama para anggota CRIPTA yang setiap kali menghadiri pengajian bisa mencapai 200 orang. Serangan fajar dilakukan setiap Ahad subuh dengan mengunjungi salah satu masjid yang disepakti malam harinya. Sangat mudah untuk melakukan program ini, sebab setiap sabtu malam CRIPTA menjalankan program lainnya, yakni ta'lim rutin. Peserta yang datang biasanya berkisar 150 sampai 200 orang lelaki dan perempuan. Usai pengajian, diumumkanlah bahwa serangan fajar subuh besok di masjid A, begitu seterusnya setiap sabtu malam usai pengajian digilir masjid mana yang menjadi sasaran serangan fajar.
Dua tujuan program ini, pertama jelas membiasakan anggota CRIPTA untuk shalat subuh berjamaah di masjid. Kedua, untuk memakmurkan masjid. Bayangkan, jika tiba-tiba ada satu masjid yang ramai jamaahnya pada saat subuh, tidak hanya akan membuat kaget dan heran pengurus masjid, melainkan juga menarik perhatian jamaah lainnya yang belum terbiasa shalat subuh berjamaah.
Pernah di satu subuh, ratusan remaja masjid mendatangi masjid yang biasanya setiap subuh hanya dihadiri satu shaff (barisan) saja, sehingga subuh kali itu masjid menjadi penuh dan membuat imam dan beberapa pengurus masjid terheran-heran, siapa anak-anak muda ini dan dari mana datangnya. Pada kesempatan itu, imam masjid sempat berujar, "Saya bahagia jika anak-anak muda memenuhi masjid di subuh hari. Inilah tanda kekuatan ummat Islam..."
Teringatlah perkataan salah satu sahabat Nabi, "Jika ingin mengetahui kekuatan ummat Islam, lihatlah berapa banyak pemuda yang shalat subuh di masjid"
Duuh, sungguh diri ini rindu sekali untuk mengulangi hal yang sama yang pernah kami lakukan sama-sama di masa lalu. Bukan sendiri, tetapi seperti dulu, bisa menggerakkan banyak anak muda untuk ke masjid berjamaah di saat subuh. Semoga Allah masih memberikan diri ini kekuatan untuk melakukannya... (Gaw)
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Friday, April 13, 2007
Thursday, April 12, 2007
Salam Berbuah Cinta
Diro, sebut saja begitu nama lelaki bujangan asli Jawa ini. Diro dikenal sebagai lelaki yang sopan, hanif, dan punya ciri khas, yakni senang mengucapkan salam "Assalaamu'alaikum" kepada siapa pun -muslim- yang dijumpainya di manapun.
Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.
Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. "Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa," alasannya.
Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Diro kembali mengucapkan, "Assalaamu'alaikum Dik..." Jawabannya tidak berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.
Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan "Assalaamu'alaikum" biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.
Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Diro tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dan sesekali makian, "maunya apa sih?".
Diro hanya membalasnya dengan senyum seraya menjelaskan, "maaf, salam itu hanya doa untuk adik". Belakangan, Diro mengetahui bahwa nama gadis itu, Dian, sebut saja demikian.
Dua bulan bertugas di kota itu, Diro mendapat panggilan dari kantor pusat untuk memberikan laporan tugasnya. Diro pun kembali ke Jakarta untuk waktu dua pekan.
Sementara di kota X, pagi harinya. Dian belum merasakan apa pun. Namun keesokan harinya, gadis itu baru menyadari ada yang ganjil dengan hari-harinya, baik pagi maupun sore. Ya, Dian merasa ada yang hilang. Setelah berpikir sejenak, barulah ia sadar, tidak ada lagi lelaki yang selama ini mengucapkan "Assalaamu'alaikum" kepadanya. Bahkan keesokan harinya, Dian mulai celingak-celinguk mencari lelaki pengucap salam itu. Satu-dua bis yang biasa ditumpanginya sengaja dibiarkan berlalu, "mungkin dia terlambat" pikirnya. Namun hingga hampir satu jam, yang dinanti tak kunjung tiba.
Sepekan sudah Dian tak melihat lelaki pengucap salam. Sepekan pula telinganya tak mendengar suara khas lelaki itu berucap, "Assalaamu'alaikum Dik..." Rupanya Dian mulai kangen dengan ucapan salam itu. Jika mulanya ia merasa ucapan salam Diro itu sebagai godaan lelaki iseng, ternyata kini ia merindukan ucapan salam itu.
Dian hampir putus asa, hingga satu pekan berikutnya tak kunjung terdengar ucapan salam khas nan lembut itu. Sampai di satu pagi, dari arah belakang terdengar suara khas itu lagi, "Assalaamu'alaikum Dik..." Kali ini giliran Diro yang terheran-heran, karena jawaban lembut dari wajah manis yang diterimanya, "Wa'alaikum salam kak... apa kabar? kemana saja? lama tidak berjumpa... ... ..."
