Seorang kader partai tengah memanggul beberapa bilah bambu panjang yang di ujungnya sudah terpasang bendera partai tersebut. Sendirian ia menancapkan satu persatu bambu itu dan mengikatkannya pada pohon atau tiang listrik. Seorang teman saya berkomentar, “kader militan…”
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
http://warnaislam.com
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Wednesday, October 29, 2008
Dagang Ummat
Seorang kader partai tengah memanggul beberapa bilah bambu panjang yang di ujungnya sudah terpasang bendera partai tersebut. Sendirian ia menancapkan satu persatu bambu itu dan mengikatkannya pada pohon atau tiang listrik. Seorang teman saya berkomentar, “kader militan…”
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
Ia, pemuda itu, satu dari sekian juta kader-kader partai di negeri ini yang rela melakukan apapun untuk partai yang dicintainya, demi nilai-nilai yang diperjuangkan partainya meskipun tidak mendapatkan bayaran, insentif atau bonus sepeser pun. Sekadar makan siang dan sebotol air mineral, ditambah sebuah doktrin guru mengajinya, “Berjuang harus ikhlas, ini bagian dari dakwah. Biarlah Allah yang membalas semua jerih payah kita. Bayaran Allah jauh lebih besar dari siapapun di dunia ini”
Di tempat berbeda, seorang pemuda dari partai yang lain terlihat tengah memasang spanduk seorang calon anggota legislatif, padahal saat itu waktu menunjukkan pukul 23.45 WIB. Rupanya, puluhan bahkan ratusan spanduk yang bertebaran di jalan raya itu hasil kerja kerasnya bersama dengan beberapa kader partai lainnya. Yang menarik, ternyata ia dan rekan-rekannya tak benar-benar mengenal foto-foto yang terpasang di berbagai spanduk yang dipasangnya itu. Namun jawaban soal mengapa ia mau melakukan pekerjaan itu jauh lebih menarik untuk disimak, “Saya percaya orang-orang ini akan berjuang mengusung aspirasi rakyat. Mereka orang-orang bersih, berdedikasi dan punya kapabilitas untuk menduduki kursi parlemen”.
“Tapi Anda kan tidak benar-benar mengenal mereka, bagaimana bisa punya penilaian seperti itu?”
“Mmm… itu yang disampaikan para pimpinan kami di partai,” ujarnya.
Nanti, jelang waktu pemilu semakin dekat. Kita akan melihat jutaan orang rela berkumpul di sebuah lapangan meneriakkan yel-yel, slogan-slogan partai, juga mengelu-elukan jagonya, mengibarkan bendera partai. Sebagian anak-anak muda bahkan rela mengecat wajahnya dengan lambang partai, kaum ibu sambil menggendong anak-anak bayinya di terik panas, bersedia mengenakan baju, jas, jilbab sampai kaus kaki berlogo partai yang diyakininya itu. Jangan aneh pula bila menemukan beragam kendaraan, mulai dari kendaraan roda dua sampai mobil-mobil yang tergolong mahal rela dicat atau ditempeli stiker logo partai, dari ukuran kecil sampai yang menutupi hampir seluruh body kendaraannya.
Dan ketika sang jagoan naik ke atas podium, serentak menyambutnya dengan tepuk tangan layaknya artis, eh bukan, lebih tepatnya pahlawan. Padahal mereka baru memulai perjuangan dengan mencalonkan atau dicalonkan sebagai anggota dewan, tetapi inilah gambaran harapan rakyat di bawah akan perubahan yang diusung oleh partai dan para calon legislatifnya.
Teriakan “Allahu Akbar” membahana membelah langit, kalimat yang sama juga yang terdengar dari calon anggota parlemen lainnya, dari partai yang berbeda. Entah kenapa, ini seperti kalimat sakti yang bisa menyihir semua pendukung partai untuk meyakini bahwa orang yang barusan berteriak “Allahu Akbar” di atas podium itu benar-benar orang baik, shalih dan dianggap amanah, bersih, bahkan diyakini tidak akan mencederai kepercayaan yang disematkan di pundaknya dengan melakukan tindakan-tindakan seperti korupsi atau tindakan tak pantas lainnya yang kerap kita dengar dan lihat terjadi di Senayan.
Percaya atau tidak, sampai detik ini masih ada kader-kader partai yang meyakini sampai ke tulang, bahwa orang-orang yang diusung sebagai anggota dewan ini jujur dan tak mungkin korupsi. “Mereka dibina bertahun-tahun, punya banyak jamaah pula. Kapasitas mereka mumpuni, dan mereka dikenal bersih”. Ada pula yang berkata, “Mereka orang-orang yang dekat dengan masyarakat, dikenal baik oleh tetangganya sebagai tokoh masyarakat atau pengurus masjid”. Ada lagi yang berkomentar seperti ini, “Rajin beribadah, juga rutin menghadiri kajian. Saya dengar sholat malamnya juga rajin. Masak sih dia akan korupsi?”. Bahkan pendapat yang lebih bombastis, “Bab korupsi itu materi pengajian yang selalu diulang-ulang dalam kelompok kami. Jadi mereka sudah tahu persis hukumnya…”
Calon anggota dewan, juga yang sekarang sudah menjadi anggota dewan, layaknya dewa yang diyakini selalu bersih dan tidak mungkin berbuat salah. Ini fakta, nyata, realita alias benar-benar ada.
Keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan dan loyalitas yang ditunjukkan para kader partai adalah cermin hebatnya sebuah sistem dibangun. Sebuah kondisi yang memerlukan waktu bertahun-tahun, dimulai dari kelompok-kelompok kecil yang dibina hingga menjadi sebuah komunitas besar dengan keseragaman ciri dan kebiasaan. Kader-kader partai tertentu misalnya, bisa sangat mudah dikenali dari cara berpakaiannya, bahasa dan istilah yang dipakainya, pergaulannya, kehidupan sehari-harinya, juga aksesoris di tubuhnya.
Hanya saja, patut disayangkan ketika keikhlasan, keyakinan, kecintaan, pengorbanan, dan loyalitas yang mereka berikan seutuhnya untuk partai dan para petinggi partai ini justru dimanfaatkan secara tak tepat. Kader-kader partai ini sudah cukup silau dengan prestasi, portofolio dan bahkan label “Ustadz” atau “Da’i” yang ada pada para calon penghuni Senayan itu. Terlebih jika guru mengaji mereka yang mengeluarkan fatwa, diselipi dalil-dalil. Sikap mereka pun seragam, “kami dengar dan kami taat”.
