Sepuluh menit begitu berarti? Ya, waktu yang sebentar itu bisa membuat saya tenang menjalani dua puluh tiga jam lima puluh menit selanjutnya, atau sebaliknya, sepuluh menit akan menjadikan sepanjang hidup saya dihantui perasaan bersalah dan penuh penyesalan. Karena sepuluh menit yang saya maksud adalah kesempatan untuk mengajak kedua putri saya berputar-putar sekeliling rumah setiap pagi sebelum ke kantor.
Mengajak anak-anak berputar dengan motor setiap pagi sudah menjadi rutinitas harian. Saya tak pernah menawarinya, justru awalnya merekalah yang meminta. Jadilah berputar selama kurang lebih sepuluh menit itu sebuah "kewajiban" tak tertulis namun tersepakati antara saya dan anak-anak, bahwa jangan pernah ada satu hari pun terlewati tanpa rutinitas tersebut. Kecuali jika saya sedang keluar kota.
Pernah satu pagi saya tergesa ke kantor sehingga mengabaikan keinginan anak-anak untuk berputar-putar seperti pagi-pagi sebelumnya. Namun karena saya merasa harus datang lebih awal ke kantor lantaran khawatir terlambat, saya tak menggubris tangisan kedua anak saya. Motor pun menderu berpacu mengejar waktu, beberapa menit kemudian saya pun tiba di kantor. Saya memang tak terlambat untuk mengikuti rapat pagi itu, tetapi begitu rapat dimulai ada yang begitu berat menggelayuti perasaan yang membuat saya tak konsentrasi berada di ruang rapat.
Terbayanglah wajah-wajah mungil di rumah yang masih menangis terabaikan, tersisihkan oleh kepentingan saya untuk segera tiba di kantor. Padahal mereka sudah mandi pagi-pagi mendahului saya, berdandan rapi lengkap dengan jilbab tercantik pilihan mereka sendiri, demi satu keinginan; berputar keliling komplek rumah dengan motor. "Iqna pakai jilbab ini lho, kalau kena angin kan bisa terbang-terbang..." seru si kecil bersemangat. "Teteh boleh pakai sepatu nggak bi?" sebuah tanya yang terjawab oleh deru mesin yang bergegas ke kantor.
Pagi itu, dua pasang mata menatap sedih motor saya yang melaju kencang. Suara tangis mereka hilang sudah ditelan angin pagi. Nampaknya, rayuan sang bunda pun tak membuat mereka bergeming. "Hampir setengah jam anak-anak tetap berdiri di depan rumah, berharap abi kembali lagi," ujar isteri saya sesaat setelah saya pulang.
Saya merasa bersalah, menyesal, marah pada diri sendiri. Anak-anak hanya butuh waktu sepuluh menit di pagi hari sebelum melepaskan keridhaan mereka melepas kepergian saya ke kantor dengan masing-masing tiga kecupan; pipi kanan, pipi kiri dan bibir. Tetapi pagi itu, jangankan kecupan, bahkan lambaian tangan saya pun tak dihiraukan.
Menangis pun tak berarti, saya harus minta maaf kepada mereka. Semoga permintaan maaf saya bisa diterima agar penyesalan saya tak berketerusan. Tetapi sungguh, yang paling membuat saya takut hingga detik ini bukan soal mereka tak mau memaafkan, melainkan kekhawatiran saya bahwa pagi itu kedua hati gadis kecil itu telah saya patahkan dengan sengaja, telah saya lukai tanpa merasa bersalah. Saya telah dengan sengaja memupuskan harapan mereka. Jika benar terjadi demikian, sebuah harga mahal harus saya tebus; mereka kecewa akan saya, setidaknya pagi itu.
Bayu Gawtama
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Tuesday, February 28, 2006
Tuesday, February 21, 2006
Menangis Saja Tak Cukup
Bagaimana reaksi kita saat melihat berita-berita tentang derita orang lain di televisi, atau membaca kisah sedih memilukan di surat kabar? tentang jutaan anak balita yang kekurangan gizi dan akhirnya menderita gizi buruk dan busung lapar di berbagai daerah, tentang bencana banjir dan longsor yang menghancurkan ribuan rumah dan ribuan hektar sawah serta ladang, juga menelan korban jiwa, tentang orang-orang yang kehilangan Ayah, Ibu, anak, saudara, kerabat dan sahabat akibat bencana, termasuk pemandangan sehari-hari di televisi kita tentang puluhan desa di banyak wilayah di negeri ini yang kesulitan untuk mendapatkan makan? Tak sedikit warga yang kelaparan usai bencana melanda kampung mereka.
Sedihkah kita? menangiskah saat lintasan-lintasan peristiwa itu terpampang di layar kaca? atau kita bersikap biasa karena bencana-bencana itu terjadi jauh dari rumah kita sendiri. Tak bergeming diri ini untuk turut membantu karena tak satu pun saudara dekat, kerabat atau sahabat kita yang termasuk dalam daftar korban?
Mari simak kembali, nyaris semua bencana yang terjadi menimpa saudara-saudara kita yang kekurangan. Sebelum bencana, mereka sudah berada dalam kesusahan, hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Tanpa bencana, mereka pun sudah menderita. Dan tiba-tiba bencana datang meluluhlantakkan semua yang mereka punya. Sungguh, mereka tak punya apapun selain gubuk atau rumah bilik beratap jerami, yang di dalamnya hanya tersedia bahan makanan untuk sehari, tungku api pengganti kompor yang tak pernah terbeli, dandang, panci dan wajan yang penuh tambalan, teko air yang sudah penyok di setiap sisinya, beberapa buah gelas yang bergantian dipakai oleh seluruh anggota keluarga, piring kaleng yang lebih mirip wadah untuk kita memberi makan ternak, dan beberapa potong pakaian tak layak pakai.
Hanya itu yang mereka punya. Dan bencana merenggut sedikit harta benda mereka dalam waktu sekejap. Jangankan menyelamatkan harta yang tak ternilai itu, bahkan menolong anak, Ayah, Ibu, dan saudara pun tak bisa lakukan. Meraka hanya bisa berteriak dan melihat anggota keluarga mereka hanyut tersapu badai, sambil berharap keajaiban kan datang menyelematkan keluarga terkasih. Tapi, hari dan minggu berlalu, tak satu pun yang kembali.
