Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, March 31, 2006

Belum Terlambat Untuk Berbagi

Pagi kemarin, saya menjemput anak-anak dari Bogor untuk pulang ke rumah di Ciputat. Perjalanan baru memasuki kilometer ke sembilan menuju Ciputat ketika kami melewati para petugas pengumpul infak masjid di tepi dan tengah jalan. Dan kami melewati mereka begitu saja, sesaat kemudian suara kecil menegur dengan sopan, “abi kok sudah lama nggak kasih uang buat mereka,” nada itu terdengar begitu polos namun cukup untuk membuat saya menghentikan kendaraan.

Saya memang sering terlupa untuk menunjukkan secara langsung kepada anak-anak cara berinfak. Meskipun untuk melakukannya seringkali dan tak selalu di depan mereka. padahal, justru dengan melakukannya langsung di depan mereka, setiap orang tua tengah mengajarkan sikap kedermawanan, kepedulian, dan semangat berbagi. Ini yang nampaknya sering terlupa dari saya untuk tetap konsisten menerapkannya. Teguran dari salah seorang anak saya tadi, tentu saja menunjukkan bahwa mereka tetap membutuhkan konsistensi keteladanan yang pernah kita ajarkan sebelumnya.

“Ini pegang ya, tolong dikasih nanti kalau ada petugas pengumpul infak di pinggir jalan lagi,” seru saya kepadanya.

“Terlambat bi, sudah lewat petugasnya,” Duh, dua kali kalimatnya menohok saya. Saya pun hanya menjelaskan, bahwa tidak ada kata terlambat untuk berbuat kebaikan. Boleh jadi kita kehilangan kesempatan pertama untuk berbuat baik, tapi semestinya kita yakin bahwa Allah senantiasa memberikan kesempatan berikutnya, dan memang, jika kita mau mengambilnya dengan cepat, kesempatan itu selalu ada, terus menerus menghampiri. Inilah uniknya, kesempatan sering tak datang dua kali. Tetapi untuk sebuah kebaikan, justru ianya yang kerap menghampiri, namun kita-lah yang mengabaikannya.

Benar saja. Lima menit lebih sedikit setelah saya memberikan masing-masing selembar ribuan kepada dua anak saya, kami pun melintasi barisan petugas pengumpul infak masjid di jalan raya Parung. Padahal, dengan uang di tangannya itu anak saya sempat mengancam, "Kalau nggak ada lagi, uangnya buat jajan Hufha aja ya...".

Saya menanggapinya dengan senyum, sebab saya tahu persis, sepanjang jalan raya Parung, Bogor, kita dapat menemui lebih dari satu barisan petugas pengumpul infak. "Abi benar, kita belum terlambat" Senangnya anak-anak memasukkan uang itu ke jaring yang disorongkan petugas ke kendaraan kami yang memperlambat lajunya.

Pelajaran pagi kemarin, semoga menjadi segurat catatan yang tak lekang tersimpan dalam lembar memorinya, bahwa tak pernah ada kata terlambat untuk peduli, jangan pernah berpikir untuk tak berbagi hanya karena waktunya tak tepat. Dan tetaplah memelihara semangat berbagi kapan pun, sekali kesempatan terlewati, jutaan kesempatan lainnya pasti menunggu, bahkan menghampiri.

Sejumput doa pun terucap, semoga seluruh keturunan kami menjadi orang-orang yang peduli, memiliki semangat berbagi. Kapan pun, di mana pun, dan kepada siapa pun. Saya yakin Tuhan mendengar harapan sederhana ini, karena saya bisa merasakan senyum-Nya hari itu.

Bayu Gawtama

Thursday, March 23, 2006

Guruku Sayang, Guruku Malang

Pak Catur namanya. Saya pernah memperolok-olok guru Bahasa Indonesia itu, bahkan berkali-kali. Tak terhitung kali saya menjelek-jelekkan namanya di belakang dia, bahkan pernah sekali saya berseru kegirangan saat seorang teman berteriak meledeknya. Pertanda saya setuju dan mengamini ledekan teman yang dialamatkan untuk guru berperawakan kurus dan tak tinggi itu.