Ummat, paling dicari ketika musim pemilu tiba. Rakyat adalah komoditas paling laku untuk dijual di musim ini. Seseorang bisa menjadi calon anggota legislatif karena dianggap memiliki jamaah atau pengikuti yang setia. Tidak hanya itu, nilai seorang calon legislatif ini pun bisa terdongkrak ke puncak bila ia diyakini mampu menjadi vote getter bagi partainya. Berbekal janji manis, ummat pun rela mengeluarkan uang, tenaga dan pikirannya untuk memuluskan jalan jagoannya melenggang ke Senayan.
Para calon anggota legislatif ini berani bertarung berebut kursi parlemen lantaran merasa memiliki dukungan yang cukup signifikan dari ummatnya, rakyatnya, warganya atau pengikut yang mengenalnya. Pimpinan partai pun harus jeli menyusun nomor urut para calon legislatifnya, nomor urut satu sudah pasti yang paling dianggap mampu meraih sebanyak-banyaknya suara ummat.
Ketika waktunya tiba, para dewa dan jagoan berhasil digelandang menuju Senayan. Teriakan takbir kembali membahana, sebagai ungkapan syukur atas kesuksesan yang diraih. Jerih payah, peluh, bahkan darah yang tumpah selama masa kampanye hilang sudah, terbasuh oleh senyum ceria para politisi yang baru saja dilantik dan resmi menyandang gelar anggota parlemen. Kader-kader partai ini pun kembali ke rumah masing-masing, masih dengan membawa rasa syukur atas kesuksesan partainya meraih suara signifikan, yang artinya lebih banyak calon legislatif yang berhasil dihantarkan ke gedung DPR.
Sedih rasanya melihat nasib ummat yang hanya laku dijual pada saat musim kampanye menjelang pemilu ini. Sementara mereka terus berjuang bertahan hidup dengan segala keterbatasan, para anggota dewan yang diusungnya tengah menikmati hidup berlebihan. Disaat sebagian kader yang berjuang dengan bayaran “ikhlas karena Allah” terseok-seok di jalan mencari sesuap nasi, para dewa di parlemen tengah menikmati makan siang di sebuah restoran mewah bersama para kolega atau pejabat pemerintah. Ketika kader-kader militan ini dilanda kebingungan harus membayar kontrakan yang sudah menunggak empat bulan, yang duduk di parlemen justru sibuk menambah rumah dan kendaraan mereka.
Yang lebih menyedihkan, sampai detik ini masih banyak ummat yang mau dan rela diperdagangkan. Mereka tidak menyadari bahwa disaat menjelang pemilu, satu suara mereka sangat mahal harganya. Namun usai pemilu, berteriak sampai urat leher putus pun suara mereka takkan pernah mampu menembus dinding tebal gedung parlemen.
Maka tidak heran ketika seorang teman bertanya, “dagang apa nih yang bagus sekarang?” Teman lain di sebelahnya ketus menjawab, “dagang ummat”. Wallaahu a’lam (gaw)
Thursday, October 23, 2008
Peduli Sahabat
Tahun 1993, sehari menjelang ujian masuk Perguruan Tinggi Negeri. Seorang remaja berinisial DK, jatuh sakit. Sebenarnya, sakit adalah keseharian DK, sehingga setiap kali mendengar ia sakit, sahabat-sahabatnya menganggap lumrah, “Kalau DK sakit itu biasa, tapi kalau ia sehat, baru luar biasa” ungkap sahabat-sahabatnya.
Tetapi malam itu berbeda, sakitnya lebih parah dari biasanya. Beberapa pekan sebelumnya ia menderita sakit tipus selama hampir tiga bulan. Kemudian ia kembali jatuh sakit dengan kondisi yang lebih mengkhawatirkan. Padahal esok pagi ia harus mengikuti ujian masuk di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang bernama Universitas Islam Negeri (UIN) di Ciputat.
Kuliah di IAIN adalah impian seorang DK, sejak di bangku SLTA ia sudah bercita-cita ingin masuk kampus tersebut. Para sahabatnya tahu persis impian itu, bagi DK segala kemampuan akan dikerahkannya untuk bisa mendapatkan satu kursi di kampus yang telah lama diidamkannya itu. Namun malam itu ia terpaksa berkata lain, “Nampaknya saya harus mengubur impian ini, jangankan untuk mengikuti ujian, bangun dari tempat tidur pun saya tidak kuat”. Beberapa sahabat yang menemani tertunduk lesu, tak tega melihat sahabatnya terpuruk dalam kesedihan yang berlipat, sedih karena menderita sakit, ditambah tidak bisa mengikuti ujian esok pagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, seorang sahabat mencoba menyemangati DK agar tak lekas menyerah. “Tapi mana mungkin? Saya sih yakin bisa menyelesaikan soal-soal ujian besok, tetapi malam ini saja saya masih tergolek lemah di tempat tidur…” DK tak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menghela nafas panjang. Bisa terlihat oleh para sahabatnya, DK tengah mencoba melupakan impiannya kuliah di IAIN.
Sahabat-sahabatnya tahu persis, DK salah seorang pelajar yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata, sehingga mereka pun percaya DK mampu menyelesaikan soal-soal ujian. Setelah berembuk sejenak dan memahami pokok masalahnya hanya pada masalah fisik, para sahabat itu pun menawarkan bantuan. “Begini kawan, bagaimana kalau kami berlima ini mengantar DK ke Ciputat malam ini juga. Biar cukup istirahat dan besok bisa ikut ujian…”
Rupanya tawaran sahabat-sahabatnya itu disambut antusias oleh DK. Ia seolah tak peduli lagi dengan sakit yang dideritanya. Malam itu juga, segala perlengkapan disiapkan, mulai dari buku-buku, pakaian untuk ujian, juga jaket untuk menahan dinginnya malam. Lewat pukul 21.00 WIB, mereka bergegas menuju Ciputat. Perjalanan dari Perumnas Tangerang ke Ciputat diperkirakan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan menumpang tiga kali angkutan umum.
Sahabat-sahabat itu bergantian membopong tubuh lemah DK, satu orang bertugas membawa barang-barang milik DK. Di perjalanan, sahabat-sahabat itu merasa khawatir dengan kondisi kesehatan DK, “kalau tidak kuat, kita kembali saja ya…” ujar salah seorang sahabat.
Namun yang keluar dari mulut DK, “Bersama kalian, saya merasa kuat dan sehat”. Para sahabat pun tersenyum bertambah semangat meski tersengal-sengal membopong tubuh DK. Maklum, tubuh ke enam sahabat itu sama kecilnya, dengan usia yang masih remaja, relatif sama dan sama-sama baru lulus SLTA.