Hingga hari ini, puluhan ribu korban bencana masih berharap anak-anak mereka kembali, Ayah dan Ibu mereka pulang, lengkap dengan baju yang dikenakannya pada saat musibah. Tak ada sedikit pun luka membekas di wajah dan tubuh orang-orang terkasih itu, seolah bencana tak pernah terjadi. Ada harap mereka kan kembali mendekap tubuh-tubuh hangat itu, yang sekian lama tak bersua. Sayangnya, mereka hanya bisa menjumpai orang terkasih itu dalam mimpi. Semua yang pergi takkan pernah kembali, walau mereka tak pernah berhenti berharap. Hingga detik ini.
Kita tak kan pernah bisa menghapus air mata mereka, tak pernah sanggup menghentikan tangis para korban bencana dan membuat mereka kembali ceria. Namun kita masih bisa menangis bersama mereka, hari ini, esok dan sampai kapan pun mereka membutuhkan empati kita.
Tetapi menangis saja tentu tak cukup. Kepedulian kita pasti dapat meringankan beban mereka, sedikit mengembalikan kepercayaan para korban bencana bahwa mereka tak sendiri. Masih ada "keluarga" dari jauh yang meski tak pernah bersua, namun tetap memperhatikan saudaranya. Kitalah keluarga baru mereka itu...
Bayu Gawtama
Sedihkah kita? menangiskah saat lintasan-lintasan peristiwa itu terpampang di layar kaca? atau kita bersikap biasa karena bencana-bencana itu terjadi jauh dari rumah kita sendiri. Tak bergeming diri ini untuk turut membantu karena tak satu pun saudara dekat, kerabat atau sahabat kita yang termasuk dalam daftar korban?
Mari simak kembali, nyaris semua bencana yang terjadi menimpa saudara-saudara kita yang kekurangan. Sebelum bencana, mereka sudah berada dalam kesusahan, hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan. Tanpa bencana, mereka pun sudah menderita. Dan tiba-tiba bencana datang meluluhlantakkan semua yang mereka punya. Sungguh, mereka tak punya apapun selain gubuk atau rumah bilik beratap jerami, yang di dalamnya hanya tersedia bahan makanan untuk sehari, tungku api pengganti kompor yang tak pernah terbeli, dandang, panci dan wajan yang penuh tambalan, teko air yang sudah penyok di setiap sisinya, beberapa buah gelas yang bergantian dipakai oleh seluruh anggota keluarga, piring kaleng yang lebih mirip wadah untuk kita memberi makan ternak, dan beberapa potong pakaian tak layak pakai.
Hanya itu yang mereka punya. Dan bencana merenggut sedikit harta benda mereka dalam waktu sekejap. Jangankan menyelamatkan harta yang tak ternilai itu, bahkan menolong anak, Ayah, Ibu, dan saudara pun tak bisa lakukan. Meraka hanya bisa berteriak dan melihat anggota keluarga mereka hanyut tersapu badai, sambil berharap keajaiban kan datang menyelematkan keluarga terkasih. Tapi, hari dan minggu berlalu, tak satu pun yang kembali.
Hingga hari ini, puluhan ribu korban bencana masih berharap anak-anak mereka kembali, Ayah dan Ibu mereka pulang, lengkap dengan baju yang dikenakannya pada saat musibah. Tak ada sedikit pun luka membekas di wajah dan tubuh orang-orang terkasih itu, seolah bencana tak pernah terjadi. Ada harap mereka kan kembali mendekap tubuh-tubuh hangat itu, yang sekian lama tak bersua. Sayangnya, mereka hanya bisa menjumpai orang terkasih itu dalam mimpi. Semua yang pergi takkan pernah kembali, walau mereka tak pernah berhenti berharap. Hingga detik ini.
Kita tak kan pernah bisa menghapus air mata mereka, tak pernah sanggup menghentikan tangis para korban bencana dan membuat mereka kembali ceria. Namun kita masih bisa menangis bersama mereka, hari ini, esok dan sampai kapan pun mereka membutuhkan empati kita.
Tetapi menangis saja tentu tak cukup. Kepedulian kita pasti dapat meringankan beban mereka, sedikit mengembalikan kepercayaan para korban bencana bahwa mereka tak sendiri. Masih ada "keluarga" dari jauh yang meski tak pernah bersua, namun tetap memperhatikan saudaranya. Kitalah keluarga baru mereka itu...
Bayu Gawtama
Sunday, February 19, 2006
Janda Tua di Gubuk Tak Berjendela
Jika diantara Anda ada yang menderita penyakit aneh sulit menangis, tak bisa menitikkan air mata, dan sudah terlalu lama kelopak mata Anda kering tak terbasahi air mata sendiri, datanglah ke Kampung Pugur, Desa Lengkong Kulon, Kecamatan Pagedangan, Kabupaten Tangerang. Carilah rumah Ibu Laeni, janda berusia 64 tahun yang tinggal di sebuah gubuk berdinding bilik seluas 5x7 meter. Bangunan beralas tanah tak berpenerangan itu memiliki jendela, namun tak ada penutup jendela sehingga angin maupun cipratan air hujan leluasa masuk ke dalamnya.
Di dalam gubuk tersebut, tinggallah Ibu Laeni, seorang janda tua yang ditemani dua anak gadisnya, Neneng dan Jumriah. Neneng, sang kakak berusia 26 tahun, belum menikah dan tak bekerja. Neneng menderita gizi buruk sejak kecil, sedangkan Jumriah sang adik menjanda justru setelah memiliki 2 (dua) putra. Jadi, terdapat 2 janda dan seorang pesakitan di rumah tersebut, ditambah 2 anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Sehari-hari, Ibu Laeni, Neneng, dan Jumriah beserta 2 anaknya hanya berharap belas kasihan para tetangganya untuk bisa mendapatkan makan. Bila malam tiba, kadang mereka harus menjalani sepanjang malam tak berpenerangan, beruntung bila ada tetangga yang datang membawa setitik lilin yang hanya mampu bertahan tak lebih dari satu jam. Selebihnya, seisi gubuk pun kembali gulita.