Sejak hari itu, keduanya menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, diisi dengan keriangan keduanya dalam setiap perjumpaannya. Sebuah bukti nyata, bahwa ucapan salam jika diberikan secara ikhlas kepada siapa pun, akan membawa kedamaian bagi yang menerimanya. Hanya beberapa bulan setelah itu, belum satu tahun Diro tinggal di kota X itu, Diro dan Dian sepakat untuk menyatukan hati dalam bingkai rumah tangga.
Maha suci Allah dan Rasulullah, yang mengajarkan kalimat "Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu"...
Suatu ketika, Diro ditugaspindahkan ke kota X, untuk jangka waktu dua tahun. Setibanya di kota X itu, lelaki bujangan ini langsung mencari tempat kos/kontrakan yang tidak jauh dari tempatnya bekerja. Setelah tiga hari di kota tersebut, Diro baru menyadari bahwa ada gadis cantik dan shalihah yang tinggal hanya beberapa meter dari kos-nya. Seperti biasa, tanpa maksud buruk, tanpa niat menggoda, Diro pun mengucapkan salam kepada gadis itu, saat keduanya bersama-sama menunggu bis di tepi jalan.
Sekali lagi, Diro tidak punya niat apapun ketika mengucapkan salam. "Dia berjilbab, jadi sudah pasti muslim, maka saya ucapkan salam kepadanya. Lagi pula gadis itu tetangga saya, kan wajar sama tetangga saling menyapa," alasannya.
Ucapan salam Diro dibalas delikkan mata tidak suka dari gadis tetangganya itu. Namun Diro tidak peduli, karena niatnya sangat tulus. Begitu pun sore harinya, ketika berpapasan di jalan, Diro kembali mengucapkan, "Assalaamu'alaikum Dik..." Jawabannya tidak berbeda dengan pagi hari, wajah tidak suka.
Mungkin pikir si gadis itu, Diro tidak ubahnya lelaki iseng yang senang menggoda. Sudah lazim diketahui, lelaki-lelaki iseng dan kurang kerjaan senang menggoda wanita. Dan bila yang digoda adalah wanita berjilbab, ucapan "Assalaamu'alaikum" biasa dijadikan andalan mulut-mulut lelaki ini.
Berbeda dengan Diro. Dia tidak sakit hati ketika salamnya tidak dibalas, atau bahkan dibalas dengan tatap mata sinis. Setiap hari, setiap kali bertemu dengan gadis itu tetap mengucapkan salam. Diro tidak bosan meski salamnya selalu mendapat jawaban yang serupa, dan sesekali makian, "maunya apa sih?".
Diro hanya membalasnya dengan senyum seraya menjelaskan, "maaf, salam itu hanya doa untuk adik". Belakangan, Diro mengetahui bahwa nama gadis itu, Dian, sebut saja demikian.
Dua bulan bertugas di kota itu, Diro mendapat panggilan dari kantor pusat untuk memberikan laporan tugasnya. Diro pun kembali ke Jakarta untuk waktu dua pekan.
Sementara di kota X, pagi harinya. Dian belum merasakan apa pun. Namun keesokan harinya, gadis itu baru menyadari ada yang ganjil dengan hari-harinya, baik pagi maupun sore. Ya, Dian merasa ada yang hilang. Setelah berpikir sejenak, barulah ia sadar, tidak ada lagi lelaki yang selama ini mengucapkan "Assalaamu'alaikum" kepadanya. Bahkan keesokan harinya, Dian mulai celingak-celinguk mencari lelaki pengucap salam itu. Satu-dua bis yang biasa ditumpanginya sengaja dibiarkan berlalu, "mungkin dia terlambat" pikirnya. Namun hingga hampir satu jam, yang dinanti tak kunjung tiba.
Sepekan sudah Dian tak melihat lelaki pengucap salam. Sepekan pula telinganya tak mendengar suara khas lelaki itu berucap, "Assalaamu'alaikum Dik..." Rupanya Dian mulai kangen dengan ucapan salam itu. Jika mulanya ia merasa ucapan salam Diro itu sebagai godaan lelaki iseng, ternyata kini ia merindukan ucapan salam itu.
Dian hampir putus asa, hingga satu pekan berikutnya tak kunjung terdengar ucapan salam khas nan lembut itu. Sampai di satu pagi, dari arah belakang terdengar suara khas itu lagi, "Assalaamu'alaikum Dik..." Kali ini giliran Diro yang terheran-heran, karena jawaban lembut dari wajah manis yang diterimanya, "Wa'alaikum salam kak... apa kabar? kemana saja? lama tidak berjumpa... ... ..."
Sejak hari itu, keduanya menjadi akrab. Hari-hari setelah itu, diisi dengan keriangan keduanya dalam setiap perjumpaannya. Sebuah bukti nyata, bahwa ucapan salam jika diberikan secara ikhlas kepada siapa pun, akan membawa kedamaian bagi yang menerimanya. Hanya beberapa bulan setelah itu, belum satu tahun Diro tinggal di kota X itu, Diro dan Dian sepakat untuk menyatukan hati dalam bingkai rumah tangga.