Selang hampir dua jam, mereka pun tiba di sebuah kamar kos milik seorang teman di belakang kampus IAIN. Para sahabat itu menitipkan DK kepada teman-teman di kamar kos, agar mau menjaganya sekaligus mengantar DK ke lokasi ujian esok hari.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB ketika para sahabat itu berpamitan pulang. DK sempat mengucapkan terima kasih, “Saya tidak akan pernah lupa apa yang sahabat-sahabat lakukan malam ini. Saya akan membayarnya dengan berhasil lulus ujian besok,” janji DK.
DK berhasil lulus ujian dan kuliah di kampus impiannya itu. Ia cukup dikenal sebagai salah satu mahasiswa cerdas dan penggerak kegiatan dakwah di IAIN kala itu. Selain menjadi redaktur di sebuah majalah Islam, kini ia mengabdikan diri dan ilmunya dengan membuka RUMAH AUTIS, sebuah klinik terapi bagi anak-anak autis.
***
Ketika kekuatan mulai tergerus dan melemahkan semangat, sahabat mampu mengalirkan energi yang bersumber dari cinta dan kasih sayang. Sahabat peduli sahabat, sebuah kebajikan yang terus berbalas, ibarat sebuah mata rantai baja yang tak lekang dipanggang api. Semakin panas apinya, semakin rantai itu, semakin kokoh pula ikatannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ikuti, School of Life (SOL), Bersama Gaw
Chapter “Sahabat Peduli Sahabat”
Ahad, 9 November 2008
Pukul 08.30 – 11.30 WIB,
Sari Melayu Resto, Jl. KH. Ahmad Dahlan (depan Labschool Kebayoran), Jakarta Selatan
Joining Fee; Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)
Reservasi;
Balisdjadi 0813 999 80000 – 999 80000 atau email ke; bayugautama@yahoo.com
Program ini didukung oleh http://warnaislam.com
Tetapi malam itu berbeda, sakitnya lebih parah dari biasanya. Beberapa pekan sebelumnya ia menderita sakit tipus selama hampir tiga bulan. Kemudian ia kembali jatuh sakit dengan kondisi yang lebih mengkhawatirkan. Padahal esok pagi ia harus mengikuti ujian masuk di Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah yang sekarang bernama Universitas Islam Negeri (UIN) di Ciputat.
Kuliah di IAIN adalah impian seorang DK, sejak di bangku SLTA ia sudah bercita-cita ingin masuk kampus tersebut. Para sahabatnya tahu persis impian itu, bagi DK segala kemampuan akan dikerahkannya untuk bisa mendapatkan satu kursi di kampus yang telah lama diidamkannya itu. Namun malam itu ia terpaksa berkata lain, “Nampaknya saya harus mengubur impian ini, jangankan untuk mengikuti ujian, bangun dari tempat tidur pun saya tidak kuat”. Beberapa sahabat yang menemani tertunduk lesu, tak tega melihat sahabatnya terpuruk dalam kesedihan yang berlipat, sedih karena menderita sakit, ditambah tidak bisa mengikuti ujian esok pagi.
Waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WIB, seorang sahabat mencoba menyemangati DK agar tak lekas menyerah. “Tapi mana mungkin? Saya sih yakin bisa menyelesaikan soal-soal ujian besok, tetapi malam ini saja saya masih tergolek lemah di tempat tidur…” DK tak melanjutkan kalimatnya, ia hanya menghela nafas panjang. Bisa terlihat oleh para sahabatnya, DK tengah mencoba melupakan impiannya kuliah di IAIN.
Sahabat-sahabatnya tahu persis, DK salah seorang pelajar yang dikaruniai kecerdasan di atas rata-rata, sehingga mereka pun percaya DK mampu menyelesaikan soal-soal ujian. Setelah berembuk sejenak dan memahami pokok masalahnya hanya pada masalah fisik, para sahabat itu pun menawarkan bantuan. “Begini kawan, bagaimana kalau kami berlima ini mengantar DK ke Ciputat malam ini juga. Biar cukup istirahat dan besok bisa ikut ujian…”
Rupanya tawaran sahabat-sahabatnya itu disambut antusias oleh DK. Ia seolah tak peduli lagi dengan sakit yang dideritanya. Malam itu juga, segala perlengkapan disiapkan, mulai dari buku-buku, pakaian untuk ujian, juga jaket untuk menahan dinginnya malam. Lewat pukul 21.00 WIB, mereka bergegas menuju Ciputat. Perjalanan dari Perumnas Tangerang ke Ciputat diperkirakan memakan waktu kurang lebih dua jam dengan menumpang tiga kali angkutan umum.
Sahabat-sahabat itu bergantian membopong tubuh lemah DK, satu orang bertugas membawa barang-barang milik DK. Di perjalanan, sahabat-sahabat itu merasa khawatir dengan kondisi kesehatan DK, “kalau tidak kuat, kita kembali saja ya…” ujar salah seorang sahabat.
Namun yang keluar dari mulut DK, “Bersama kalian, saya merasa kuat dan sehat”. Para sahabat pun tersenyum bertambah semangat meski tersengal-sengal membopong tubuh DK. Maklum, tubuh ke enam sahabat itu sama kecilnya, dengan usia yang masih remaja, relatif sama dan sama-sama baru lulus SLTA.
Selang hampir dua jam, mereka pun tiba di sebuah kamar kos milik seorang teman di belakang kampus IAIN. Para sahabat itu menitipkan DK kepada teman-teman di kamar kos, agar mau menjaganya sekaligus mengantar DK ke lokasi ujian esok hari.
Waktu sudah menunjukkan pukul 23.30 WIB ketika para sahabat itu berpamitan pulang. DK sempat mengucapkan terima kasih, “Saya tidak akan pernah lupa apa yang sahabat-sahabat lakukan malam ini. Saya akan membayarnya dengan berhasil lulus ujian besok,” janji DK.
DK berhasil lulus ujian dan kuliah di kampus impiannya itu. Ia cukup dikenal sebagai salah satu mahasiswa cerdas dan penggerak kegiatan dakwah di IAIN kala itu. Selain menjadi redaktur di sebuah majalah Islam, kini ia mengabdikan diri dan ilmunya dengan membuka RUMAH AUTIS, sebuah klinik terapi bagi anak-anak autis.