Jika mengingatnya kembali, saya menyesal telah memperlakukannya dengan tidak hormat. Sepanjang tiga tahun di bangku SMA saya tak pernah melihatnya memakai pakaian bagus, kecuali "seragam" putih biru yang kerap ia kenakan. Jangan-jangan gajinya yang kecil memang tak memungkinkannya membeli pakaian baru, karena untuk makan sehari-hari pun sudah begitu kurangnya. Selama tiga tahun itu pula saya tak pernah melihatnya bertambah gemuk, sejak pertama masuk sekolah itu hingga saya lulus, berat badannya tak bertambah. Jangan-jangan, ia terlalu pusing memutar dan mengatur pengeluaran sehari-harinya dari penghasilannya yang tak seberapa itu. Sepanjang tiga tahun itu pula, bahkan motornya tak pernah ganti. Boleh jadi, motor milik Pak Catur itu motor terjelek yang parkir di halaman sekolah. Kalah mentereng dari motor milik anak-anak didiknya. Saya tak pernah tahu, apakah Pak Catur saat itu berstatus guru bantu atau guru honorer yang lebih sering harus mengurut dada saat menerima imbalan dari jerih payah mengajarnya setiap hari?

"Bu bayar bu, bu bayar..." begitu ledekan saya kepada salah seorag guru SD saya, Ibu Bayyar. Namanya memang demikian, jadi tak sedikit memang siswa di SD itu yang mengolok-olok namanya. Terlebih ketika ia secara inisiatif pribadinya menyelenggarakan program belajar tambahan di luar sekolah (les privat tapi sedikit wajib) di rumahnya. Ibu Bayyar memungut biaya yang sekitar 500 rupiah setiap anak untuk satu kali pertemuan. Waktu itu kami sering menudingnya sebagai "program pengayaan diri".

Tapi kini saya menyesal telah melakukan itu semua. Bu Bayyar tak pernah marah saya meledeknya, ia tetap tersenyum. Barangkali senyumnya itulah yang menutupi kesulitannya selama ini menyambung hidup dengan mengandalkan profesinya sebagai guru. Jangan-jangan Ibu Bayyar termasuk guru bantu atau honorer yang dibayar secara tak manusiawi, sehingga memaksanya mencari tambahan dengan menyelenggarakan les privat.

Tak hanya Ibu Bayyar. Sebagian besar guru di SD, SMP dan SMA waktu itu juga seolah berlomba menjual buku pelajaran, apakah itu merupakan program bersama sekolah maupun program pribadi, apakah buku baru maupun fotocopy-an. Waktu itu saya menanggapinya sinis sebagai bisnis tambahan para guru itu. Pernah sekali saya berpikir, jelas saja banyak siswa di Indonesia sering gagal dalam banyak pelajaran, karena guru-gurunya sibuk berbisnis. Bahkan saya juga mencurigai, tidak majunya pendidikan di Indonesia bisa jadi disebabkan oleh konsentrasi guru-gurunya terpecah, ya mendidik ya bisnis.

Belakangan saya menyadari semua dugaan itu salah. Penghasilan guru yang hanya cukup untuk makan beberapa hari itu lah penyebab sesungguhnya. Bagaimana mereka tak pusing memikirkan bayar listrik, air, atau sewa rumah mereka setiap bulan? dari mana ia mendapatkan uang untuk makan minggu kedua hingga menjelang gajian berikutnya? bagaimana juga mereka menyediakan bayaran sekolah untuk anak-anak mereka sendiri? atau jangan-jangan banyak kasus di negeri ini, bahwa terdapat anak-anak guru yang tak bisa sekolah lantaran tak ada biaya?

Jika kini ratusan ribu guru menuntut hak mereka untuk sekadar dijadikan pegawai negeri sipil, atau menuntut transparansi atas hasil seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil, itu bukan semata tuntutan emosional pribadi. Tangisan mereka adalah cermin luka puluhan tahun menanti sebuah mimpi yang tak pernah terwujud, sebatas harap akan status; pegawai negeri. Mereka tak pernah putus asa berharap perhatian dan kepedulian pemerintah akan nasib para guru yang selalu dianaktirikan. Tenggotakan mereka tak pernah kering untuk tetap menyuarakan impian sederhana mereka, demi mendapatkan jaminan di masa depan.