Neneng yang menderita gizi buruk sering sakit-sakitan. Untuk wanita seusianya, seharusnya berperawakan besar dan tinggi, namun ia lebih mirip remaja baru tumbuh yang terhambat pertumbuhannya. Kemiskinan yang dialami keluarganya, membuat Neneng semakin menderita. Ternyata, tak hanya balita yang menderita gizi buruk, bahkan wanita dewasa seperti Neneng pun mengalaminya. Sang adik, Jumriah tak kalah menderita. Entah apa kesalahan yang dibuatnya sehingga sang suami tega meninggalkan ia bersama dua buah hatinya. Padahal, dua anak hasil pernikahannya itu sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian dan perlindungan seorang Ayah. Sang suami yang diharapkan menjadi tulang punggung menghilang tanpa jejak. Jumriah pun tak pernah sanggup menjawab pertanyaan dua anaknya, "Mana bapak bu...?"
Laeni tak pernah berharap hidup semenderita saat ini, ia pun tak pernah meminta diberikan umur panjang jika harus terus menjadi beban orang lain. Tapi ia masih punya iman untuk tak mengakhiri hidupnya dengan jalannya sendiri, selain itu wanita tua itu tak pernah tega meninggalkan dua anak dan dua cucunya yang tak kalah menderitanya. Baginya, anak-anak dan cucunya adalah harta berharga yang masih dimilikinya.
Gubuk berdinding yang sebagian atapnya rusak itu, di musim hujan air leluasa masuk, disaat terik matahari bebas menerobos. Tak ada barang berharga di dalamnya, hanya kompor dekil yang sering tak terpakai lantaran tak ada bahan makanan yang dimasak. Mereka menyebutnya rumah, tapi siapapun yang pernah melihatnya, menyebut gubuk pun masih jauh dari pantas. Tetapi di dalamnya, ada dua janda, satu pesakitan, dan dua anak kecil yang terus menerus menunggu belas kasihan.
Bayu Gawtama
Di dalam gubuk tersebut, tinggallah Ibu Laeni, seorang janda tua yang ditemani dua anak gadisnya, Neneng dan Jumriah. Neneng, sang kakak berusia 26 tahun, belum menikah dan tak bekerja. Neneng menderita gizi buruk sejak kecil, sedangkan Jumriah sang adik menjanda justru setelah memiliki 2 (dua) putra. Jadi, terdapat 2 janda dan seorang pesakitan di rumah tersebut, ditambah 2 anak kecil yang belum mengerti apa-apa.
Sehari-hari, Ibu Laeni, Neneng, dan Jumriah beserta 2 anaknya hanya berharap belas kasihan para tetangganya untuk bisa mendapatkan makan. Bila malam tiba, kadang mereka harus menjalani sepanjang malam tak berpenerangan, beruntung bila ada tetangga yang datang membawa setitik lilin yang hanya mampu bertahan tak lebih dari satu jam. Selebihnya, seisi gubuk pun kembali gulita.
Neneng yang menderita gizi buruk sering sakit-sakitan. Untuk wanita seusianya, seharusnya berperawakan besar dan tinggi, namun ia lebih mirip remaja baru tumbuh yang terhambat pertumbuhannya. Kemiskinan yang dialami keluarganya, membuat Neneng semakin menderita. Ternyata, tak hanya balita yang menderita gizi buruk, bahkan wanita dewasa seperti Neneng pun mengalaminya. Sang adik, Jumriah tak kalah menderita. Entah apa kesalahan yang dibuatnya sehingga sang suami tega meninggalkan ia bersama dua buah hatinya. Padahal, dua anak hasil pernikahannya itu sangat membutuhkan kasih sayang, perhatian dan perlindungan seorang Ayah. Sang suami yang diharapkan menjadi tulang punggung menghilang tanpa jejak. Jumriah pun tak pernah sanggup menjawab pertanyaan dua anaknya, "Mana bapak bu...?"
Laeni tak pernah berharap hidup semenderita saat ini, ia pun tak pernah meminta diberikan umur panjang jika harus terus menjadi beban orang lain. Tapi ia masih punya iman untuk tak mengakhiri hidupnya dengan jalannya sendiri, selain itu wanita tua itu tak pernah tega meninggalkan dua anak dan dua cucunya yang tak kalah menderitanya. Baginya, anak-anak dan cucunya adalah harta berharga yang masih dimilikinya.
Gubuk berdinding yang sebagian atapnya rusak itu, di musim hujan air leluasa masuk, disaat terik matahari bebas menerobos. Tak ada barang berharga di dalamnya, hanya kompor dekil yang sering tak terpakai lantaran tak ada bahan makanan yang dimasak. Mereka menyebutnya rumah, tapi siapapun yang pernah melihatnya, menyebut gubuk pun masih jauh dari pantas. Tetapi di dalamnya, ada dua janda, satu pesakitan, dan dua anak kecil yang terus menerus menunggu belas kasihan.
Bayu Gawtama
Tuesday, February 14, 2006
Separuh Bibirnya Habis Akibat Kelaparan
Ariya, 20 bulan, semestinya balita seusianya masih harus mendapatkan asupan gizi yang cukup. Namun penghasilan ayahnya sebagai buruh kecil dan ibunya yang menjadi pembantu rumah tangga membuatnya terpaksa tak menikmati gizi yang memadai. Janganlah bicara gizi, untuk makanan sehari-hari pun bocah kecil kurus itu hampir jarang menikmati.
Kedua orangtuanya harus pasrah membiarkan anaknya sering kelaparan, karena mereka pun mengalami nasib yang tak berbeda, perut mereka lebih sering kosong. Dalam sepekan, bisa jadi empat hari perutnya kosong. Akibat kelaparan yang diderita Ariya dan keluarganya, kini Ariya harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Bulukumba, Sulawesi Selatan, karena mengalami gizi buruk. Tak hanya itu, yang lebih menyedihkan, separuh bibir Ariya tampak habis, layaknya buah jambu yang digerogoti kelelawar. Ternyata, akibat sering menahan lapar Ariya sering menggigiti bibirnya sendiri sampai bolong.
Masih di daerah yang sama, Bulukumba, Dimas, usianya sedikit lebih tua dari Ariya, 2 tahun. Tapi berat badannya sama dengan berat badan bayi 3 bulan. Tulang-tulang di dadanya sangat menonjol, hanya kulit tipis yang menutupi tulang-tulang itu. Sedangkan kedua tangan dan kakinya lebih mirip akar yang kehabisan air. Dimas juga mengalami gizi buruk lantaran orangtuanya tak mampu memberinya makanan bergizi. Setiap hari, sejak usianya 6 bulan, hanya makanan orang dewasa yang didapat Dimas. Tak ada susu formula, dan makanan bergizi lainnya.