***
Ketika kekuatan mulai tergerus dan melemahkan semangat, sahabat mampu mengalirkan energi yang bersumber dari cinta dan kasih sayang. Sahabat peduli sahabat, sebuah kebajikan yang terus berbalas, ibarat sebuah mata rantai baja yang tak lekang dipanggang api. Semakin panas apinya, semakin rantai itu, semakin kokoh pula ikatannya.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------
Ikuti, School of Life (SOL), Bersama Gaw
Chapter “Sahabat Peduli Sahabat”
Ahad, 9 November 2008
Pukul 08.30 – 11.30 WIB,
Sari Melayu Resto, Jl. KH. Ahmad Dahlan (depan Labschool Kebayoran), Jakarta Selatan
Joining Fee; Rp. 150.000,- (seratus lima puluh ribu rupiah)
Reservasi;
Balisdjadi 0813 999 80000 – 999 80000 atau email ke; bayugautama@yahoo.com
Program ini didukung oleh http://warnaislam.com
Ibadah for Sale
Ada tradisi unik dalam pernikahan di beberapa daerah yang saya temui. Ini bukan soal pelaksanaan adat pernikahan masing-masing daerah itu, melainkan soal angpaw yang biasa diterima pasangan pengantin atau keluarga pengantin sepanjang pernikahan. Percaya atau tidak, di beberapa daerah jika seseorang memberikan angpaw saat menghadiri pernikahan, maka si tuan rumah akan langsung membuka amplop itu langsung di hadapan tamunya itu dan mencatat nominalnya. Maksudnya jelas, jika nanti si tamu menikahkan anaknya, maka sejumlah nominal itu pula yang akan diberikan kepadanya. Tidak jelas apakah mereka memerhitungkan tingkat inflasi dan perubahan harga-harga lainnya dalam rentang waktu tersebut.
Lain di desa lain pula di kota. Dalam satu dekade terakhir, kita pasti tak aneh dengan kalimat yang tertera di kartu undangan pernikahan, “dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, dimohon tidak memberikan ungkapan bahagia dalam bentuk cinderamata atau karangan bunga”. Maksudnya, “Uang saja ya, jangan barang, nanti repot menjualnya”. Mungkin masih menahan rasa malu untuk terang-terangan mencantumkan nomor rekening di kartu undangan. Atau mungkin suatu saat kita akan menemukannya.
Meskipun si tuan rumah punya alasan sendiri, “kalau uang bisa lebih bermanfaat untuk keperluan sebuah keluarga baru”. Tapi nampaknya hal ini sudah menjadi satu ketentuan umum yang lumrah, bahkan cenderung wajib. Bagi sebagian tamu, tentu saja memudahkan karena tidak perlu repot membeli dan membungkus kado dan menjinjingnya ke acara pernikahan. Walau bagi yang lainnya, lumayan membingungkan. Pasalnya, kalau ia biasa membeli kado dengan harga yang bisa disesuaikan dengan situasi kantongnya saat itu, namun dalam bentuk uang adakalanya harus merogoh kocek lebih dalam. Terlebih jika yang menikah adalah sahabat dekat, atasan atau kolega strategis.
Pada kenyataannya, perihal “minta uangnya saja” dalam pernikahan juga dimanfaatkan sebagian orang yang punya uang pas-pasan ketika hendak menghadiri pernikahan. Mumpung pakai amplop dan tidak perlu diberi nama, uang sepuluh ribu pun tidak ada yang tahu. Yang penting bisa makan enak, atau dalam bahasa kalangan mahasiswa, “perbaikan gizi”. Cerita menariknya, tidak sedikit pula keluarga mempelai yang gigit jari lantaran banyak amplop kosong yang didapat.
Soal angpaw pun kerap menjadi pemicu keributan di dalam keluarga. Masa indah yang harusnya dinikmati kedua mempelai, harus diwarnai dengan aksi saling merasa memiliki “hasil” acara resepsi. Sang pengantin merasa berhak karena ialah aktor dari cerita ini, namun kedua orang tua pun tak mau kalah. Karena merasa sudah mengeluarkan cukup banyak modal, maka mereka pun punya kepentingan untuk mendapatkan setidaknya Break Event Point (BEP) alias balik modal. Sukur-sukur kalau ada lebihnya sebagai keuntungan yang bisa dibagi-bagi sesuai prosentase peran dan andil dalam proses pernikahan.
Nikah itu ibadah, segala prosesnya dari A sampai Z jika diniatkan sebagai ibadah akan bernilai ibadah pula di mata Allah. Semestinya tetap demikian, sepanjang tidak berniat mencari keuntungan materi dari ibadah yang dilakukan. Sebab, tidak sedikit orang yang sudah memerhitungkan untung rugi materi saat hendak melakukan prosesi ibadah, pernikahan misalnya. Ada yang benar-benar meraup untung besar, ada pula yang tekor alias rugi dan tidak balik modal.
Yang pernah meraup untung pun dengan bangganya memberikan sedikit tips kepada calon penyelenggara pernikahan agar tak mengalami kerugian. “Jodohkan dengan anak pejabat, selebritis atau pengusaha” ini tips pertama. Tips kedua, “minta calon suami yang menanggung semua biaya sampai hal terkecil, sementara Anda lah penguasa tunggal amplop-amplop yang masuk ke kotak resepsi”. Tips ketiganya, “semua urusan pernikahan Anda yang mengaturnya, jadi Anda tahu berapa selisih yang didapat dari anggaran”
Wuah, hebat sekali! Pernikahan sudah benar-benar menjadi industri yang bisa memberikan keuntungan menggiurkan. Ini namanya ibadah for sale, tidak bedanya dengan anak-anak muda yang pura-pura menutup lubang di jalan raya dengan puing ala kadarnya sambil menyorongkan baki atau topinya meminta sumbangan. Padahal, kalau mereka ikhlas melakukannya, itu bisa bernilai ibadah di mata Allah.
Lihat juga para pendoa yang menjual jasa doa-doanya di area pemakaman, atau bahkan yang lebih menarik lagi, saya mendapati ratusan orang beramai-ramai mengikuti sholat jenazah di sebuah masjid. Saya pikir si jenazah ini orang saleh yang karena ketaqwaannya ia disegani masyarakat, sehingga ketika ia meninggal banyak orang yang ikut menyolati jenazahnya. Rupanya saya salah, karena sebagian besar orang-orang justru tak begitu mengenal si jenazah. Dan saya memang benar-benar salah setelah melihat langsung salah seorang anggota keluarga menyelipkan amplop kepada para jamaah usai sholat jenazah. “Imamnya lebih besar nominalnya” begitu katanya.
Terakhir, seorang kawan bertanya kepada saya, “kalau ustadz yang pasang tarif untuk ceramah, masuk ketegori ini nggak?” Wah, saya cuma bisa mesem-mesem sambil menjawab, “Untung saya nggak pernah mengaku sebagai ustadz”. (gaw)
http://warnaislam.com
Lain di desa lain pula di kota. Dalam satu dekade terakhir, kita pasti tak aneh dengan kalimat yang tertera di kartu undangan pernikahan, “dengan tidak mengurangi rasa hormat kami, dimohon tidak memberikan ungkapan bahagia dalam bentuk cinderamata atau karangan bunga”. Maksudnya, “Uang saja ya, jangan barang, nanti repot menjualnya”. Mungkin masih menahan rasa malu untuk terang-terangan mencantumkan nomor rekening di kartu undangan. Atau mungkin suatu saat kita akan menemukannya.