Sejuta maaf saya untuk semua guru di muka bumi ini, betapa diri ini kurang menghargai semua jerih payahmu. Akankah nasib guru terus seperti ini, hingga suatu saat nanti tak ada lagi yang berkenan menjadi guru karena nasib mereka yang tak pasti? bukankah pemimpin negeri ini dan seluruh orang sukses di muka bumi ini adalah hasil didikan para guru?

Saya yakin masih ada yang akan menjadi guru sampai kapan pun, tapi saya juga berharap mereka tak sekadar mendapat imbalan yang membuat mereka tak bersemangat mendidik anak-anak kita. Sungguh, jika Anda menanyakan kepada para guru, terhiburkah mereka dengan sematan "pahlawan tanpa tanda jasa?"

Bayu Gawtama

Tuesday, March 21, 2006

Cinta yang Takkan Pernah (Mampu) Terbayar

Lutfia, bukan siapa-siapa. Tapi ia menjadi seseorang yang akan disebut namanya di Surga kelak oleh Yusuf, anak tercintanya. Dan ia akan menjadi satu-satunya yang direkomendasikan Yusuf, seandainya Allah memperkenankannya menyebut satu nama yang akan diajaknya tinggal di Surga, meski Lutfia sendiri nampaknya takkan membutuhkan bantuan anaknya, karena boleh jadi kunci surga kini telah digenggamnya.

Bagaimana tidak, selama dua hari Lutfia menggendong anaknya yang berusia belasan tahun mengelilingi Kota Makassar untuk mencari bantuan, sumbangan dan belas kasihan dari warga kota, mengumpulkan keping kebaikan dan mengais kedermawanan orang-orang yang dijumpainya, sekadar mendapatkan sejumlah uang untuk biaya operasi anaknya yang menderita cacat fisik dan psikis sejak lahir.

Tubuh Yusuf, anak tercintanya yang seberat lebih dari 40 kg tak membuat lelah kaki Lutfia, juga tak menghentikan langkahnya untuk terus menyusuri kota. Tangannya terlihat gemetar setiap menerima sumbangan dari orang-orang yang ditemuinya di jalan, sambil sesekali membetulkan posisi gendongan anaknya. Sementara Yusuf yang cacat, takkan pernah mengerti kenapa ibunya membawanya pergi berjalan kaki menempuh ribuan kilometer, menantang sengatan terik matahari, sekaligus ratusan kali menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang kering sekering air matanya yang tak lagi sanggup menetes.

Ribuan kilo sudah disusuri, jutaan orang sudah dijumpai, tak terbilang kalimat pinta yang terucap seraya menahan malu. Sungguh, sebuah perjuangan yang takkan pernah bisa dilakukan oleh siapa pun di muka bumi ini kecuali seorang makhluk Tuhan bernama; Ibu. Ia tak sekadar menampuk beban seberat 40 kg, tak henti mengukur jalan sepanjang kota hingga batas tak bertepi, tetapi ia juga harus menyingkirkan rasa malunya dicap sebagai peminta-minta, sebuah predikat yang takkan pernah mau disandang siapapun. Tetapi semua dilakukannya demi cintanya kepada si buah hati, untuk melihat kesembuhan anak tercinta, tak peduli seberapa besar yang didapat.

Tidak, ia tak pernah berharap apa pun jika kelak anaknya sembuh. Ia tak pernah meminta anaknya membayar setiap tetes peluhnya yang berjatuhan di setiap jengkal tanah dan aspal yang dilaluinya, semua letih yang menderanya sepanjang jalan menyusuri kota. Ibu takkan memaksa anaknya mengobati luka di kakinya, tak mungkin juga si anak mengganti dengan seberapa pun uang yang ditawarkan untuk setiap hembusan nafasnya yang tak henti tersengal.

Lutfia, adalah contoh ibu yang boleh jadi semua malaikat di langit akan mengagungkan namanya, yang menjadi alasan tak terbantahkan ketika Rasulullah menyebut "ibu" sebagai orang yang menjadi urutan pertama hingga ketiga untuk dilayani, dihormati, dan tempat berbakti setiap anak. Lutfia, barangkali telah menggenggam satu kunci surga lantaran cinta dan pengorbanannya demi Yusuf, anak tercintanya. Bahkan mungkin senyum Allah dan para penghuni langit senantiasa mengiringi setiap hasta yang mampu dicapai ibu yang mengagumkan itu.

