Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, December 19, 2006

14 Tahun Menanti untuk Berqurban

Dadang, 33 tahun, seorang buruh pabrik di Bandung, Jawa Barat. Sebagai buruh pabrik hanya hanya lulusan SLTA, gaji yang diterimanya pun pas-pasan. “Hanya bertahan di sepekan pertama setelah gajian,” terangnya tentang seberapa cukup gaji yang diterimanya untuk menopang hidup. Hari-hari selanjutnya setelah pekan pertama itu, ia jalani dengan penuh keprihatinan. Beruntung ia masih memiliki sepeda untuk ke tempat kerjanya, sementara isterinya mencari penghasilan tambahan dengan mencuci pakaian tetangganya.

Namun, keterbatasan dan kekurangan tak pernah menyurutkan niatnya untuk bisa berqurban. “Malu saya jika setiap tahun hanya menjadi penerima daging qurban. Saya kira jauh lebih nikmat jika kita sendiri yang berqurban,” semangatnya tak pernah padam jika bicara tentang dua impiannya, berqurban dan pergi ke tanah suci. Tetapi menurutnya, tahap pertama dan yang paling mungkin ia lakukan adalah berqurban.

Ternyata, berqurban bagi seorang Dadang bukanlah hal mudah. Tahun 1991, ketika baru lulus SLTA dan mendapatkan pekerjaan, ia langsung bertekad, “Saya ingin berhaji suatu saat, semoga cita-cita yang terkabul,” sembari menambahkan, target pertama sebelum berhaji adalah membeli seekor kambing untuk diqurbankan. Saat itu ia belum menikah dan masih tinggal bersama orang tuanya. Sebagai anak pertama dari empat bersaudara, ia merasa berkewajiban untuk membantu meringankan beban orangtuanya dengan memberi sebagian penghasilannya untuk biaya sekolah adik-adiknya. “Gaji saya waktu itu cuma dua ratusan ribu, sebagian untuk biaya sekolah adik, sebagian lainnya disimpan untuk pegangan”.

Lima ribu rupiah, nilai yang bisa ditabungnya setiap bulan untuk meraih impiannya berqurban. “Tidak peduli perlu waktu berapa tahun untuk bisa terkumpul uang seharga seekor kambing, yang penting tekad saya harus seratus persen,” tegasnya bersemangat. Tentang tekadnya ini, ia tak pernah berkompromi untuk urusan dan kebutuhan apa pun, yang pasti lima ribu rupiah harus ditabung setiap bulannya.

Tekad seratus persen memang semestinya tak boleh terkalahkan oleh apa pun. Empat tahun bekerja mengumpulkan uang antara lima sampai sepuluh ribu setiap bulannya, Dadang mengantongi cukup uang untuk membeli seekor kambing untuk berqurban. Bahkan keinginannya untuk melanjutkan sekolah di tahun 1995 ia redam demi seekor hewan qurban. Pekan ketiga di bulan Ramadhan 1416 H, berbinar mata Dadang menerima Tunjangan Hari Raya (THR). Bukan karena ia bisa membeli baju baru, tetapi karena ia merasa punya tambahan untuk membeli seekor kambing untuk qurban di hari raya Idul Adha.

Tetapi di tahun itu juga, saat wajahnya berseri menjelang terwujudnya impian untuk berqurban, Dadang harus ikhlas merelakan uang untuk membeli seekor kambing dipakai untuk biaya masuk sekolah adiknya. “Saya ikhlas. Pasti Allah yang mengatur semua ini, dan saya percaya masih ada kesempatan saya di tahun-tahun depan,” sebuah pemelajaran berharga tentang makna berqurban sesungguhnya.

Dadang tak putus asa. Ia kembali merajut hari, menghitung penghasilannya sebagai buruh pabrik serta menyisihkan sebagian kecil untuk ditabung. “Untuk hewan qurban impian saya,” jelasnya. Setelah sekitar tiga tahun menabung, cobaan atas tekadnya itu kembali datang, kali ini cobaannya berupa keinginan Dadang untuk menikah. “Usia saya sudah pantas untuk menikah, lagi pula sudah ada calonnya. Saya tidak ingin berlama-lama punya hubungan tanpa status, takut dosa,” lagi-lagi uang tabungannya terpakai untuk menikah. Saat itu, Dadang sedikit berkilah, “Toh sama-sama ibadah”.