Meskipun si tuan rumah punya alasan sendiri, “kalau uang bisa lebih bermanfaat untuk keperluan sebuah keluarga baru”. Tapi nampaknya hal ini sudah menjadi satu ketentuan umum yang lumrah, bahkan cenderung wajib. Bagi sebagian tamu, tentu saja memudahkan karena tidak perlu repot membeli dan membungkus kado dan menjinjingnya ke acara pernikahan. Walau bagi yang lainnya, lumayan membingungkan. Pasalnya, kalau ia biasa membeli kado dengan harga yang bisa disesuaikan dengan situasi kantongnya saat itu, namun dalam bentuk uang adakalanya harus merogoh kocek lebih dalam. Terlebih jika yang menikah adalah sahabat dekat, atasan atau kolega strategis.
Pada kenyataannya, perihal “minta uangnya saja” dalam pernikahan juga dimanfaatkan sebagian orang yang punya uang pas-pasan ketika hendak menghadiri pernikahan. Mumpung pakai amplop dan tidak perlu diberi nama, uang sepuluh ribu pun tidak ada yang tahu. Yang penting bisa makan enak, atau dalam bahasa kalangan mahasiswa, “perbaikan gizi”. Cerita menariknya, tidak sedikit pula keluarga mempelai yang gigit jari lantaran banyak amplop kosong yang didapat.
Soal angpaw pun kerap menjadi pemicu keributan di dalam keluarga. Masa indah yang harusnya dinikmati kedua mempelai, harus diwarnai dengan aksi saling merasa memiliki “hasil” acara resepsi. Sang pengantin merasa berhak karena ialah aktor dari cerita ini, namun kedua orang tua pun tak mau kalah. Karena merasa sudah mengeluarkan cukup banyak modal, maka mereka pun punya kepentingan untuk mendapatkan setidaknya Break Event Point (BEP) alias balik modal. Sukur-sukur kalau ada lebihnya sebagai keuntungan yang bisa dibagi-bagi sesuai prosentase peran dan andil dalam proses pernikahan.
Nikah itu ibadah, segala prosesnya dari A sampai Z jika diniatkan sebagai ibadah akan bernilai ibadah pula di mata Allah. Semestinya tetap demikian, sepanjang tidak berniat mencari keuntungan materi dari ibadah yang dilakukan. Sebab, tidak sedikit orang yang sudah memerhitungkan untung rugi materi saat hendak melakukan prosesi ibadah, pernikahan misalnya. Ada yang benar-benar meraup untung besar, ada pula yang tekor alias rugi dan tidak balik modal.
Yang pernah meraup untung pun dengan bangganya memberikan sedikit tips kepada calon penyelenggara pernikahan agar tak mengalami kerugian. “Jodohkan dengan anak pejabat, selebritis atau pengusaha” ini tips pertama. Tips kedua, “minta calon suami yang menanggung semua biaya sampai hal terkecil, sementara Anda lah penguasa tunggal amplop-amplop yang masuk ke kotak resepsi”. Tips ketiganya, “semua urusan pernikahan Anda yang mengaturnya, jadi Anda tahu berapa selisih yang didapat dari anggaran”
Wuah, hebat sekali! Pernikahan sudah benar-benar menjadi industri yang bisa memberikan keuntungan menggiurkan. Ini namanya ibadah for sale, tidak bedanya dengan anak-anak muda yang pura-pura menutup lubang di jalan raya dengan puing ala kadarnya sambil menyorongkan baki atau topinya meminta sumbangan. Padahal, kalau mereka ikhlas melakukannya, itu bisa bernilai ibadah di mata Allah.
Lihat juga para pendoa yang menjual jasa doa-doanya di area pemakaman, atau bahkan yang lebih menarik lagi, saya mendapati ratusan orang beramai-ramai mengikuti sholat jenazah di sebuah masjid. Saya pikir si jenazah ini orang saleh yang karena ketaqwaannya ia disegani masyarakat, sehingga ketika ia meninggal banyak orang yang ikut menyolati jenazahnya. Rupanya saya salah, karena sebagian besar orang-orang justru tak begitu mengenal si jenazah. Dan saya memang benar-benar salah setelah melihat langsung salah seorang anggota keluarga menyelipkan amplop kepada para jamaah usai sholat jenazah. “Imamnya lebih besar nominalnya” begitu katanya.
Terakhir, seorang kawan bertanya kepada saya, “kalau ustadz yang pasang tarif untuk ceramah, masuk ketegori ini nggak?” Wah, saya cuma bisa mesem-mesem sambil menjawab, “Untung saya nggak pernah mengaku sebagai ustadz”. (gaw)
http://warnaislam.com
Monday, October 20, 2008
Selamat Tinggal Pornografi !
Selamat pagi bung, salam kenal. Sudah lama saya mengenal Anda, tahu nama Anda, sering pula mendengar cerita tentang Anda. Bahkan harus saya akui, berkali-kali melihat, bertemu dan berpapasan dengan Anda. Entah itu di jalanan, di angkutan umum, televisi, radio, koran, majalah, tabloid, internet, di rak-rak buku, buku teka-teki silang, telepon seluler, di lapak-lapak pinggir jalan, kartu remi atau domino, Anda selalu hadir.
Rupanya Anda sangat terkenal ya. Mulai dari para anggota dewan perwakilan rakyat, para politisi, menteri, sampai presiden pun pernah dan tengah membincangkan persoalan Anda. Bukan hanya kalangan pejabat yang tengah membicarakan perihal Anda. Para selebritis, tokoh masyarakat, ulama pun berdebat soal Anda. Yang menarik, semua kelompok itu berbeda suara tentang Anda. Tidak semua pejabat mendukung kehadiran Anda, sebagian menteri belum bersuara tentang sepak terjang Anda, para politisi pun demikian. Mudah-mudahan saja Presiden dan wakilnya tidak berdebat soal Anda ya…
Uniknya, sebagian orang yang dianggap tokoh masyarakat dan ulama pun mendukung sosok Anda, dengan dalih kebebasan berekspresi, seni atau mempertahankan budaya. Mereka yang semula tidak mendukung, namun karena tokoh panutannya memberikan dukungan penuh, maka bertambahlah seruan, “hidup pornografi!”