Jika Ariya dan Dimas hanyalah dua dari jutaaan anak yang mengalami gizi buruk lantaran sulit mendapatkan makanan, tidak berbeda dengan kelompok-kelompok warga lainnya di berbagai tempat. Kampung Bungbulang, Garut, mungkin tidak banyak orang yang pernah mendengarnya. Sebuah kampung terpencil di Jawa Barat itu baru-baru ini menggemparkan karena nyaris seluruh warganya mengalami kelaparan. Memang sudah ada LSM dan dokter yang menangani warga di kampung tersebut, namun bagaimana pun kejadian ini sungguh memilukan. Hingga hari ini, warga Kampung Bungbulang masih harus terus mendapatkan bantuan. Lebih penting dari itu, mereka juga harus mendapatkan penyuluhan kesehatan dan pola makan sehat.
Tak hanya di Garut. Ratusan warga di beberapa daerah di Brebes, Jawa Tengah terpaksa kembali makan tiwul, penganan yang terbuat dari singkong. Beralihnya makanan dari beras ke singkong lantaran semakin tingginya harga beras yang tak terjangkau oleh penghasilan mereka yang minim. Masih di Brebes, 80 kepala keluarga terancam kelaparan usai banjir yang melanda kampung mereka tiga pekan yang lalu. Banjir tak hanya menenggelamkan rumah warga, melainkan juga menggenangi ratusan hektar sawah milik mereka selama berhari-hari. Akibatnya, seluruh padi yang siap dipanen pun puso. Selain panen yang gagal, persediaan beras dan makanan warga pun musnah terbawa banjir. Karena tak lagi memiliki beras untuk dimakan, ratusan jiwa itu pun kini hanya bisa makan nasi aking, yakni nasi sisa/bekas yang dikeringkan kemudian dimasak kembali.
Di tempat lainnya, Bellu, Nusa Tenggara Timur, ancaman kelaparan sudah menimpa warga lantaran sarana transportasi yang sempat terputus akibat banjir bandang. Bantuan bahan makanan memang dikirim ke wilayah tersebut, namun jumlahnya sangat terbatas dan belum mencukupi. Sedangkan banjir telah lebih dulu menghancurkan ladang-ladang mereka, akibatnya ratusan warga korban banjir terpaksa memakan batang pohon yang dihaluskan.
Sejumlah daerah lainnya yang pekan lalu terkena banjir dan longsor, seperti Sumbawa, Lombok Timur, beberapa daerah di Jawa Tengah, bahkan termasuk Kabupaten Purwakarta pun tak luput dari ancaman kelaparan. Pekan lalu, Lurah Desa Panyindangan, Kabupaten Purwakarta, H. Adang Permana melaporkan, akibat bencana longsor, kini wilayahnya bisa dibilang paceklik beras. Pasalnya, meski longsor hanya menghancurkan belasan rumah warganya, namun ratusan hektar sawah milik warga kini dipenuhi bebatuan besar. Butuh waktu berbulan-bulan bagi para pemilik sawah itu untuk menyingkirkan batu-batu besar yang bertebaran di sawah mereka. Sementara itu, bantuan yang datang pun tak seberapa. “Jujur saja, saat ini warga masih punya persediaan beras. Tapi dua bulan ke depan, kami tidak tahu harus mendapatkan beras dari mana,” ujar Lurah Adang.
Bila kondisi ini tak segera mendapat perhatian dari pemerintah khususnya, dan dari masyarakat di tempat lain yang tidak terkena ancaman kelaparan, bisa jadi akan ada puluhan juta Dimas dan Ariya yang harus dirawat di rumah sakit akibat gizi buruk dan busung lapar. Bahkan mungkin, banyak anak-anak yang tidak terselamatkan dan mati kelaparan. Atau mungkin ada fenomena baru seperti Ariya, dimana anak-anak tak lagi menggigiti bibir, bisa saja jari-jari, tangan atau anggota tubuh lainnya menjadi alternatif makanan.
Ancaman kelaparan ini bukan saja berakibat pada kematian, tapi lebih daripada itu, haruskah kita kehilangan generasi-generasi penerus bangsa ini? Atau relakah kita jika kelak bangsa ini dipimpin oleh generasi yang tumbuh dan berkembang dalam predikat gizi buruk? Sungguh ini juga merupakan bencana, bencana yang merenggut jiwa anak-anak bangsa secara perlahan, dan semakin lama akan habislah generasi masa datang.
Bayu Gawtama
Kedua orangtuanya harus pasrah membiarkan anaknya sering kelaparan, karena mereka pun mengalami nasib yang tak berbeda, perut mereka lebih sering kosong. Dalam sepekan, bisa jadi empat hari perutnya kosong. Akibat kelaparan yang diderita Ariya dan keluarganya, kini Ariya harus menjalani perawatan intensif di rumah sakit di Bulukumba, Sulawesi Selatan, karena mengalami gizi buruk. Tak hanya itu, yang lebih menyedihkan, separuh bibir Ariya tampak habis, layaknya buah jambu yang digerogoti kelelawar. Ternyata, akibat sering menahan lapar Ariya sering menggigiti bibirnya sendiri sampai bolong.
Masih di daerah yang sama, Bulukumba, Dimas, usianya sedikit lebih tua dari Ariya, 2 tahun. Tapi berat badannya sama dengan berat badan bayi 3 bulan. Tulang-tulang di dadanya sangat menonjol, hanya kulit tipis yang menutupi tulang-tulang itu. Sedangkan kedua tangan dan kakinya lebih mirip akar yang kehabisan air. Dimas juga mengalami gizi buruk lantaran orangtuanya tak mampu memberinya makanan bergizi. Setiap hari, sejak usianya 6 bulan, hanya makanan orang dewasa yang didapat Dimas. Tak ada susu formula, dan makanan bergizi lainnya.