Sungguh, cintanya takkan pernah terbalas oleh siapapun, dengan apapun, dan kapanpun. Siapakah yang lebih memiliki cinta semacam itu selain ibu? Wallaahu 'a'lam

Bayu Gawtama
jelang hari ulang tahun ibu

Tuesday, March 14, 2006

Lebih Baik Dari Kesan Orang Lain

Selama ini Anda sudah dikenal sebagai seorang suami yang setia, jujur, di hadapan isteri. Atau sebaliknya, seorang isteri yang senantiasa memegang amanah suaminya. Tak pernah ingkar janji, bahkan selalu menepatinya. Tak henti kalimat sayang dan cinta terhadiahkan untuk pasangan terkasih. Hingga pada satu kesimpulan, pasangan Anda menganggap Anda-lah sosok terbaik anugerah terindah dari Tuhan yang pernah dimilikinya. Jika sudah demikian, Anda sudah mendapatkan kesan baik dari orang terdekat Anda, yakni dari pasangan Anda sendiri. Jadi, buatlah tetap demikian. Kalau perlu jadilah diri ini lebih baik dari kesan yang ada sekarang.

"Ibuku, ibu terbaik sedunia. Ayahku lah yang terhebat". Tak salah jika anak-anak lantang menyatakan perasaan bangganya terhadap Anda. Sebagai ibu, kasih sayang selalu tercurah kepada mereka. Cinta adalah bahasa sehari-hari Anda terhadap mereka, kasih sayang adalah perilaku yang selalu didapat anak-anak dari Anda. Kenakalan anak-anak dibalas dengan kesabaran, tangis mereka selalu mereda di pelukan Anda, egoisme dan amarah anak-anak terjawab dengan kata manis Anda. Sebagai Ayah, Anda tak pernah mengingkari janji, meski sekadar untuk menemaninya tidur tadi malam. Tak ada makian, delikkan mata, atau bahkan pukulan yang akan melukai fisik dan hati mereka. Jika sudah demikian, kesan baik sudah Anda peroleh dari anak-anak. Buatlah tetap demikian, dan bila perlu jadilah lebih baik dari kesan yang ada saat ini.

Anda sekeluarga dikenal sebagai tetangga yang baik, yang tidak pernah terlibat konflik dengan warga di sekitar tempat tinggal Anda. bahkan tak sedikit yang menjadikan keluarga Anda tauladan bagi keluarga lain, tak sedikit pula yang iri dengan keharmonisan keluarga Anda. Orang lain tak pernah mendengar suara pertengkaran di rumah Anda, tak terkecuali tetanggap satu dinding dengan rumah Anda. tak sekalipun ada catatan buruk mengenai keluarga Anda, sekalipun hanya berbentuk gosip atau kabar burung. Semua kesan tetangga dan masyarakat tentang Anda dan keluarga bernilai positif. Buatlah tetap demikian, dan sangat perlu untuk menjadi lebih baik dari kesan orang lain tersebut.

Seluruh jajaran di kantor, dari Direksi hingga office boy menyukai kepribadian Anda. Anda adalah karyawan yang jujur, menghormati atasan, mencitai rekan kerja sekaligus menghargai bawahan. Tak pernah Ada atasan yang marah akibat sikap tidak disiplin Anda, tak satupun rekan kerja yang kecewa karena ketidakprofesionalan Anda, bahkan office boy pun balik menghargai Anda yang tak pernah membuatnya merasa rendah. Tak hanya itu, rekan-rekan bisnis pun mengenal Anda sebagai sosok yang bisa dipercaya. Jika demikian, Anda sudah menciptakan kesan baik di tempat kerja. Buatlah tetap demikian, dan jadilah lebih baik dari kesan yang Anda dapatkan itu.

Di manapun, kapan pun Anda berada, di mata siapa pun Anda dikenal baik. Diam, duduk, berdiri, berjalan, bersikap serta cara Anda bertutur kata memberikan kesan baik diri Anda. Maka buatlah tetap demikian, jadilah lebih baik dari kesan yang Anda terima saat ini. Dan hindari berbuat kesalahan yang menjadikan Anda lebih buruk dari kesan orang lain terhadap Anda.