Bung Por, atau apa ya enaknya saya memanggil Anda? Mas No, Tante Grafi atau siapa? Sebab sejatinya saya tidak tahu jenis kelamin Anda. Pasalnya Anda disukai laki-laki dan tidak sedikit perempuan. Para karyawan di kantor-kantor, mulai dari office boy sampai direkturnya senang meluncur ke halaman-halaman yang menampilkan sosok Anda di internet. Berbagai kalangan senang berlama-lama memandangi Anda, para mahasiswa, juga dosennya, pedagang di pasar, pedagang asongan, buruh pabrik, sopir truk dan bis kota, tukang becak, sampai para ibu rumah tangga beserta pembantunya, tukang kebun, juga sopir pribadinya.
Hebatnya lagi, Anda punya penggemar junior! Yakni anak-anak sekolah yang sering menyimpan gambar-gambar Anda di telepon selulernya, atau yang terselip di antara buku pelajarannya. Lucunya, sebagian tenaga pendidik yang berkewajiban mengawasi dan membina para pelajar pun tak mampu berbuat banyak, sebab diam-diam pak dan bu guru sama-sama menyukainya.
Anda mudah sekali dijumpai, mulai dari café sampai warung kopi, dari restoran sampai warung tegal, dari gedung bertingkat sampai lantai dasarnya pun ada. Dari sekolah dasar sampai kampus perguruan tinggi, dari pasar tradisional sampai Mall, semuanya ada sehingga memaksa mereka yang tak tahu soal Anda jadi tahu, yang sebelumnya tidak mengenal jadi kenal, bahkan yang tadinya tidak suka berubah menjadi penggemar.
Tapi Bung, eh Mas, eh mbak, Tante Pornografi… saya hanya mau memberi tahu sebuah rahasia besar. Bahwa sesungguhnya, hanya segelintir saja yang benar-benar menjadi penggemar dan pendukung Anda. Lebih banyak karyawan kantor yang membenci Anda, jauh lebih banyak mahasiswa yang menolak kehadiran Anda, begitu juga para pelajar, hanya satu dua orang saja yang setia kepada Anda. Masih lebih banyak sopir truk, bis kota, angkutan umum, dan taksi, juga pedagang asongan, buruh pabrik dan ibu-ibu rumah tangga, yang tak berkenan menikmati sosok Anda.
Tak berbeda dengan yang lainnya, lebih banyak tokoh masyarakat, ulama, para pejabat negara, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, yang bahu membahu bersatu menyingkirkan Anda. Saya yakin, presiden dan wakilnya pun satu suara tentang Anda, menolak! Ya kan Pak? Benarkan Pak? Saya tidak salah kan? Ya dong. Bapak berdua kan orang paling bertanggungjawab atas negeri ini.
Saya pun lebih banyak menjumpai tempat-tempat umum, sekolah, kampus, apartemen, kantor, warung kopi, café, restauran, warung tegal, yang jijik menampilkan profil Anda. Para pengunjung dan penghuninya pun demikian, bukan bagian dari Anda, dan bukan penikmat Anda.
Jadi, bersiap-siaplah Anda, karena orang-orang yang saya sebutkan di atas, malu dan masih punya harga diri untuk berkarib dengan Anda, terlebih menjadi bagian dari Anda. Kalaupun pagi ini saya sempat mengucapkan selamat pagi untuk Anda, maaf, saya tidak yakin untuk siang dan malam nanti. Karena mulai pagi ini akan berbondong-bondong orang mengucapkan, “SELAMAT TINGGAL PORNOGRAFI”. Tak lama lagi akan banyak rumah-rumah, kantor, warung, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya yang memasang sticker “AREA TANPA PORNOGRAFI”, atau banyak orang-orang di segala tempat mengenakan kaos bertuliskan, “SAYA BUKAN PENIKMAT PORNOGRAFI”.
Bahkan Anda yang merupakan golongan pornografer, akan ditolak memasuki berbagai area dan wilayah di negeri ini karena semua kawasan itu juga bertuliskan, "Hormati hak orang lain, jangan berlaku tidak sopan di hadapan kami".
Oke bung, goodbye! (gaw)
--------------------
Buktikan Anda bukan bagian dari PORNOGRAFI, sukseskan RUU Pornografi!
klik : http://warnaislam.com/ruupornografi
Rupanya Anda sangat terkenal ya. Mulai dari para anggota dewan perwakilan rakyat, para politisi, menteri, sampai presiden pun pernah dan tengah membincangkan persoalan Anda. Bukan hanya kalangan pejabat yang tengah membicarakan perihal Anda. Para selebritis, tokoh masyarakat, ulama pun berdebat soal Anda. Yang menarik, semua kelompok itu berbeda suara tentang Anda. Tidak semua pejabat mendukung kehadiran Anda, sebagian menteri belum bersuara tentang sepak terjang Anda, para politisi pun demikian. Mudah-mudahan saja Presiden dan wakilnya tidak berdebat soal Anda ya…
Uniknya, sebagian orang yang dianggap tokoh masyarakat dan ulama pun mendukung sosok Anda, dengan dalih kebebasan berekspresi, seni atau mempertahankan budaya. Mereka yang semula tidak mendukung, namun karena tokoh panutannya memberikan dukungan penuh, maka bertambahlah seruan, “hidup pornografi!”
Bung Por, atau apa ya enaknya saya memanggil Anda? Mas No, Tante Grafi atau siapa? Sebab sejatinya saya tidak tahu jenis kelamin Anda. Pasalnya Anda disukai laki-laki dan tidak sedikit perempuan. Para karyawan di kantor-kantor, mulai dari office boy sampai direkturnya senang meluncur ke halaman-halaman yang menampilkan sosok Anda di internet. Berbagai kalangan senang berlama-lama memandangi Anda, para mahasiswa, juga dosennya, pedagang di pasar, pedagang asongan, buruh pabrik, sopir truk dan bis kota, tukang becak, sampai para ibu rumah tangga beserta pembantunya, tukang kebun, juga sopir pribadinya.
Hebatnya lagi, Anda punya penggemar junior! Yakni anak-anak sekolah yang sering menyimpan gambar-gambar Anda di telepon selulernya, atau yang terselip di antara buku pelajarannya. Lucunya, sebagian tenaga pendidik yang berkewajiban mengawasi dan membina para pelajar pun tak mampu berbuat banyak, sebab diam-diam pak dan bu guru sama-sama menyukainya.
Anda mudah sekali dijumpai, mulai dari café sampai warung kopi, dari restoran sampai warung tegal, dari gedung bertingkat sampai lantai dasarnya pun ada. Dari sekolah dasar sampai kampus perguruan tinggi, dari pasar tradisional sampai Mall, semuanya ada sehingga memaksa mereka yang tak tahu soal Anda jadi tahu, yang sebelumnya tidak mengenal jadi kenal, bahkan yang tadinya tidak suka berubah menjadi penggemar.