Maha suci Allah dan Rasulullah, yang mengajarkan kalimat "Assalaamu'alaikum warahmatullaahi wabarakaatuhu"...
Pernah Tawar Barang di Mall?
Tidak sedikit orang, kelompok, komunitas maupun berbagai golongan yang sering berteriak menyatakan keberpihakannya kepada kaum kecil atau lebih sering terdengar dengan kata wong cilik. Namun nyatanya, belum tentu kita benar-benar memposisikan diri pada sisi orang kecil, belum nyata-nyata kita duduk sama rendah bersama orang-orang lemah, dan belum terbukti juga kita menjadi sahabat wong cilik. Oops, saya ralat, bukan kita, tetapi saya. Sekali lagi saya...
Dalam banyak kesempatan berbelanja di tukang sayur, di toko buah pinggir jalan, naik ojeg, naik becak, atau penjual apa pun yang tidak memiliki bandrol harga, dengan berbagai cara begitu mudahnya kita menawar harga yang ditawarkan. Tujuannya jelas, mendapatkan harga semurah-murahnya.
Beragam gaya dan cara yang kita lakukan, kalau kepada tukang sayur atau tukang buah sering menggunakan wajah memelas. Jika wajah itu tidak mempan meluluhkan hati si abang sayur, senyum pun digulirkan. Biasanya tidak sedikit abang-abang penjual yang langsung luluh hatinya. Terlebih jika ditambah dengan sedikit colak-colek dari ibu-ibu pembeli, harga sebuah semangka pun langsung turun drastis. Sebungkus cabai dan tomat bisa dibeli dengan harga seribu rupiah, atau tidak jarang seliter minyak goreng gratis untuk si pencolek yang genit...
Bagaimana dengan laki-laki? mungkin tidak memelas, tetapi dengan suara tegas dan sedikit naik. "Tiga ribu ya seikat? Dikasih nggak?" untuk harga seikat rambutan. Kalau tidak dikasih, pakai cara klasik, yakni meninggalkan si tukang buah, padahal dalam hati berharap dipanggil kembali oleh tukang buah. Cara-cara ini kadang berhasil, terlebih jika hari sudah malam, barang dagangan belum banyak yang terjual, dan belum cukup uang untuk bisa dibawa pulang. Jadilah si tukang buah itu yang mengalah dan membiarkan dagangannya dibeli dengan harga pas, tanpa biaya transportasi, tanpa biaya lelah menunggu, tanpa biaya angkut, tanpa biaya apa pun untuk kaki yang pegal berputar-putar seharian, atau untuk untuk pundak yang bengkak memikul beban berat.
Pedagang buah, tukang sayur, atau penjual apa pun yang keliling atau di pinggir jalan yang tidak pernah memasang bandrol harga itu, adalah orang-orang kecil. Kepada mereka kita bisa merayu bahkan memaksa untuk menurunkan harga, bahkan semurah-murahnya. Tanpa peduli apakah para pedagang kecil itu mendapatkan untung atau tidak. Lebih buruknya lagi, kita melakukannya setiap hari, setiap saat.
Bandingkan jika kita belanja di Mall, pusat perbelanjaan, atau toko grosir dan tempat-tempat lainnya yang memasang harga pas dengan bandrolnya. Pernahkah kita menawar setiap barang di trolly kepada kasir, seperti yang kita lakukan kepada para pedagang kecil?
***
Bukan berarti tidak boleh menawar. Karena boleh jadi tidak semua pedagang jujur dalam menjajakan barangnya, baik kualitas maupun harganya. Tetapi kita juga bisa merasai, batas mana si pedagang itu sudah menurunkan harganya. Jika sudah sampai batas terakhir ia memberikan harga, jangan lagi memaksanya untuk terus menurunkan harga. Biarkan ia tersenyum dengan apa yang bisa didapatnya. Lagi pula, sebenarnya kita juga tahu harga sebenarnya untuk satu kilo jeruk kan? (Gaw)
Dalam banyak kesempatan berbelanja di tukang sayur, di toko buah pinggir jalan, naik ojeg, naik becak, atau penjual apa pun yang tidak memiliki bandrol harga, dengan berbagai cara begitu mudahnya kita menawar harga yang ditawarkan. Tujuannya jelas, mendapatkan harga semurah-murahnya.
Beragam gaya dan cara yang kita lakukan, kalau kepada tukang sayur atau tukang buah sering menggunakan wajah memelas. Jika wajah itu tidak mempan meluluhkan hati si abang sayur, senyum pun digulirkan. Biasanya tidak sedikit abang-abang penjual yang langsung luluh hatinya. Terlebih jika ditambah dengan sedikit colak-colek dari ibu-ibu pembeli, harga sebuah semangka pun langsung turun drastis. Sebungkus cabai dan tomat bisa dibeli dengan harga seribu rupiah, atau tidak jarang seliter minyak goreng gratis untuk si pencolek yang genit...