Jadilah lebih baik dari kesan orang lain, dan jangan menjadi lebih buruk dari kesan orang lain... semoga.

Bayu Gawtama
kalimat terakhir saya dapatkan dari seorang sahabat, terima kasih atas nasibatnya

Thursday, March 09, 2006

Masih Senang Buang Nasi?

Masih senang buang nasi? saya selalu teringat kalimat ini dan rasanya takkan pernah lupa. Adalah ibu yang pernah mengutarakannya dulu saat saya kecil. Setiap kali waktu makan tiba, ibu menyediakan kelima anaknya untuk makan masing-masing sepiring. Dan saya, salah satu dari dua anak ibu yang gemar membuang-buang nasi pada saat makan. Maksudnya, setiap kali ibu luput mengawasi makan kami, saya membuang nasi ke selokan, atau ke tempat sampah dengan berbagai alasan; kenyang, makanan tidak enak, sedang tidak selera makan, atau sekadar mengejar ketinggalan dari saudara-saudara yang lain yang tumpukan nasi di piringnya sudah hampir habis.

Tapi ibu selalu tahu kalau saya melakukan itu, seketika kalimat itu pun terdengar, "masih terus membuang nasi?". Tak hanya itu, seperti penceramah di masjid pada saat sholat Jum'at -begitu saya menilai ibu saat menasehati kami dulu-, tak berhenti bicara sebelum anaknya ini benar-benar menunjukkan penyesalan. Keluarnya khotbah ibu tentang anak-anak terlantar yang bertemu nasi seperti menanti matahari di musim penghujan, mereka yang tak pernah bermasalah soal rasa makanan. Karena masalah mereka bukan pada rasa, tetapi pada wujud fisik makanan yang jarang mereka dapatkan. Berceritalah ibu tentang kaum fakir yang untuk bisa makan sekali sehari, selaut peluh harus terkucur deminya, segunung doa tak henti dipanjatnya untuk sesuap nasi di hari itu, lelah pun tak pernah ada dalam perjalanan panjang mereka mengganjal perut kosongnya.

Lagi-lagi saya membuang nasi, juga diwaktu makan siang bersama abang dan adik. Si bungsu manis dari keluarga kami pun berteriak, "bu, abang buang nasi lagi...". Tiba-tiba saya mendelik dan menampar piring milik si manis. Lalu saya bilang ke ibu, "abang cuma dikit kok, itu buktinya adik yang lebih banyak membuang nasinya," kilah saya tak mau kalah.

Tapi ibu tetap tahu siapa yang bersalah sebenarnya. Saya mendapat hukuman tak mendapatkan makanan untuk malam hari. Di waktu makan malam, saya tak diperkenankan berada di ruang makan. Anak nakal ini diminta untuk merenungi perbuatannya siang hari. Tak banyak yang bisa direnungkan anak sekecil saya waktu itu, selain satu hal yang bisa dirasa; "begini rasanya telat makan..." benar-benar menderita. Saya juga mendapati pelajaran berharga, tidak enak rasanya hanya menjadi penonton orang-orang yang sedang nikmat menyantap makanan, terlebih jika yang dimakan adalah penganan kegemaran saya. Terbersit harap, abang dan adik-adik berbaik hati tak melahap habis semua makanan dan menyisakan sedikit saja untuk saya. Semoga

Ternyata hukuman ibu tak sekejam yang saya kira. Ibu tetaplah manusia paling baik sedunia. Usai waktu makan malam ibu memanggil dan mempersilahkan saya duduk di meja makan. Nasi pun tersedia, semur tahu nikmat buatan ibu yang tadi membuat tenggorokan ini sempat tergelegak pun lahap disantap. Nikmatnya. Ternyata, nasi lebih nikmat untuk dimakan ketimbang dibuang. Dan sungguh, teramat banyak saudara kita yang nyaris tak pernah menikmati makanan senikmat yang kami punya.

***

Sungguh saya tak henti menangis, setiap kali mendengar dan melihat banyak orang membuang makanan yang tak termakan. Setiap kali mendengar bahwa teramat banyak restoran dan hotel yang lebih rela membuang sisa makanan ketimbang membagi-bagikannya kepada orang yang lebih membutuhkan. Setiap kali mendengar berita di televisi tentang orang-orang yang mulai menyantap nasi bekas (aking), atau anak-anak yang menjadikan batang pohon sebagai santapannya, lantaran tak ada lagi yang bisa dimakan.