Tapi Bung, eh Mas, eh mbak, Tante Pornografi… saya hanya mau memberi tahu sebuah rahasia besar. Bahwa sesungguhnya, hanya segelintir saja yang benar-benar menjadi penggemar dan pendukung Anda. Lebih banyak karyawan kantor yang membenci Anda, jauh lebih banyak mahasiswa yang menolak kehadiran Anda, begitu juga para pelajar, hanya satu dua orang saja yang setia kepada Anda. Masih lebih banyak sopir truk, bis kota, angkutan umum, dan taksi, juga pedagang asongan, buruh pabrik dan ibu-ibu rumah tangga, yang tak berkenan menikmati sosok Anda.
Tak berbeda dengan yang lainnya, lebih banyak tokoh masyarakat, ulama, para pejabat negara, politikus, anggota dewan perwakilan rakyat, yang bahu membahu bersatu menyingkirkan Anda. Saya yakin, presiden dan wakilnya pun satu suara tentang Anda, menolak! Ya kan Pak? Benarkan Pak? Saya tidak salah kan? Ya dong. Bapak berdua kan orang paling bertanggungjawab atas negeri ini.
Saya pun lebih banyak menjumpai tempat-tempat umum, sekolah, kampus, apartemen, kantor, warung kopi, café, restauran, warung tegal, yang jijik menampilkan profil Anda. Para pengunjung dan penghuninya pun demikian, bukan bagian dari Anda, dan bukan penikmat Anda.
Jadi, bersiap-siaplah Anda, karena orang-orang yang saya sebutkan di atas, malu dan masih punya harga diri untuk berkarib dengan Anda, terlebih menjadi bagian dari Anda. Kalaupun pagi ini saya sempat mengucapkan selamat pagi untuk Anda, maaf, saya tidak yakin untuk siang dan malam nanti. Karena mulai pagi ini akan berbondong-bondong orang mengucapkan, “SELAMAT TINGGAL PORNOGRAFI”. Tak lama lagi akan banyak rumah-rumah, kantor, warung, sekolah dan tempat-tempat umum lainnya yang memasang sticker “AREA TANPA PORNOGRAFI”, atau banyak orang-orang di segala tempat mengenakan kaos bertuliskan, “SAYA BUKAN PENIKMAT PORNOGRAFI”.
Bahkan Anda yang merupakan golongan pornografer, akan ditolak memasuki berbagai area dan wilayah di negeri ini karena semua kawasan itu juga bertuliskan, "Hormati hak orang lain, jangan berlaku tidak sopan di hadapan kami".
Oke bung, goodbye! (gaw)
--------------------
Buktikan Anda bukan bagian dari PORNOGRAFI, sukseskan RUU Pornografi!
klik : http://warnaislam.com/ruupornografi
Saturday, October 18, 2008
Kita Tak Perlu Robin Hood
Robin Hood adalah tokoh dalam cerita rakyat Inggris. Ia adalah seorang bangsawan yang menjadi musuh Sheriff of Nottingham atau Prince John, melawan pejabat yang korupsi untuk kepentingan rakyat. Ia memimpin 140 orang yang disebut "Merry Men".
Selain Robin Hood, cerita rakyat lainnya kita kenal pahlawan bertopeng, Zorro, dengan seragam khasnya hitam-hitam, kehadirannya selalu dinantikan orang-orang yang lemah (dhuafa) dan tertindas.
Dalam negeri sendiri, kita punya cerita rakyat Si Pitung, yang kerap beraksi menyatroni rumah-rumah tuan tanah yang tak peduli pada kesengsaraan rakyat sekitarnya. Hasil rampasannya kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.
Masih banyak cerita-cerita rakyat dari berbagai bangsa yang pernah kita dengar, cerita intinya hanya satu, para pahlawan ini dicintai karena membela kepentingan kaum dhuafa dan orang-orang tertindas. Rakyat bahkan tak peduli sekalipun yang dilakukan para “jagoan” ini memaksa bahkan merampas harta orang-orang kaya dan penguasa. Mungkin ini sebuah gambaran, bahwa ketika kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan sudah mencapai puncaknya seringkali membuat orang tak peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan sesuatu sekadar untuk makan.
Cerita-cerita rakyat itu juga sebuah cermin matinya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Mata mereka seolah dibutakan sehingga tak mau dan mampu melihat penderitaan di sekelilingnya. Hatinya membatu, tak mudah tersentuh dengan ratapan, rintihan, juga orang-orang yang tanpa malu lagi meminta-minta. Teliganya tersumpal gunung terbesar di dunia, sehingga tak mungkin lagi mendengar jeritan kelaparan. Dan tangan-tangan mereka pun tak pernah terhulur menyodorkan derma.
Tapi itu dulu…
Sekarang sangat jauh berbeda. Para dermawan selalu menunggu untuk didatangi anak-anak yatim, fakir miskin dan kaum dhuafa lainnya. Tak sedikit yang langsung menyambangi panti asuhan, menemui anak-anak terlantar di kolong jembatan dan menyantuni mereka layaknya anak-anak sendiri.
Saat ini, orang-orang yang diberi kecukupan oleh Allah SWT menyadari sepenuhnya, bahwa yang mereka miliki bukan sepenuhnya hak mereka. Ada hak orang lain di dalam hartanya. Karenanya jangan aneh, jika setiap hari, pecan dan bulan, juga tahun, orang-orang yang dicintai Allah ini sibuk menghitung berapa yang wajib dikeluarkan sebagai zakat, infak dan sedekah.
Zaman sudah berubah, kita tak lagi memerlukan Robin Hood, Zorro, atau jagoan silat macam Si Pitung. Hanya perlu sedikit sentuhan, himbauan dan informasi kemana mereka harus menyalurkan kepedulian. Kita hanya perlu menunjukkan tempat-tempat orang yang tengah dilanda kesusahan. Bahkan, tidak sedikit para dermawan yang sudah hafal betul jalan-jalan kecil, becek dan berlumpur menuju wilayah kantong-kantong kemiskinan.
Jadi, maaf buat Mas Robin, Kang Zorro dan Bang Pitung, Anda sudah tidak diperlukan lagi di negeri ini. Orang-orang di negeri ini sudah sadar dan faham, bahwa semakin banyak berderma mereka akan semakin kaya raya. (gaw)
warnaislam.com
Selain Robin Hood, cerita rakyat lainnya kita kenal pahlawan bertopeng, Zorro, dengan seragam khasnya hitam-hitam, kehadirannya selalu dinantikan orang-orang yang lemah (dhuafa) dan tertindas.
Dalam negeri sendiri, kita punya cerita rakyat Si Pitung, yang kerap beraksi menyatroni rumah-rumah tuan tanah yang tak peduli pada kesengsaraan rakyat sekitarnya. Hasil rampasannya kemudian dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan mereka yang membutuhkan.