Jika Ariya dan Dimas hanyalah dua dari jutaaan anak yang mengalami gizi buruk lantaran sulit mendapatkan makanan, tidak berbeda dengan kelompok-kelompok warga lainnya di berbagai tempat. Kampung Bungbulang, Garut, mungkin tidak banyak orang yang pernah mendengarnya. Sebuah kampung terpencil di Jawa Barat itu baru-baru ini menggemparkan karena nyaris seluruh warganya mengalami kelaparan. Memang sudah ada LSM dan dokter yang menangani warga di kampung tersebut, namun bagaimana pun kejadian ini sungguh memilukan. Hingga hari ini, warga Kampung Bungbulang masih harus terus mendapatkan bantuan. Lebih penting dari itu, mereka juga harus mendapatkan penyuluhan kesehatan dan pola makan sehat.
Tak hanya di Garut. Ratusan warga di beberapa daerah di Brebes, Jawa Tengah terpaksa kembali makan tiwul, penganan yang terbuat dari singkong. Beralihnya makanan dari beras ke singkong lantaran semakin tingginya harga beras yang tak terjangkau oleh penghasilan mereka yang minim. Masih di Brebes, 80 kepala keluarga terancam kelaparan usai banjir yang melanda kampung mereka tiga pekan yang lalu. Banjir tak hanya menenggelamkan rumah warga, melainkan juga menggenangi ratusan hektar sawah milik mereka selama berhari-hari. Akibatnya, seluruh padi yang siap dipanen pun puso. Selain panen yang gagal, persediaan beras dan makanan warga pun musnah terbawa banjir. Karena tak lagi memiliki beras untuk dimakan, ratusan jiwa itu pun kini hanya bisa makan nasi aking, yakni nasi sisa/bekas yang dikeringkan kemudian dimasak kembali.
Di tempat lainnya, Bellu, Nusa Tenggara Timur, ancaman kelaparan sudah menimpa warga lantaran sarana transportasi yang sempat terputus akibat banjir bandang. Bantuan bahan makanan memang dikirim ke wilayah tersebut, namun jumlahnya sangat terbatas dan belum mencukupi. Sedangkan banjir telah lebih dulu menghancurkan ladang-ladang mereka, akibatnya ratusan warga korban banjir terpaksa memakan batang pohon yang dihaluskan.
Sejumlah daerah lainnya yang pekan lalu terkena banjir dan longsor, seperti Sumbawa, Lombok Timur, beberapa daerah di Jawa Tengah, bahkan termasuk Kabupaten Purwakarta pun tak luput dari ancaman kelaparan. Pekan lalu, Lurah Desa Panyindangan, Kabupaten Purwakarta, H. Adang Permana melaporkan, akibat bencana longsor, kini wilayahnya bisa dibilang paceklik beras. Pasalnya, meski longsor hanya menghancurkan belasan rumah warganya, namun ratusan hektar sawah milik warga kini dipenuhi bebatuan besar. Butuh waktu berbulan-bulan bagi para pemilik sawah itu untuk menyingkirkan batu-batu besar yang bertebaran di sawah mereka. Sementara itu, bantuan yang datang pun tak seberapa. “Jujur saja, saat ini warga masih punya persediaan beras. Tapi dua bulan ke depan, kami tidak tahu harus mendapatkan beras dari mana,” ujar Lurah Adang.
Bila kondisi ini tak segera mendapat perhatian dari pemerintah khususnya, dan dari masyarakat di tempat lain yang tidak terkena ancaman kelaparan, bisa jadi akan ada puluhan juta Dimas dan Ariya yang harus dirawat di rumah sakit akibat gizi buruk dan busung lapar. Bahkan mungkin, banyak anak-anak yang tidak terselamatkan dan mati kelaparan. Atau mungkin ada fenomena baru seperti Ariya, dimana anak-anak tak lagi menggigiti bibir, bisa saja jari-jari, tangan atau anggota tubuh lainnya menjadi alternatif makanan.
Ancaman kelaparan ini bukan saja berakibat pada kematian, tapi lebih daripada itu, haruskah kita kehilangan generasi-generasi penerus bangsa ini? Atau relakah kita jika kelak bangsa ini dipimpin oleh generasi yang tumbuh dan berkembang dalam predikat gizi buruk? Sungguh ini juga merupakan bencana, bencana yang merenggut jiwa anak-anak bangsa secara perlahan, dan semakin lama akan habislah generasi masa datang.
Bayu Gawtama
Wednesday, February 08, 2006
Terminal Kenangan
Hampir setiap orang pernah bepergian jauh, entah dengan menggunakan jasa angkutan darat, laut atau udara. Misalkan kita menumpang sebuah bis. Sebelum sampai ke tujuan, biasanya bis yang kita tumpangi itu berhenti di beberapa tempat, bisa jadi itu sebuah terminal. Saat singgah di terminal pemberhentian, teramat banyak yang dilakukan orang-orang dalam satu bis. Ada yang turun untuk mengisi perut, ada yang sebaliknya justru memanfaatkan waktu berhenti itu untuk membuang isi perut. Sebagian memilih tetap berada di atas bis, sambil melihat aneka dagangan yang ditawarkan dari luar bis.
Tidak demikian dengan saya. Saya termasuk orang yang senang bepergian dengan kendaraan umum. Selain lebih ekonomis, banyak pelajaran yang bisa didapat selama perjalanan. Amatlah rugi rasanya jika tak memanfaatkan waktu yang sedemikian panjang hanya dengan tidur atau melamun. Padahal, setiap jengkal jalan yang kita tempuh itu pasti mengandung –setidaknya- satu hikmah. Berapa jengkal yang kita lewati dalam perjalan itu? berapa banyak perjalanan yang sudah kita lewati? Dan berapa banyak waktu yang terbuang percuma tanpa ada pelajaran yang bisa dipetik?
Di sebuah terminal, saat bis berhenti sekurangnya lima belas menit. Saya akan mengingat-ingat kembali jalan yang sudah terlewati. Berapa kota sudah terlintasi, berapa anak sungai terlalui, berapa ribu rumah dan berapa juta orang yang terlihat. Kadang mata ini dibuat terbelalak dengan pemandangan aneh, atau seketika saya tertawa kecil melihat kelucuan di tepi jalan. Sesekali mulut ini ternganga terperangah oleh hal-hal baru yang saya dapatkan. Semua itu, akan menjadi catatan-catatan tersendiri yang kemudian terangkai dengan rapih dalam coretan di buku kecil saya.