Miris hati ini, ketika mendengar sekeluarga di Indramayu keracunan setelah menyantap jamur yang diambil dari kebun belakang rumah mereka. Mereka terpaksa makan jamur karena tak lagi ada yang bisa dimakan, dan jamur menjadi pilihan terakhir untuk mengganjal perut kerontang mereka.

Masihkah kita senang membuang nasi?

Bayu Gawtama

Monday, March 06, 2006

Sekarung “Chiki” Kampung untuk Anak-Anak Cibadak

Seorang bocah bertelanjang dada dengan celana yang nyaris kedodoran menyodorkan baskom plastik kepada penjaja makanan kecil sejenis “Chiki”. Baskom tersebut untuk ditukarkan dengan beberapa takar Chiki kampung. Tentu saja ini menjadi sebuah pemandangan unik, masih ada praktik jual beli di masyarakat pedesaan yang tak menggunakan uang sebagai alat tukarnya, melainkan barang bekas seperti botol, baskom atau benda lain yang dianggap masih memiliki nilai jual.

Malang nian bocah kecil itu, baskom plastik berwarna hitam yang dibawanya itu tak laku untuk ditukarkan. Buyarlah impian sederhana miliknya sekadar untuk menikmati makanan kampung tersebut. “Baskomnya sangat kotor, lagi pula sudah pecah,” alasan Mamang penjaja kue ringan itu. Sementara si bocah masih mematung berdiri berharap belas kasih, tangannya tak bergerak terus menyodorkan baskomnya.

Sedih rasanya, melihat seorang bocah terus berharap penuh semangat untuk sekadar mendapatkan makanan ringan yang belum tentu sehat itu. Baskomnya terus diayun-ayunkan seolah memaksa menyodorkan kepada penjaja kue, namun wajah memelas bocah tersebut tak membuat Mamang penjual itu tergubris. Ia malah asik melayani anak-anak lainnya.

“Berapa harga satu semua makanan itu mang,” tanya saya sambil menunjuk sekarung Chiki kampung yang dijualnya itu.

“Murah pak, cuma enam belas ribu rupiah saja...” jawabnya sambil tersenyum sumringah.

“Kalau begitu, berikan kepada semua anak-anak itu, ini uangnya,” seru saya sambil menyerahkan selembar dua puluh ribuan.

Seketika, terjadi aski saling rebut, saling dorong, saling tarik makanan. Tak hanya anak-anak, bahkan remaja, pemuda, ibu-ibu dan bapak-bapak pun ikut bertarung memperebutkan makanan yang tak seberapa itu. Seorang teman yang mencoba membagi-bagikan pun kewalahan dibuatnya. Ada seorang bapak yang menjadikan pecinya sebagai wadah. Lain lagi dengan seorang ibu yang tiba-tiba mengangkat roknya untuk menampung raupan makanan yang berhasil didapatnya. Termasuk bocah kecil tadi yang menjadikan baskom tak laku-nya sebagai tempat. Cukup disayangkan, akibat aksi rebutan itu, tak sedikit makanan ringan itu yang terbuang.

Bertambah miris hati melihat kenyataan yang ada, betapa makanan yang jatuh di tanah pun masih jadi rebutan anak-anak yang bertubuh dekil itu. Malu rasanya jika untuk mereka hanya makanan kecil tak bergizi yang diberikan, padahal mereka teramat membutuhkan asupan gizi dan energi yang memadai.

Anak-anak itu tak peduli lagi akan rumah-rumah mereka yang hancur tertimbun tanah. Tak lagi memusingkan bagaimana menyelamatkan barang-barang berharga yang sudah terkubur bebatuan. Longsor dan banjir yang menerjang rumah mereka juga telah memusnahkan satu-satunya mainan kesayangannya, yang entah berapa tahun lalu sanggup dibeli Ayah mereka. Mereka hanya tahu bahwa setiap pagi, siang, dan malam harus mendapatkan makan, tapi tanya mereka tak pernah terjawab, “kenapa siang ini tak ada makanan? Kemarin juga tidak ada?”