Bagaimana dengan laki-laki? mungkin tidak memelas, tetapi dengan suara tegas dan sedikit naik. "Tiga ribu ya seikat? Dikasih nggak?" untuk harga seikat rambutan. Kalau tidak dikasih, pakai cara klasik, yakni meninggalkan si tukang buah, padahal dalam hati berharap dipanggil kembali oleh tukang buah. Cara-cara ini kadang berhasil, terlebih jika hari sudah malam, barang dagangan belum banyak yang terjual, dan belum cukup uang untuk bisa dibawa pulang. Jadilah si tukang buah itu yang mengalah dan membiarkan dagangannya dibeli dengan harga pas, tanpa biaya transportasi, tanpa biaya lelah menunggu, tanpa biaya angkut, tanpa biaya apa pun untuk kaki yang pegal berputar-putar seharian, atau untuk untuk pundak yang bengkak memikul beban berat.
Pedagang buah, tukang sayur, atau penjual apa pun yang keliling atau di pinggir jalan yang tidak pernah memasang bandrol harga itu, adalah orang-orang kecil. Kepada mereka kita bisa merayu bahkan memaksa untuk menurunkan harga, bahkan semurah-murahnya. Tanpa peduli apakah para pedagang kecil itu mendapatkan untung atau tidak. Lebih buruknya lagi, kita melakukannya setiap hari, setiap saat.
Bandingkan jika kita belanja di Mall, pusat perbelanjaan, atau toko grosir dan tempat-tempat lainnya yang memasang harga pas dengan bandrolnya. Pernahkah kita menawar setiap barang di trolly kepada kasir, seperti yang kita lakukan kepada para pedagang kecil?
***
Bukan berarti tidak boleh menawar. Karena boleh jadi tidak semua pedagang jujur dalam menjajakan barangnya, baik kualitas maupun harganya. Tetapi kita juga bisa merasai, batas mana si pedagang itu sudah menurunkan harganya. Jika sudah sampai batas terakhir ia memberikan harga, jangan lagi memaksanya untuk terus menurunkan harga. Biarkan ia tersenyum dengan apa yang bisa didapatnya. Lagi pula, sebenarnya kita juga tahu harga sebenarnya untuk satu kilo jeruk kan? (Gaw)
Wednesday, April 11, 2007
Sekarang Kecil, Besar Kemudian
Iwan, sahabat jaman sekolah dulu, saya bertemu lagi dengannya beberapa waktu lalu di tempat parkir mobil sebuah pusat perbelanjaan. Ada yang lain dengannya kali ini. Enam tahun lalu saat kali terakhir bertemu dengannya, ia masih berseragam biru sebagai petugas pengisi BBM di pom bensin. Waktu itu saya berniat mengisi BBM untuk motor saya dan Iwan menyapa hangat, “Wah hebat, motor kamu bagus. Kapan ya saya bisa punya motor bagus seperti ini…”
Sungguh, Iwan yang sekarang saya temui setelah enam tahun lalu telah jauh berbeda. Ia mampu melampaui keinginannya untuk sekadar memiliki motor sebagus yang saya miliki saat itu. Kali ini, ia memperlihatkan kepada saya, sebuah mobil miliknya yang belum lama ia miliki, disaat saya masih tetap mengendarai sepeda motor.
Saya akui, bahwa saya benar-benar harus mengatakan, “hebat kamu Wan, dulu cuma ingin punya motor. Hari ini saya bertemu lagi, Iwan bahkan sudah mengendarai mobil, lebih dari sekadar motor”.
Dan yang lebih mengagumkan adalah dimana ia bekerja saat ini, “Saya punya bengkel dan salon motor cukup besar, mampirlah suatu waktu,” ujarnya sambil menyerahkan selembar kartu nama.
Ya, Iwan. Jika dulu ia hanya bermimpi memiliki sebuah sepeda motor, kini ia memiliki sebuah tempat untuk banyak pemiliki motor mendandani motornya. Kalaulah dulu ia terkagum dengan motor yang saya miliki, kini ia boleh berbangga dengan mobil baru miliknya. Semuanya, kata Iwan, adalah hasil kerja kerasnya dan keinginan yang kuat menjadi besar. “Siapa sih yang mau selamanya jadi orang kecil?” semangatnya.
Lain Iwan lain lagi seorang tukang sampah yang saya pernah saya temui di sebuah jalan raya. Belajar dari contoh keberhasilan Iwan, saya yakin sekali bahwa tidak semua tukang sampah yang saya lihat hari ini masih mengais sampah di sepanjang jalan Ibukota, beberapa tahun lagi akan tetap mengaih sampah. Boleh jadi, lima atau sepuluh tahun yang akan datang, si tukang sampah yang kita lihat hari ini memungut sampah yang kita buang ke jalan, akan mengendarai mobil yang sama mewahnya dengan yang kita pakai. Mungkin saja, pekerjaannya saat ini masih di bidang yang sama dengan sepuluh tahun lalu, seputar sampah. Hanya saja, kali ini ia menjadi bos dari puluhan bahkan ratusan tukang sampah di Jakarta.