Catatan-catatan perjalanan itulah yang kemudian tersusun rapi dalam sebuah catatan sederhana. Sungguh, ini hanyalah catatan kecil dari berbagai perjalanan yang telah saya lalui di berbagai tempat. Mungkin, bisa jadi hanya coretan tak penting dari perjalanan pendek di sekitar rumah, atau ketika melintas pasar, sekolah, masjid seberang rumah, dan jalan-jalan lainnya yang menurut kebanyakan orang hanya berupa tempat biasa. Tetapi cobalah membuka mata lebih lebar, memasang telinga lebih luas, teramat banyak hikmah yang kita peroleh dari tempat-tempat yang kita anggap biasa. Ya, contohnya di jalan yang setiap hari kita lewati itu, pasti menyimpan banyak pelajaran penting. Masalahnya, maukah kita mengambil hikmah-hikmah yang bertebaran itu?
Sekarang, duduklah dengan sedikit bersandar. Hampiri kembali terminal-terminal kenangan kita yang telah lama terlupakan. Bangkitkan kenangan-kenangan tersebut dalam semangat memperbaiki diri. Ingat, kita tak diperkenankan menengok ke belakang, kecuali untuk mengambil pelajaran di masa lalu. Kalau pun saat ini kita bermenung sejenak, pastikan untuk berusaha lebih baik di masa yang akan datang. Jadikan setiap masa berlalu sarat makna. Ciptakan terminal-terminal kenangan kita sendiri, maka yakinlah bahwa jalan terbentang di depan akan dapat dilalui dengan penuh kepercayaan. Padahal, kita hanya punya satu keyakinan, yang itu didapat dari menengok ke masa lalu.
Hidup adalah perjalanan panjang. Buatlah beberapa terminal, untuk berhenti sejenak dan berkaca pada masa lalu. Agar tak ada yang perlu disesali karena kesalahan yang terjadi berulang kali. Semoga
Bayu Gawtama
Catatan khusus jelang ulang tahun ke...
Coretan ini sekaligus menjadi kata pengantar buku ketiga saya, "Lelaki Sebelas Amanah; Menelusuri Jejak Hikmah" yang insya Allah akan terbit bulan Maret 2006
Tidak demikian dengan saya. Saya termasuk orang yang senang bepergian dengan kendaraan umum. Selain lebih ekonomis, banyak pelajaran yang bisa didapat selama perjalanan. Amatlah rugi rasanya jika tak memanfaatkan waktu yang sedemikian panjang hanya dengan tidur atau melamun. Padahal, setiap jengkal jalan yang kita tempuh itu pasti mengandung –setidaknya- satu hikmah. Berapa jengkal yang kita lewati dalam perjalan itu? berapa banyak perjalanan yang sudah kita lewati? Dan berapa banyak waktu yang terbuang percuma tanpa ada pelajaran yang bisa dipetik?
Di sebuah terminal, saat bis berhenti sekurangnya lima belas menit. Saya akan mengingat-ingat kembali jalan yang sudah terlewati. Berapa kota sudah terlintasi, berapa anak sungai terlalui, berapa ribu rumah dan berapa juta orang yang terlihat. Kadang mata ini dibuat terbelalak dengan pemandangan aneh, atau seketika saya tertawa kecil melihat kelucuan di tepi jalan. Sesekali mulut ini ternganga terperangah oleh hal-hal baru yang saya dapatkan. Semua itu, akan menjadi catatan-catatan tersendiri yang kemudian terangkai dengan rapih dalam coretan di buku kecil saya.
Catatan-catatan perjalanan itulah yang kemudian tersusun rapi dalam sebuah catatan sederhana. Sungguh, ini hanyalah catatan kecil dari berbagai perjalanan yang telah saya lalui di berbagai tempat. Mungkin, bisa jadi hanya coretan tak penting dari perjalanan pendek di sekitar rumah, atau ketika melintas pasar, sekolah, masjid seberang rumah, dan jalan-jalan lainnya yang menurut kebanyakan orang hanya berupa tempat biasa. Tetapi cobalah membuka mata lebih lebar, memasang telinga lebih luas, teramat banyak hikmah yang kita peroleh dari tempat-tempat yang kita anggap biasa. Ya, contohnya di jalan yang setiap hari kita lewati itu, pasti menyimpan banyak pelajaran penting. Masalahnya, maukah kita mengambil hikmah-hikmah yang bertebaran itu?
Sekarang, duduklah dengan sedikit bersandar. Hampiri kembali terminal-terminal kenangan kita yang telah lama terlupakan. Bangkitkan kenangan-kenangan tersebut dalam semangat memperbaiki diri. Ingat, kita tak diperkenankan menengok ke belakang, kecuali untuk mengambil pelajaran di masa lalu. Kalau pun saat ini kita bermenung sejenak, pastikan untuk berusaha lebih baik di masa yang akan datang. Jadikan setiap masa berlalu sarat makna. Ciptakan terminal-terminal kenangan kita sendiri, maka yakinlah bahwa jalan terbentang di depan akan dapat dilalui dengan penuh kepercayaan. Padahal, kita hanya punya satu keyakinan, yang itu didapat dari menengok ke masa lalu.
Hidup adalah perjalanan panjang. Buatlah beberapa terminal, untuk berhenti sejenak dan berkaca pada masa lalu. Agar tak ada yang perlu disesali karena kesalahan yang terjadi berulang kali. Semoga
Bayu Gawtama
Catatan khusus jelang ulang tahun ke...
Coretan ini sekaligus menjadi kata pengantar buku ketiga saya, "Lelaki Sebelas Amanah; Menelusuri Jejak Hikmah" yang insya Allah akan terbit bulan Maret 2006
Friday, February 03, 2006
"Atep Mau Sekolah..."
"Atep mau sekolah... Atep juga mau seperti teman-teman bisa sholat di masjid. Tapi teman-teman nggak mau Atep ada di masjid..."
Kalimat tersebut polos diucapkan Muhammad Yunus alias Atep (10 tahun), anak keenam Sarbini (49) dan alm. Yuyun. Keluarga Sarbini adalah keluarga tak mampu dari Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Rumahnya hanya beberapa puluh meter dari Perkebunan teh Goalpara, kaki gunung Gede. Pekerjaan Sarbini hanyalah buruh angkut sayuran dengan pendapatan maksimal Rp. 10.000/hari. "Itu pun kalau sedang ada yang minta antar sayur. Kalau nggak ada, ya nggak dapat uang," ujar Sarbini.