Hari-hari setelah menikah dibayangkan Dadang akan semakin mudah baginya untuk menabung demi hewan qurban impiannya. Sebab, pikir Dadang, kini ia tak sendirian menabung. Ia bisa mengajak isterinya yang juga bekerja untuk ikut menabung agar di tahun depan bisa membeli hewan qurban.

Konon, kenyataan hidup tak pernah seindah mimpi. Begitu pula yang dialami Dadang selama bertahun-tahun mengarungi bahtera rumah tangga bersama isterinya, Yenni. Terlebih setelah melahirkan putra pertama mereka satu tahun setelah menikah, Yenni tak lagi bekerja. Dadang pun harus sendirian membanting tulang menafkahi keluarga, belum lagi permintaan orang tuanya untuk ikut membantu biaya pendidikan adik bungsunya. Tetapi dalam keadaan seperti itu, Dadang selalu teringat niatnya beberapa tahun lalu untuk bisa berqurban. “Semoga tak hanya tinggal impian, saya masih bertekad mewujudkannya,” kalimat ini menutup lamunannya.

Meski sedikit, ia paksakan diri untuk terus menabung. Kadang, tabungan yang terkumpul terganggu oleh kebutuhan dapur atau susu si kecil. Kebutuhannya bertambah besar, dengan bertambahnya anggota keluarga di rumah Dadang. Dengan dua anak, si sulung butuh biaya sekolah, sedangkan si kecil perlu susu dan makanan bergizi, nampaknya Dadang harus mengubur dalam-dalam mimpinya untuk berqurban, apalagi pergi haji ke tanah suci.

Dadang, lelaki berbadan kurus itu tetap menggenggam tekad berqurbannya dalam genggamannya. Ia tak pernah melepaskan dan membiarkan mimpinya terbang tak berwujud. Setelah empat belas tahun menunggu, tahun 1426 H, impiannya untuk berqurban terwujud sudah. Sebuah perjuangan maha berat selama bertahun-tahun yang dilewatinya terasa begitu ringan setelah ia melunasi mimpinya menyembelih hewan qurbannya dengan tangannya sendiri.

Cermin kepuasan tersirat di wajahnya. Empat belas tahun, waktu yang takkan pernah dilupakan sepanjang hidupnya untuk sebuah mimpi. “Target saya berikutnya adalah berhaji, entah berapa lama waktu saya untuk mewujudkannya. Saya tak peduli,” ujarnya sambil tersenyum.

***

Seberapa berat perjuangan dan pengorbanan kita untuk melakukan sesuatu?

Gaw

5 comments:

Anonymous said...

Salut oeee... Kalo udah kayak gitu, insya Allah tinggal tekad berhajinya yang belum kesampaian.. Moga-moga terlaksana juga

Anonymous said...

subhanallah, lagi-lagi mas Bayu berhasil menyentuh lewat kisah-kisahnya...

Anonymous said...

Bukti bahwa nothing is imposible. Tinggal waktu dan keteguhan hati yang akan mewujudkan impian kita, palagi di barengi ma keikhlasan dan niat yang tulus. Kapan bisa kaya' orang yg di dikisahkan diatas ya....

Anonymous said...

Mudah-mudahan tulisan di atas bisa dijadikan cermin bagi kita-kita yg mempunyai kelebihan harta agar semakin mudah untuk memberikan sebagian harta kita untuk orang-orang yang sangat membutuhkan....

pupuk organik said...

pupuk organik, Kesuburan berkurang krn pemakaian pupuk kimia, beralihlah ke pupuk organik , dgn pemakaian yg bijaksana & sesuai kebutuhan, gunakan pupuk organik, selamatkan bumi tanah air.