Hidup itu berputar, dan akan selalu seperti itu. Tak selamanya tukang sampah akan tetap selamanya menjadi tukang sampah. Tidak selamanya pengisi BBM di pom bensin bertahun-tahun melulu sekadar bermimpi memiliki kendaraan sebagus yang selalu ia lihat setiap harinya saat mengisi bensin. Kuncinya adalah keinginan kuat untuk mengubah nasib, kemauan untuk menjadi besar, keengganan untuk tak selamanya menjadi orang kecil. Dan yang terpenting, seperti kata Iwan sahabat saya itu, “Kerja keras dan berdoa,” sebuah rumus yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun.
Satu hal lagi sekadar renungan untuk kita, jangan pernah menilai orang lain dari apa yang kita lihat hari ini. Boleh jadi, suatu saat ia lebih bernilai dari kita. Di saat orang lain berusaha keras mengubah nasibnya, kita masih terlena dan merasa puas dengan apa yang kita nikmati hari ini. Sungguh, orang di luar sana tengah berlari mengejar mimpi, sementara kita masih terus bermimpi dalam tidur panjang sendiri. (Gaw)
Sungguh, Iwan yang sekarang saya temui setelah enam tahun lalu telah jauh berbeda. Ia mampu melampaui keinginannya untuk sekadar memiliki motor sebagus yang saya miliki saat itu. Kali ini, ia memperlihatkan kepada saya, sebuah mobil miliknya yang belum lama ia miliki, disaat saya masih tetap mengendarai sepeda motor.
Saya akui, bahwa saya benar-benar harus mengatakan, “hebat kamu Wan, dulu cuma ingin punya motor. Hari ini saya bertemu lagi, Iwan bahkan sudah mengendarai mobil, lebih dari sekadar motor”.
Dan yang lebih mengagumkan adalah dimana ia bekerja saat ini, “Saya punya bengkel dan salon motor cukup besar, mampirlah suatu waktu,” ujarnya sambil menyerahkan selembar kartu nama.
Ya, Iwan. Jika dulu ia hanya bermimpi memiliki sebuah sepeda motor, kini ia memiliki sebuah tempat untuk banyak pemiliki motor mendandani motornya. Kalaulah dulu ia terkagum dengan motor yang saya miliki, kini ia boleh berbangga dengan mobil baru miliknya. Semuanya, kata Iwan, adalah hasil kerja kerasnya dan keinginan yang kuat menjadi besar. “Siapa sih yang mau selamanya jadi orang kecil?” semangatnya.
Lain Iwan lain lagi seorang tukang sampah yang saya pernah saya temui di sebuah jalan raya. Belajar dari contoh keberhasilan Iwan, saya yakin sekali bahwa tidak semua tukang sampah yang saya lihat hari ini masih mengais sampah di sepanjang jalan Ibukota, beberapa tahun lagi akan tetap mengaih sampah. Boleh jadi, lima atau sepuluh tahun yang akan datang, si tukang sampah yang kita lihat hari ini memungut sampah yang kita buang ke jalan, akan mengendarai mobil yang sama mewahnya dengan yang kita pakai. Mungkin saja, pekerjaannya saat ini masih di bidang yang sama dengan sepuluh tahun lalu, seputar sampah. Hanya saja, kali ini ia menjadi bos dari puluhan bahkan ratusan tukang sampah di Jakarta.
Hidup itu berputar, dan akan selalu seperti itu. Tak selamanya tukang sampah akan tetap selamanya menjadi tukang sampah. Tidak selamanya pengisi BBM di pom bensin bertahun-tahun melulu sekadar bermimpi memiliki kendaraan sebagus yang selalu ia lihat setiap harinya saat mengisi bensin. Kuncinya adalah keinginan kuat untuk mengubah nasib, kemauan untuk menjadi besar, keengganan untuk tak selamanya menjadi orang kecil. Dan yang terpenting, seperti kata Iwan sahabat saya itu, “Kerja keras dan berdoa,” sebuah rumus yang tidak dapat dibantah oleh siapa pun.