Namun, bukan cuma lantaran faktor ekonomi itu yang membuat Atep tidak bisa sekolah. Apalagi sekadar ke masjid, karena untuk sholat jamaah ke masjid tentu tak memakan biaya. Yang membuat Atep malu ke sekolah dan masjid adalah penyakit yang diderita bocah kecil itu. Atep menderita Atresiani, alias kelainan anatomis berupa lahir tanpa anus. Sudah hampir 10 tahun, sejak usianya satu minggu Atep tak memiliki lubang anus, sehingga selama 10 tahun itu pula Atep harus membuang feces (kotoran) melalui lubang yang dibuat persis di perutnya.
Atresiani, nama yang terdengar indah, tetapi tidak bagi Atep. Sebab lantaran penyakit tersebut, Atep merasa terkucilkan dari lingkungan dan teman-teman mainnya. Teman-temannya tak tahan terhadap bau kotoran yang bisa sewaktu-waktu keluar dari lubang di perut Atep. Sistem pembuangan yang dimiliki Atep saat ini, tidak seperti yang dimiliki kebanyak orang. Atep tidak mampu menahan keluarnya kotoran, bahkan saat ia sedang makan sekalipun. Karena itu, Atep selalu minder terhadap teman-temannya. Hal inilah yang membuat Atep tidak mau sekolah, padahal ia sangat ingin berpakaian seragam merah putih layaknya anak-anak lain sebayanya. "Atep ingin sholat dan ngaji di masjid. Tapi Atep malu sama teman-teman," keluhnya.
Karena tidak sekolah, hari-hari Atep diisi dengan menonton televisi. Ia sangat betah berjam-jam menonton televisi, kadang hingga pukul 12 malam. Menurut Dede (24), kakak Atep, adiknya itu malu keluar rumah. Lubang di perutnya itulah yang membuat ia malu bertemu teman-temannya. "Kalau makan, sepuluh menit kemudian langsung keluar dari lubang itu, bau sekali. Mungkin karena itu teman-teman Atep menjauhinya," tambah Dede. Bau kotoran itu pula yang dikhawatirkan mengganggu teman-teman Atep kalau Atep sekolah atau ke masjid.
Menurut Bidan Lilis, bidan yang menangani kelahiran Atep. Kelahiran Atep berlangsung normal. Namun karena mendapati kelainan berupa atresiani, bidan Lilis langsung membawa bayi malang itu ke Rumah Sakit Syamsudin, Sukabumi. "Lubang itu dibuat seminggu setelah Atep lahir," jelas Bidan Lilis. Bidan Lilis pula yang membawa Atep kecil pulang pergi ke rumah sakit untuk membuat lubang di perutnya.
Yuyun, ibu kandung Atep, tak kuasa menahan tangis saat mengetahui adanya kelainan pada diri Atep. Sejak itu, Yuyun sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal saat usia Atep belum genap 2 tahun. Pada usia tujuh tahun, Atep sempat dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk diperiksakan. Namun dokter menyatakan kondisi Atep belum siap untuk dioperasi.
Dari hasil pemeriksaan, didapati kondisi Atep memang sangat tidak siap untuk dilakukan operasi. Atep bukan hanya menderita atresiani, tapi karena kondisi perekonomian keluarga yang minim, Atep pun menderita gizi buruk sejak bayi. "Gizinya kurang, kesehatan dan staminanya pun tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. Atep harus mendapatkan asupan gizi yang baik, setelah normal baru diperiksa kembali," terang Bidan Lilis.
Bahkan menurut Bidan Lilis, Atep pun menderita hepatitis. Kondisi ini pun membuat Atep semakin sulit untuk dilakukan operasi dengan cepat. Padahal untuk operasi pembuatan anus perlu kondisi tubuh yang benar-benar sehat. Selain itu, biaya yang dibutuhkan tergolong mahal untuk keluarga Sarbini. Paling sedikit Rp. 30 juta, perkiraan Bidan Lilis. "Bisa lebih mahal, karena operasi atresiani harus beberapa tahap. Itu pun belum termasuk ongkos bolak-balik ke rumah sakit di Bandung atau Jakarta". Inilah yang akhirnya membuat Sarbini harus mengurut dada, menatap sedih anaknya yang malang.
Sarbini, buruh kecil dari keluarga tak mampu di kaki Gunung Gede itu sempat putus harapan untuk bisa menyembuhkan Atep. Hingga kemudian, Delta FM Peduli, Yayasan Indera Hati bekerja sama dengan ACT-Aksi Cepat Tanggap mendatangi rumah Atep.
Rabu, 1 Februari 2006, Atep dibawa Tim ACT ke RSCM untuk mulai menjalani berbagai pemeriksaan. Ditemani Ayah, dua kakaknya dan Bidan Lilis, hari itu Atep baru melakukan tahap pertama dari rencana operasinya. Tahap pertama akan dilalui Atep dengan pemeriksaan oleh dokter bedah anak, kemudian pengambilan contoh darah. Butuh waktu berhari-hari, sedikitnya satu pekan hingga dokter memutuskan jadwal operasi. Operasi pun tidak akan berlangsung sekali, paling sedikit akan menjalani tiga kali operasi. Entah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk Atep.
Dana yang tersedia dari Delta Peduli, Yayasan Indera Hati dan ACT dianggap belum mencukupi. Untuk itu, Atep, bocah kecil penderita atresiani dari Sukabumi, mengetuk kepedulian Anda. Tidak banyak yang diimpikan Atep, ia hanya ingin sekolah dan sholat jamaah di masjid. Perjalanannya masih panjang, Anda bisa membantunya agar proses penyembuhannya tak tersandung di tengah jalan.
Bayu Gawtama
Salurkan bantuan Anda melalui rekening kemanusiaan ACT
BCA 676 0 30 31 33
Mandiri 128 0004593 338
Syariah Mandiri 101 0001 114
Muamalat 304 0023 015
BNI Syariah 009 611 0239
Kalimat tersebut polos diucapkan Muhammad Yunus alias Atep (10 tahun), anak keenam Sarbini (49) dan alm. Yuyun. Keluarga Sarbini adalah keluarga tak mampu dari Desa Cisarua, Kecamatan Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Rumahnya hanya beberapa puluh meter dari Perkebunan teh Goalpara, kaki gunung Gede. Pekerjaan Sarbini hanyalah buruh angkut sayuran dengan pendapatan maksimal Rp. 10.000/hari. "Itu pun kalau sedang ada yang minta antar sayur. Kalau nggak ada, ya nggak dapat uang," ujar Sarbini.