Korban bencana bukan hanya orang tua, justru anak-anak lebih banyak jumlahnya. Bahkan anak-anak itu jauh lebih rentan dari bahaya paska bencana, seperti penyakit dan kelaparan. Bocah-bocah kecil itu takkan pernah kuat untuk berlama-lama bertelanjang dada, dengan perut yang kosong yang sesekali terisi dengan makanan sedapatnya. Beruntung bagi mereka yang masih ada orang tuanya, bagaimana dengan anak-anak korban bencana yang ibu bapaknya ikut tertimbun longsor? Kakak, paman dan bibinya hilang terseret banjir bandang? Seberapa lama mereka mampu bertahan?

Ini akan menjadi bencana berikutnya jika tak segera ditangani. Mari bersama bantu mereka.

Bayu Gawtama

Thursday, March 02, 2006

Memberi Di Saat Sulit

Suatu hari Ali bin Abi Thalib mendapati kedua anaknya, Hasan dan Husain, sakit. Bahkan kedua cucu Baginda Rasulullah SAW itu mengalami sakit yang cukup lama sehingga Ali pun bernazar, “Jika Hasan dan Husain sembuh, aku akan berpuasa selama tiga hari”. Rupanya Allah mendengar nazar Ali tersebut hingga Hasan dan Husain pun sembuh.

Ali bin Abi Thalib bersama isterinya, Fatimah Az Zahra, pun berpuasa. Menjelang tiba waktu berbuka di hari pertama, hanya tersedia dua potong roti untuk makanan berbuka. Ketika waktu berbuka tiba, belum lagi keduanya menyantap roti tersebut, datang seorang fakir miskin yang mengetuk pintu mereka seraya meminta makanan lantaran perutnya belum terisi sejak beberapa hari. Urunglah Ali dan Fatimah melahap roti yang sudah digenggamnya, mereka pun meneruskan berpuasa hingga keesokan harinya.

Di hari kedua berpuasa, mereka pun hanya memiliki sepotong roti untuk dimakan berdua pada waktu berbuka nanti. Seperti halnya hari kemarin, tiba saatnya berbuka, pintu pun kembali terdengar diketuk seseorang. Rupanya seorang anak yatim yang meminta makanan karena kelaparan. Tak kuasa menahan iba, Ali pun memberikan sepotong roti itu kepada anak yatim itu. Keduanya kembali berpuasa.

Ujian memang selalu diberikan Allah kepada orang seperti Ali dan Fatimah. Bahkan di hari ketiga berpuasa pun, sepotong roti yang mereka punya pada saat menjelang berbuka ikhlas mereka berikan kepada seorang tawanan yang baru saja bebas namun tak mempunyai makanan. Ali, Fatimah, dan kedua anaknya, Hasan dan Husain mengerti bahwa semua ini hanyalah ujian kesabaran dari Allah.

Sebuah pelajaran yang teramat mengharukan dari keluarga Ali bin Abi Thalib dan keluarganya yang penyabar. Betapa Allah tengah menguji mereka, akankah mereka tetap beriman dan mau menyedekahkan rezeki milik mereka kepada orang lain, meskipun mereka teramat membutuhkan. Bahkan kisah yang teramat indah ini Allah lukiskan dalam Al Quran Surat Al-Insaan (76): 8-10, agar menjadi pelajaran bagi kebanyakan manusia.

Memberi di saat berlebih adalah hal mudah, meski tidak semua orang melakukannya. Tetapi memberi di saat kita membutuhkan, hanyalah orang-orang yang mengharapkan perjumpaan dengan Allah di surga kelak yang sanggup melakukannya. Butuh perjuangan, keikhlasan dan kesabaran untuk meniru apa yang dilakukan Ali bin Abi Thalib beserta keluarganya. Tentu saja kita bisa, jika kita mau.

“... barangsiapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, hendaklah ia berbuat kebaikan...” (QS. Al Kahfi:110)

Bayu Gawtama

Wednesday, March 01, 2006

Kisah Badut Kebun Binatang

Ada kisah menarik tentang seseorang yang bekerja sebagai badut di Kebun Binatang. Sebut saja namanya Ipang. Setiap pagi ia sudah tiba di Kabun Bintang untuk bersiap-siap mengenakan kostum hewan yang biasa kita lihat di area tersebut. Ia tak pernah tahu akan memakai kostum apa hari itu, karena setiap hari akan selalu berganti peran. Bisa jadi hari ini ia akan mengaum seperti harimau, meringkik ala kuda, mengembik layaknya kambing, atau meraung sekeras beruang.

