Seperti Air
Tuangkan air ke dalam gelas, maka ia akan berbentuk menyerupai gelas. Jika air itu dimasukkan ke dalam bak, iapun akan mengikuti bentuk bak tersebut, entah bundar ataupun persegi. Segala bentuk, semua sudut yang ditawarkan, air selalu bisa mengisi, memenuhi dan tak pernah membiarkan sisi-sisi wadah tak tersentuh olehnya. Namun air tetap air, meski harus berbentuk persegi atau bundar, tempat kecil atau besar, ia tetap berbentuk cair. Seperti air, dimanapun berada hendaknya kita bisa beradaptasi dengan lingkungan dan ketentuan yang berlaku. Tapi tidak berarti harus tenggelam dalam kungkungan dan batas-batas ketentuan yang tak normal, bukan juga larut bersama putaran kehidupan yang tak semestinya, apalagi hanyut terbawa arus gelombang realita yang seringkali menggiurkan namun menyesatkan. Seperti air, keberadaan manusia di muka bumi hendaknya bisa menyentuh setiap waktu, setiap tempat yang disinggahinya, bukan tanpa makna.
Air senantiasa bergerak, dimanapun ada celah dan ruang, sudut dan sisi ia pasti menemukan jalan. Air cenderung bergerak kebawah, dua hal yang menjadikannya keatas, oleh ajakan awan yang kemudian menjadikannya hujan dan akhirnya kembali jatuh ke bawah (bumi), dan satu lagi, oleh mesin buatan manusia untuk pelbagai keperluan, namun yang pasti ujungnya selalu ke bawah. Air yang berdiam diri, terjebak dalam kubangan tak berpembuangan, akan mengering, berwarna yang tak lagi bening dan akhirnya tak berguna sama sekali, bahkan bisa menjadi sumber penyakit akibat dihinggapi bermacam bakteri. Yang demikian, tak lagi bersih dan suci, hingga tak layak untuk segala keperluan manusia. Seperti air, tak pernah diam, selalu beranjak setiap saat, begitulah semestinya manusia. Ada dua manusia yang tak bergerak, malas atau mati. Mereka yang tak bergerak, berdiam diri dan tak melakukan aktifitas yang bermanfaat, maka tak ubahnya ia seperti makhluk tak bernyawa. Keberadaannya tak bedanya dengan ketiadaannya. Keberadaannya tak dirasa manfaatnya, ketiadaannya tak dirisaukan. Manusia yang tak memiliki aktifitas, tak bekerja dan menggunakan potensi dan kelebihannya, adalah manusia yang tak berguna. Seperti air, jikapun harus terus bergerak, hendaknya manusia tak pernah lupa bahwa ia punya tempat kembali. Manusia bermula dari bawah akan kembali jatuh ke bawah. Mengawali hidup tanpa apapun, juga tanpa apapun saat mengakhirinya. Kita berasal dari tanah akan kembali ke tanah.
Air tak pernah bisa dibendung, dan terbendung. Tertutup satu jalan di depan, ia akan berusaha mencari jalan lain dan terus mencari sampai jalan itu benar-benar didapatinya. Coba perhatikan, air tak pernah menyia-nyiakan lubang bocor di ember atau bak, ia akan mengalir dengan deras menuju kebebasan bergerak dan keberhasilan. Seperti air, tidak seharusnya manusia menyerah pasrah dan putus asa setiap kali membentur halangan dalam berupaya meraih cita-cita. Berpikir cepat, inovatif, kreatif mencari celah menuju cita-cita, harus menjadi bagian dari sifat diri. Dan satu hal lagi, jangan pernah mengabaikan sekecil apapun kesempatan yang terbuka untuk secepat kilat menerobosnya, karena bisa jadi, itu jalan satu-satunya meraih kesuksesan.
Saat panas menyengat, membuat tenggorokan terasa kering, airlah tumpuan kita untuk melepaskan dahaga. Tubuh yang kotor, oleh peluh dan debu, air menjadi satu harapan untuk bisa membersihkannya. Bahkan untuk menyegarkan diri, tentu air pula yang dicari, baik sekedar cuci muka, mandi ataupun berenang. Manusia tak pernah bisa membayangkan hidup tanpa air, seperti halnya manusia tak juga bisa membayangkan hidup tanpa bumi tempat berpijak. Seperti air, sebagai makhluk yang diciptakan dengan bentuk yang lebih sempurna ketimbang makhluk lainnya, seharusnya setiap kita memiliki sifat asertif, senantiasa hadir saat manusia lain membutuhkannya, selalu memberikan yang terbaik tanpa terlebih dulu diminta. Sehingga pada masanya, kapanpun, dimanapun dan dalam kondisi seperti apapun, kita selalu dicari, dibutuhkan dan dipentingkan. Sungguh merugi manusia yang kehadirannya tak pernah diperhitungkan.
Air bisa dibuat panas mendidih hingga 100 derajat, bisa juga dibuat dingin dan membeku hingga titik dibawah nol. Namun air tetap bening tak berwarna, dalam keadaan panas atau beku. Ia tetap bernama air jika tetap bening tak berwarna, jika sudah berubah warna menjadi kuning atau merah, mungkin saja namanya sirup, jika ia hitam, hampir pasti orang menyebutkan kopi. Atau ketika berwarna kecoklatan, mungkin kehitaman, meski masih bernama air, tapi terdapat embel-embel, air kotor, air kali atau juga air got. Seperti air, panas atau dingin tetap melegakan, sebaiknya manusia, dalam keadaan apapun tetap bisa menyenangkan manusia lainnya. Sehingga manusia lain tetap betah bertetangga, hidup bersama dan berdekatan. Seperti air, untuk menjadi diri sendiri, setiap manusia harus mempertahankan warna fitrahnya. Fitrah manusia pada kesucian dan kebenaran, dan sudah barang tentu, manusia yang tak lagi pada fitrahnya itu mungkin saja tak layak lagi menyandang predikat manusia. Atau sekiranya masih berwujud manusia, namun hakikatnya tak lagi manusia. Misalnya, manusia yang mengambil barang orang lain, biasanya digelari maling, pencuri, copet, jambret atau lainnya. Manusia yang menggunakan harta perusahaan untuk kepentingan pribadi, orang mengenalnya sebagai koruptor. Manusia yang gila kekuasaan, sering dicap diktator. Bahkan ada manusia yang perilakunya seperti hewan, entah sebutan apa yang pantas untuk yang semacam ini. Dan masih banyak lagi sebutan-sebutan yang dilatar belakangi oleh perilaku manusia itu sendiri.
Air tak pernah menyatu dengan minyak. Kita semua tahu itu. Air dan minyak, bisa dijadikan simbol ketidakmungkinan dua zat berbeda untuk bersatu. Bisa juga sebagai simbol penolakan kebathilan oleh kebenaran. Seperi hitam dan putih yang tak pernah sama, jika dipadukan ia akan menjadi abu-abu. Seperti air, wajib menolak setiap hal yang bertentangan dengan kebenaran. Untuk diketahui, kita memiliki daya resistensi untuk menentang kebathilan yang sungguh-sungguh bukan fitrah manusia. Namun jika resistensi itu tak digunakan, bukan tidak mungkin banyak manusia yang menjadi abu-abu, alias munafik, terkadang terlihat seperti putih padahal ia hitam.
Maka, mengalirlah seperti air .... (01/05/2003, Bayu Gautama, thanks God, for Your Present)