"Kalau Ibu sudah nggak ada, tetap santuni anak yatim ya". Kalimat tersebut terucap belasan tahun lalu dari bibir tipis nan berkerut nenek saya kepada ibu. Wajar bila nenek berpesan demikian, sebab terhitung sejak tahun 1970an bersama sang suami ia rajin menyantuni anak-anak yatim dan kaum dhuafa. Setidaknya, setiap tahun di bulan Muharam acara santunan anak yatim digelar di rumahnya.
Ketika kakek meninggal tahun 1984, ratusan pasang mata anak yatim menangis. Saya yakin mereka mencintai kakek dan khawatir kehilangan orang yang selama ini menyantuninya. Ternyata kekhawatiran mereka tak berlangsung lama, karena nenek berjanji untuk tetap melanjutkan tradisi keluarga itu. Sayangnya, sejak seluruh keluarga nenek pindah dari Jakarta ke Tangerang, entah siapa yang melanjutkan menyantuni anak-anak yatim di Jakarta itu. Nenek tetap menyantuni anak yatim, tentu anak-anak yatim di Tangerang, di sekitar rumahnya.
Puluhan pasang mata anak yatim pun menangis sedih saat nenek meninggal di tahun 1998. Sebelumnya, nenek berpesan kepada semua anak-anaknya agar tetap menyantuni anak yatim. “Jika kita tak punya uang, ajak orang lain untuk menyantuni anak yatim. Dicintai anak yatim itu salah satu kunci pintu surga,” salah satu pesan terakhirnya. Tentu saja, tak satupun anak-anak nenek berani mengabaikan pesan tersebut. Dan hingga kini, tradisi ini masih terus berlangsung meski kami sering tak tahu harus mendapat bantuan dari mana untuk menyantuni anak-anak yatim, janda tua dan kaum dhuafa di sekitar rumah.
Tahun lalu, menjelang bulan Muharram tiba, biasanya ibu mulai direpotkan dengan meminta anak-anaknya membuat proposal permohonan bantuan. Semakin dekat bulan Muharram ibu semakin panik, terlebih jika belum satu pun permohonan mendapat jawaban. Saya tahu persis kekhawatiran ibu, ia tak ingin malu kepada anak-anak yatim dan janda tua itu jika mereka datang ke rumah dan tak mendapatkan apa pun. Karena tanpa diundang pun, mereka sudah tahu jadwal pemberian santunan itu, yakni tepat tanggal 10 Muharram setiap tahunnya. “Ibu tak ingin membuat mereka kecewa. Biar sedikit yang penting tetap ada,” harapnya.
Muharram tahun ini sudah tiba. Seperti biasa, ibu pun tetap sibuk mempersiapkan segala sesuatunya. Memang tidak pernah ada seremoni dan adegan foto pemberian santunan. Anak-anak yatim itu hanya datang untuk mengambil “haknya”, sudah itu pulang. Namun ibu masih terlihat resah, belum banyak bantuan yang didapatnya untuk membeli sembako dan sedikit untuk mengisi amplop kosong. Semua anak-anak ibu sudah membantu, bahkan membawa proposal permohonan bantuan itu ke kantor masing-masing.
Dalam keresahannya itu, ibu berujar, “Cuma satu keinginan ibu, yakni dicintai anak-anak yatim. Ibu ingin saat meninggal nanti ada anak-anak yatim yang menangis. Itu berarti mereka mencintai ibu”. Dan sambil menghitung dana yang ada ia pun berpesan persis seperti dulu nenek berpesan kepadanya, “Jangan putus amal keluarga, tetap santuni anak yatim”.
Saya bisa menangkap kekhawatiran ibu dalam dua hal. Pertama, ibu khawatir tahun ini tidak banyak bantuan yang didapat, sehingga tidak banyak pula yang bisa diberikan kepada anak-anak yatim. Kedua, nampaknya ibu pun khawatir anak-anaknya tak melanjutkan tradisi ini. Ah ibu, doakan anakmu ini diberikan rezeki yang cukup, agar ada yang terbagi untuk mereka. Tentu saya juga punya keinginan yang sama, mendapatkan salah satu kunci surga karena dicintai anak yatim.
Bayu Gawtama
No comments:
Post a Comment