Sungguh semua itu dilakukannya untuk satu tujuan; membuat anak-anak tersenyum ceria, dan bersahabat akrab dengan hewan. Jika ada anak yang menangis, tugasnya mendekati merujuknya agar tertawa. Bila si anak bertambah keras menangisnya, gagallah tugasnya. Di kerumunan anak-anak yang tertawa riang, tugasnya menjaga agar tawa itu tetap terdengar. Jika ada anak-anak yang terbirit ketakutan bersembunyi di tubuh orang tuanya, gagal pula ia menjalankan perannya. Karena sekali lagi, tugasnya adalah membuat anak-anak tersenyum ceria. Tak peduli ia berkostum apa.

Tak ada yang pernah tahu siapa di balik kostum gajah itu, seperti apa rupa asli di dalam boneka besar berbentuk beruang. Orang yang bertugas itu pun sadar, bahwa ia tak pernah diperkenankan menunjukkan wajah aslinya di depan kerumunan orang, di muka para pengunjung kebun binatang. Tak pernah sekali pun tiba-tiba ia membuka kedoknya di depan anak-anak yang berkerumun.

Bukan hanya itu, selain ia harus rela tak dikenali. Petugas badut binatang itu pun rela jika harus diusik, dijahili, atau bahkan dicaci orang tua yang anaknya ketakutan akibat aksinya. Baginya, ini bagian dari tanggungjawab profesinya sebagai badut. Ia tak peduli harus berkeringat kepanasan di dalam boneka besar itu, tak dibenarkan membuka kedoknya hanya karena kehausan. Sudah ada waktu khusus baginya untuk beristirahat sejenak, menghirup udara segar dan menyeruput air segar. Kadang, ia pun harus rela melewatkan kesempatan istirahatnya jika anak-anak menarik-narik mengajaknya terus bermain. Sekali lagi, ia akan selalu memegang tujuan utama dari perannya itu; menceriakan anak-anak.

Tak satu pun pernah mengira, tuakah atau seorang pemuda yang di dalam kostum binatang itu, wanita atau lelaki, tampankah ia, cantikkah ia, tak pernah ada yang tahu. Bahkan mungkin, orang tua dan anak-anak di tempat wisata itu juga tak percaya jika ada yang berkata, "Tahu nggak, yang tadi jadi badut harimau itu kan saya...". Bisa jadi mereka tak peduli.

Para pengunjung kebun binatang, berikut anak-anak mereka tak pernah mengerti keletihan, kepanasan, kehausan atau lapar yang diderita petugas badut. Bagi mereka, badut-badut itu harus tetap berdiri, bergoyang, bernyanyi, berlari-lari, untuk tetap membuat anak-anak tersenyum, tertawa dan ikut berlari. Berhenti ia menari dan melucu, anak-anak akan diam, atau ada yang menangis. Tak tega melihat anak-anak itu menangis, ia akan kembali bergoyang, tanpa lagi peduli sekujur tubuhnya sudah teramat letih. Ia tahu, tuntutan terhadapnya begitu banyak, dan tak pernah ada yang tahu betapa ia pun butuh berhenti sejenak.

Kostum apa pun yang ia pakai, ia akan berperangai, bersuara dan bertingkah sesuai kostumnya. Ia tak akan pernah mengembik saat berkostum kelinci, tak pernah melompat-lompat saat tak sedang menjadi katak. Ia juga tak pernah memakai sekali dua kostum, kepala harimau sementara badannya seekor jerapah. Pasti akan membingungkan anak-anak, hewan apa gerangan? Tapi yang pasti ia bisa menjadi apa pun, dan akan bersuara sesuai dengan yang saat itu diperankannya. Hari ini ia menjadi seekor serigala yang melolong, mungkin esok ia menjadi kelinci. Meski tujuannya hanya satu; menceriakan anak-anak.

Bayu Gawtama
berkostum apa pun, saya tetap mencintai anak-anak