Satu hal lagi sekadar renungan untuk kita, jangan pernah menilai orang lain dari apa yang kita lihat hari ini. Boleh jadi, suatu saat ia lebih bernilai dari kita. Di saat orang lain berusaha keras mengubah nasibnya, kita masih terlena dan merasa puas dengan apa yang kita nikmati hari ini. Sungguh, orang di luar sana tengah berlari mengejar mimpi, sementara kita masih terus bermimpi dalam tidur panjang sendiri. (Gaw)
Tuesday, April 10, 2007
Persembunyian Terbaik; Terang dan Terbuka
Suatu hari, ada seorang murid yang bertanya kepada gurunya. “Guru, tunjukkan saya satu tempat sebagai tempat sembunyi paling aman…”
Dengan tenang, sang guru menjawab, “bersembunyilah di tempat yang terang dan terbuka,”
Mendengar jawaban itu, si murid terheran dan bertanya kembali, “Guru, saya ini sudah lelah terus menerus sembunyi namun tetap saja diketahui orang. Setiap kali saya merasa sudah menemukan tempat terbaik untuk bersembunyi, selalu saja mudah bagi orang lain menemukan saya. Kenapa justru guru menganjurkan saya bersembunyi di tempat terang dan terbuka? Ya sudah pasti akan lebih mudah orang melihat saya…”
Untuk jawaban kedua, Sang guru hanya mengeluarkan kalimat yang hampir sama, “Cobalah, bersembunyilah di tempat yang saya sarankan…”
Merasa tidak puas. Akhirnya si murid pergi meninggalkan gurunya. Namun sepanjang perjalanan ia terus merenungi kalimat gurunya, yang menganjurkannya bersembunyi di tempat terang dan terbuka. Tentu ada maksud tertentu dari sang guru dari anjuran tersebut.
Suatu hari, ia kembali merasa dikejar perasaan bersalah atas perbuatannya tempo dulu. Ia merasa setiap mata terus menerus mencari jejaknya dan akan mengadilinya. Maka ia pun kembali berlari dan mencari tempat sembunyi. Di saat itulah, ia teringat pesan gurunya, “bersembunyilah di tempat yang terang dan terbuka”
Maka, melengganglah ia dengan tenang di depan khalayak ramai, di pasar, di taman bermain, dan tempat-tempat keramaian lain yang menjadi pusat aktivitas orang banyak. Aneh memang, pada mulanya ia merasa malu pada setiap pasang mata yang menatapnya tajam, pada setiap mulut yang pedas mencibirnya, atau bahkan makian yang membuat hatinya tercabik-cabik. Tetapi beberapa saat setelah itu, hatinya sangat tenang, wajahnya kembali berseri dan ia tak perlu menundukkan kepala setiap melintasi tempat keramaian.
Selama ini, ia selalu merasa cemas dan ketakutan karena merasa semua orang di muka bumi mencarinya. Selama ini, setiap kali menemukan tempat persembunyian yang dianggap paling aman, justru ia merasa tidak aman. Rasa cemas dan takut terus menerus menghantui dirinya selama di tempat persembunyian, dan karena itulah setiap orang teramat mudah menemukan tempat persembunyiannya.
Setelah mengikuti anjuran sang guru untuk bersembunyi di tempat terang dan terbuka, justru ia merasa aman dan nyaman, meski harus didahului dengan perasaan malu dan sakit. Tetapi ia tidak lagi merasa dihantui terus menerus, tidak lagi cemas, dan hatinya sangat tenang.
Maka, ia pun merasa harus mengunjungi gurunya.
“Saya baru mengerti maksud guru tentang tempat terbaik untuk bersembunyi itu. Ternyata yang guru maksud tempat terang dan terbuka itu tidak lain tidak bukan adalah; jujur”
***
Setiap manusia pasti dan pernah melakukan kesalahan. Bersembunyi, atau menyembunyikan kesalahan terus menerus hanya akan membuat hati cemas, gelisah dan takut. Selalu khawatir jika suatu waktu dan pada akhirnya orang lain mengetahui perbuatan salah kita itu. Kejujuran kadang harus dibayar dengan perih dan malu, tetapi sesungguhnya itu akan membawa ketenangan batin selamanya. Jujur dan terbuka, disitulah mata air ketenangan jiwa (Gaw)
Dengan tenang, sang guru menjawab, “bersembunyilah di tempat yang terang dan terbuka,”
Mendengar jawaban itu, si murid terheran dan bertanya kembali, “Guru, saya ini sudah lelah terus menerus sembunyi namun tetap saja diketahui orang. Setiap kali saya merasa sudah menemukan tempat terbaik untuk bersembunyi, selalu saja mudah bagi orang lain menemukan saya. Kenapa justru guru menganjurkan saya bersembunyi di tempat terang dan terbuka? Ya sudah pasti akan lebih mudah orang melihat saya…”
Untuk jawaban kedua, Sang guru hanya mengeluarkan kalimat yang hampir sama, “Cobalah, bersembunyilah di tempat yang saya sarankan…”
Merasa tidak puas. Akhirnya si murid pergi meninggalkan gurunya. Namun sepanjang perjalanan ia terus merenungi kalimat gurunya, yang menganjurkannya bersembunyi di tempat terang dan terbuka. Tentu ada maksud tertentu dari sang guru dari anjuran tersebut.