Namun, bukan cuma lantaran faktor ekonomi itu yang membuat Atep tidak bisa sekolah. Apalagi sekadar ke masjid, karena untuk sholat jamaah ke masjid tentu tak memakan biaya. Yang membuat Atep malu ke sekolah dan masjid adalah penyakit yang diderita bocah kecil itu. Atep menderita Atresiani, alias kelainan anatomis berupa lahir tanpa anus. Sudah hampir 10 tahun, sejak usianya satu minggu Atep tak memiliki lubang anus, sehingga selama 10 tahun itu pula Atep harus membuang feces (kotoran) melalui lubang yang dibuat persis di perutnya.
Atresiani, nama yang terdengar indah, tetapi tidak bagi Atep. Sebab lantaran penyakit tersebut, Atep merasa terkucilkan dari lingkungan dan teman-teman mainnya. Teman-temannya tak tahan terhadap bau kotoran yang bisa sewaktu-waktu keluar dari lubang di perut Atep. Sistem pembuangan yang dimiliki Atep saat ini, tidak seperti yang dimiliki kebanyak orang. Atep tidak mampu menahan keluarnya kotoran, bahkan saat ia sedang makan sekalipun. Karena itu, Atep selalu minder terhadap teman-temannya. Hal inilah yang membuat Atep tidak mau sekolah, padahal ia sangat ingin berpakaian seragam merah putih layaknya anak-anak lain sebayanya. "Atep ingin sholat dan ngaji di masjid. Tapi Atep malu sama teman-teman," keluhnya.
Karena tidak sekolah, hari-hari Atep diisi dengan menonton televisi. Ia sangat betah berjam-jam menonton televisi, kadang hingga pukul 12 malam. Menurut Dede (24), kakak Atep, adiknya itu malu keluar rumah. Lubang di perutnya itulah yang membuat ia malu bertemu teman-temannya. "Kalau makan, sepuluh menit kemudian langsung keluar dari lubang itu, bau sekali. Mungkin karena itu teman-teman Atep menjauhinya," tambah Dede. Bau kotoran itu pula yang dikhawatirkan mengganggu teman-teman Atep kalau Atep sekolah atau ke masjid.
Menurut Bidan Lilis, bidan yang menangani kelahiran Atep. Kelahiran Atep berlangsung normal. Namun karena mendapati kelainan berupa atresiani, bidan Lilis langsung membawa bayi malang itu ke Rumah Sakit Syamsudin, Sukabumi. "Lubang itu dibuat seminggu setelah Atep lahir," jelas Bidan Lilis. Bidan Lilis pula yang membawa Atep kecil pulang pergi ke rumah sakit untuk membuat lubang di perutnya.
Yuyun, ibu kandung Atep, tak kuasa menahan tangis saat mengetahui adanya kelainan pada diri Atep. Sejak itu, Yuyun sering sakit-sakitan dan akhirnya meninggal saat usia Atep belum genap 2 tahun. Pada usia tujuh tahun, Atep sempat dibawa ke Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung untuk diperiksakan. Namun dokter menyatakan kondisi Atep belum siap untuk dioperasi.
Dari hasil pemeriksaan, didapati kondisi Atep memang sangat tidak siap untuk dilakukan operasi. Atep bukan hanya menderita atresiani, tapi karena kondisi perekonomian keluarga yang minim, Atep pun menderita gizi buruk sejak bayi. "Gizinya kurang, kesehatan dan staminanya pun tidak memungkinkan untuk dilakukan operasi. Atep harus mendapatkan asupan gizi yang baik, setelah normal baru diperiksa kembali," terang Bidan Lilis.
Bahkan menurut Bidan Lilis, Atep pun menderita hepatitis. Kondisi ini pun membuat Atep semakin sulit untuk dilakukan operasi dengan cepat. Padahal untuk operasi pembuatan anus perlu kondisi tubuh yang benar-benar sehat. Selain itu, biaya yang dibutuhkan tergolong mahal untuk keluarga Sarbini. Paling sedikit Rp. 30 juta, perkiraan Bidan Lilis. "Bisa lebih mahal, karena operasi atresiani harus beberapa tahap. Itu pun belum termasuk ongkos bolak-balik ke rumah sakit di Bandung atau Jakarta". Inilah yang akhirnya membuat Sarbini harus mengurut dada, menatap sedih anaknya yang malang.
Sarbini, buruh kecil dari keluarga tak mampu di kaki Gunung Gede itu sempat putus harapan untuk bisa menyembuhkan Atep. Hingga kemudian, Delta FM Peduli, Yayasan Indera Hati bekerja sama dengan ACT-Aksi Cepat Tanggap mendatangi rumah Atep.
Rabu, 1 Februari 2006, Atep dibawa Tim ACT ke RSCM untuk mulai menjalani berbagai pemeriksaan. Ditemani Ayah, dua kakaknya dan Bidan Lilis, hari itu Atep baru melakukan tahap pertama dari rencana operasinya. Tahap pertama akan dilalui Atep dengan pemeriksaan oleh dokter bedah anak, kemudian pengambilan contoh darah. Butuh waktu berhari-hari, sedikitnya satu pekan hingga dokter memutuskan jadwal operasi. Operasi pun tidak akan berlangsung sekali, paling sedikit akan menjalani tiga kali operasi. Entah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk Atep.
Dana yang tersedia dari Delta Peduli, Yayasan Indera Hati dan ACT dianggap belum mencukupi. Untuk itu, Atep, bocah kecil penderita atresiani dari Sukabumi, mengetuk kepedulian Anda. Tidak banyak yang diimpikan Atep, ia hanya ingin sekolah dan sholat jamaah di masjid. Perjalanannya masih panjang, Anda bisa membantunya agar proses penyembuhannya tak tersandung di tengah jalan.
Bayu Gawtama
Salurkan bantuan Anda melalui rekening kemanusiaan ACT
BCA 676 0 30 31 33
Mandiri 128 0004593 338
Syariah Mandiri 101 0001 114
Muamalat 304 0023 015
BNI Syariah 009 611 0239
Subscribe to:
Posts (Atom)