Suatu hari, ia kembali merasa dikejar perasaan bersalah atas perbuatannya tempo dulu. Ia merasa setiap mata terus menerus mencari jejaknya dan akan mengadilinya. Maka ia pun kembali berlari dan mencari tempat sembunyi. Di saat itulah, ia teringat pesan gurunya, “bersembunyilah di tempat yang terang dan terbuka”
Maka, melengganglah ia dengan tenang di depan khalayak ramai, di pasar, di taman bermain, dan tempat-tempat keramaian lain yang menjadi pusat aktivitas orang banyak. Aneh memang, pada mulanya ia merasa malu pada setiap pasang mata yang menatapnya tajam, pada setiap mulut yang pedas mencibirnya, atau bahkan makian yang membuat hatinya tercabik-cabik. Tetapi beberapa saat setelah itu, hatinya sangat tenang, wajahnya kembali berseri dan ia tak perlu menundukkan kepala setiap melintasi tempat keramaian.
Selama ini, ia selalu merasa cemas dan ketakutan karena merasa semua orang di muka bumi mencarinya. Selama ini, setiap kali menemukan tempat persembunyian yang dianggap paling aman, justru ia merasa tidak aman. Rasa cemas dan takut terus menerus menghantui dirinya selama di tempat persembunyian, dan karena itulah setiap orang teramat mudah menemukan tempat persembunyiannya.
Setelah mengikuti anjuran sang guru untuk bersembunyi di tempat terang dan terbuka, justru ia merasa aman dan nyaman, meski harus didahului dengan perasaan malu dan sakit. Tetapi ia tidak lagi merasa dihantui terus menerus, tidak lagi cemas, dan hatinya sangat tenang.
Maka, ia pun merasa harus mengunjungi gurunya.
“Saya baru mengerti maksud guru tentang tempat terbaik untuk bersembunyi itu. Ternyata yang guru maksud tempat terang dan terbuka itu tidak lain tidak bukan adalah; jujur”
***
Setiap manusia pasti dan pernah melakukan kesalahan. Bersembunyi, atau menyembunyikan kesalahan terus menerus hanya akan membuat hati cemas, gelisah dan takut. Selalu khawatir jika suatu waktu dan pada akhirnya orang lain mengetahui perbuatan salah kita itu. Kejujuran kadang harus dibayar dengan perih dan malu, tetapi sesungguhnya itu akan membawa ketenangan batin selamanya. Jujur dan terbuka, disitulah mata air ketenangan jiwa (Gaw)
Tuesday, April 03, 2007
Yang Pas-Pas Aja Deh...
Saya masih ingat betul, pengalaman sepuluh tahun lalu ketika masih menjadi pemandu untuk para pendaki gunung pemula. Anak-anak SMP dan SMA, laki-laki dan perempuan, dari sekolah-sekolah tertentu, sering meminta tenaga kami untuk memandu perjalanan pertama mereka ke gunung tertentu juga. Tidak hanya gunung, kadang kami juga harus memenuhi permintaan pemandu untuk ke gua atau tracking ke kawasan Baduy.
Suatu hari, sekelompok anak sekolah dari Tangerang sudah berkumpul di wilayah Cibodas, Jawa Barat, untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango. Seperti biasa, setiap anggota harus mengecek perlengkapan dan perbekalan yang ada. Segala yang tidak penting dan memberatkan harus disortir dan diminimalisir. Ada-ada saja anak-anak sekolah itu. Ada yang sengaja membawa selimut, radio tape, alat musik, dan bahkan obat nyamuk! Semua itu harus disingkirkan, selain memberatkan tentu saja tidak perlu dan alat musik dilarang.
Rupanya, hampir semua anak -lebih tepatnya orangtuanya- takut kelaparan di gunung. Jadi, hampir setiap anak membawa serta satu tas daypack khusus berisi makanan ringan dan berat. Makanan-makanan ini, mungkin tidak memberatkan. Hanya saja jumlahnya yang overload sehingga dikhawatirkan akan membuat mereka kerepotan sendiri. Kami hanya mengingatkan agar mereka membawa turun kembali semua sampah yang dibawa dari bawah.
Nah, yang menarik adalah pakaian mereka. Beberapa anak lelaki menggunakan baju gamis (pakaian pria muslim). "Saya kan muslim, ini pakaian yang menunjukkan identitas kemusliman saya," alasan mereka mengenakannya.
Ya iyalah...
Inilah yang lebih ingin saya ceritakan. Seperti cerita di atas soal pakaian, saya kenal seorang satpam yang baru saja pulang dari tanah suci. Semenjak menyandang titel "haji", satpam itu senang mengenakan peci putih. Sebenarnya wajar dan sah saja seseorang mengenakan peci putih, apalagi buat orang yang merasa sudah menyandang predikat haji. Hanya saja menjadi tidak pas jika ia mengenakannya juga pada saat bertugas di kantornya.
Suatu hari, pimpinan di kantornya bekerja memanggil satpam haji itu. "Kenapa bapak pakai peci putih saat bertugas?"
"Seperti bapak ketahui, saya kan baru pulang haji," jawabnya.
Kemudian pimpinan tersebut mendekati si satpam dan berkata, "saya juga sudah pernah ke tanah suci dan bahkan beberapa kali. Tapi saya tidak harus mengenakannya ketika sedang bekerja atau menghadapi klien. Saya hanya mengenakannya pada saat-saat yang memang tepat waktu dan tempatnya," terang si pimpinan.
Ya. Sama dengan kasus anak SMA yang memakai baju gamis di gunung. Jelas tidak salah jika ia tetap mengenakannya, pun tidak ada larangan akan hal itu. Tetapi untuk naik gunung ada pakaian yang lebih pas dan lebih fleksibel, seperti T-Shirt atau casual. Pertanyaannya, kalau yang naik gunung itu Kyai atau Santri sebuah pesantren, apakah mereka tetap harus mengenakan kain sarung?
Peci putih milik pak Satpam, tentu saja tetap boleh dikenakan. Mungkin dan waktunya saja yang perlu diatur. Saat sedang bertugas, topi seragam satpam -mirip topi polisi- itu lah yang lebih pas dipakai.
Terlebih, identitas kemusliman seseorang bukanlah tempelan. Bukan sekadar simbol-simbol yang diwakilkan oleh baju gamis, peci haji, atau stiker bertuliskan "I'm Muslim". Siapa pun akan mengenali Anda seorang muslim dari tutur kata, sikap dan kepribadian sehari-hari, meski pun Anda tak sedang memakai baju gamis atau peci putih. Insya Allah. (Gaw)
Suatu hari, sekelompok anak sekolah dari Tangerang sudah berkumpul di wilayah Cibodas, Jawa Barat, untuk melakukan pendakian ke Gunung Gede-Pangrango. Seperti biasa, setiap anggota harus mengecek perlengkapan dan perbekalan yang ada. Segala yang tidak penting dan memberatkan harus disortir dan diminimalisir. Ada-ada saja anak-anak sekolah itu. Ada yang sengaja membawa selimut, radio tape, alat musik, dan bahkan obat nyamuk! Semua itu harus disingkirkan, selain memberatkan tentu saja tidak perlu dan alat musik dilarang.
Rupanya, hampir semua anak -lebih tepatnya orangtuanya- takut kelaparan di gunung. Jadi, hampir setiap anak membawa serta satu tas daypack khusus berisi makanan ringan dan berat. Makanan-makanan ini, mungkin tidak memberatkan. Hanya saja jumlahnya yang overload sehingga dikhawatirkan akan membuat mereka kerepotan sendiri. Kami hanya mengingatkan agar mereka membawa turun kembali semua sampah yang dibawa dari bawah.
Nah, yang menarik adalah pakaian mereka. Beberapa anak lelaki menggunakan baju gamis (pakaian pria muslim). "Saya kan muslim, ini pakaian yang menunjukkan identitas kemusliman saya," alasan mereka mengenakannya.
Ya iyalah...
Inilah yang lebih ingin saya ceritakan. Seperti cerita di atas soal pakaian, saya kenal seorang satpam yang baru saja pulang dari tanah suci. Semenjak menyandang titel "haji", satpam itu senang mengenakan peci putih. Sebenarnya wajar dan sah saja seseorang mengenakan peci putih, apalagi buat orang yang merasa sudah menyandang predikat haji. Hanya saja menjadi tidak pas jika ia mengenakannya juga pada saat bertugas di kantornya.
Suatu hari, pimpinan di kantornya bekerja memanggil satpam haji itu. "Kenapa bapak pakai peci putih saat bertugas?"
"Seperti bapak ketahui, saya kan baru pulang haji," jawabnya.
Kemudian pimpinan tersebut mendekati si satpam dan berkata, "saya juga sudah pernah ke tanah suci dan bahkan beberapa kali. Tapi saya tidak harus mengenakannya ketika sedang bekerja atau menghadapi klien. Saya hanya mengenakannya pada saat-saat yang memang tepat waktu dan tempatnya," terang si pimpinan.
Ya. Sama dengan kasus anak SMA yang memakai baju gamis di gunung. Jelas tidak salah jika ia tetap mengenakannya, pun tidak ada larangan akan hal itu. Tetapi untuk naik gunung ada pakaian yang lebih pas dan lebih fleksibel, seperti T-Shirt atau casual. Pertanyaannya, kalau yang naik gunung itu Kyai atau Santri sebuah pesantren, apakah mereka tetap harus mengenakan kain sarung?
Peci putih milik pak Satpam, tentu saja tetap boleh dikenakan. Mungkin dan waktunya saja yang perlu diatur. Saat sedang bertugas, topi seragam satpam -mirip topi polisi- itu lah yang lebih pas dipakai.
Terlebih, identitas kemusliman seseorang bukanlah tempelan. Bukan sekadar simbol-simbol yang diwakilkan oleh baju gamis, peci haji, atau stiker bertuliskan "I'm Muslim". Siapa pun akan mengenali Anda seorang muslim dari tutur kata, sikap dan kepribadian sehari-hari, meski pun Anda tak sedang memakai baju gamis atau peci putih. Insya Allah. (Gaw)
Subscribe to:
Posts (Atom)