Masih banyak cerita-cerita rakyat dari berbagai bangsa yang pernah kita dengar, cerita intinya hanya satu, para pahlawan ini dicintai karena membela kepentingan kaum dhuafa dan orang-orang tertindas. Rakyat bahkan tak peduli sekalipun yang dilakukan para “jagoan” ini memaksa bahkan merampas harta orang-orang kaya dan penguasa. Mungkin ini sebuah gambaran, bahwa ketika kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan sudah mencapai puncaknya seringkali membuat orang tak peduli lagi dari mana ia bisa mendapatkan sesuatu sekadar untuk makan.
Cerita-cerita rakyat itu juga sebuah cermin matinya kepedulian terhadap lingkungan sekitar. Mata mereka seolah dibutakan sehingga tak mau dan mampu melihat penderitaan di sekelilingnya. Hatinya membatu, tak mudah tersentuh dengan ratapan, rintihan, juga orang-orang yang tanpa malu lagi meminta-minta. Teliganya tersumpal gunung terbesar di dunia, sehingga tak mungkin lagi mendengar jeritan kelaparan. Dan tangan-tangan mereka pun tak pernah terhulur menyodorkan derma.
Tapi itu dulu…
Sekarang sangat jauh berbeda. Para dermawan selalu menunggu untuk didatangi anak-anak yatim, fakir miskin dan kaum dhuafa lainnya. Tak sedikit yang langsung menyambangi panti asuhan, menemui anak-anak terlantar di kolong jembatan dan menyantuni mereka layaknya anak-anak sendiri.
Saat ini, orang-orang yang diberi kecukupan oleh Allah SWT menyadari sepenuhnya, bahwa yang mereka miliki bukan sepenuhnya hak mereka. Ada hak orang lain di dalam hartanya. Karenanya jangan aneh, jika setiap hari, pecan dan bulan, juga tahun, orang-orang yang dicintai Allah ini sibuk menghitung berapa yang wajib dikeluarkan sebagai zakat, infak dan sedekah.
Zaman sudah berubah, kita tak lagi memerlukan Robin Hood, Zorro, atau jagoan silat macam Si Pitung. Hanya perlu sedikit sentuhan, himbauan dan informasi kemana mereka harus menyalurkan kepedulian. Kita hanya perlu menunjukkan tempat-tempat orang yang tengah dilanda kesusahan. Bahkan, tidak sedikit para dermawan yang sudah hafal betul jalan-jalan kecil, becek dan berlumpur menuju wilayah kantong-kantong kemiskinan.
Jadi, maaf buat Mas Robin, Kang Zorro dan Bang Pitung, Anda sudah tidak diperlukan lagi di negeri ini. Orang-orang di negeri ini sudah sadar dan faham, bahwa semakin banyak berderma mereka akan semakin kaya raya. (gaw)
warnaislam.com
Seseorang Di Sisimu
Saya menghentikan motor tiba-tiba ketika melihat sosok tua berjalan tertatih-tatih di depan gerbang perumahan Griya Asri Depok. Setelah parkir motor di tempat aman, saya pun menghampirinya.
"Mbah, mau kemana?”
Tatapannya kosong, bibirnya bergetar berusaha menjawab, “ke sana…” ia menunjuk ke arah perempatan jalan.
"Mau ngapain kesana?” tanya saya lagi.
“Ngamen…” suaranya makin bergetar.
Gemuruh hati saya lebih keras kali ini. Saya tatap secermat mungkin lelaki tua itu, mulai dari wajahnya hingga ke kaki. Namanya Mbah Dalim, ia asal Cirebon dan kini tinggal di Stasiun Depok Baru. Perhatian, yang dimaksud bukan ngontrak atau punya rumah di dekat stasiun, melainkan benar-benar tinggal di stasiun, ya di stasiun!
Usianya 88 tahun, ia tak punya isteri terlebih anak. Sebatang kara menyusuri jalan setiap hari dengan menjual suara parah nan lemahnya, mencoba berbisik kepada para pejalan kaki yang melintas sekadar bermimpi dilemparkan koin dan receh.
Jalannya tertatih-tatih, nampak sekali ia butuh perjuangan berat untuk mengangkat kakinya. Rupanya di kaki kanannya terdapat penyakit eksim, “sudah bertahun-tahun, saya tidak punya uang untuk berobat” kata Mbah Dalim tentang penyakitnya itu. Setiap 3-5 meter, ia berhenti melangkah, mungkin mengumpulkan tenaga dan mengambil nafas.
Suaranya sangat parau dan lemah, apa mungkin ia mengamen? Tetapi kotak karaoke besar yang dipanggulnya di punggung belakang sangat menjawab pertanyaan saya itu. Saya sempat mengangkat sebentar kotak itu, lumayan berat untuk saya, pastilah teramat berat untuknya.
"Kalau ada milik, sehari dapat enam ribu…” terang Mbah Dalim, menjawab pertanyaan saya, berapa yang didapatnya dengan mengamen. Ya, katanya, kalau ada milik, bagaimana jika tidak? Apa yang dimakannya? Pun ia mendapatkan uang ‘segitu’, bagaimana ia bisa hidup dengan uang yang teramat kecil bagi sebagian orang.
Langit bagai runtuh saat itu, mendung pekat terbanding. Banjir sudah air mata saya, seperti hujan terlebat yang pernah Allah turunkan, “kemana saja saya selama ini?”
Saya pun merogoh kantong, menyisakan sekadar untuk mengisi perut siang nanti, “Mbah, segera ke rumah sakit ya, obati kakinya. Juga ini ada sedikit untuk makan siang dan malam nanti”.
Mbah Dalim pun melanjutkan langkahnya, saya masih belum bisa bergerak dan mata ini terus mengikuti tubuhnya yang bergerak lamban. Bahkan saya terus mengikutinya dengan memperlambat laju motor, sempat saya menawarkan untuk memboncengnya sampai ke tujuan, “terima kasih, saya jalan saja”.
Hhh… saya menghela nafas panjang menyaksikan episode kehidupan ini.
***
Memiliki seseorang, entah itu suami, isteri atau sahabat, adalah anugerah terindah dalam kehidupan. Sayangilah ia, sebab kita akan merasakan arti kehadirannya tidak hanya saat ini, juga nanti disaat seperti yang tengah dijalani mbah Dalim.
Titip salam saya untuk seseorang di sisimu, katakan sekarang juga, “Saya bersyukur memilikimu”
Gaw
ttp://warnaislam.com
"Mbah, mau kemana?”
Tatapannya kosong, bibirnya bergetar berusaha menjawab, “ke sana…” ia menunjuk ke arah perempatan jalan.
"Mau ngapain kesana?” tanya saya lagi.
“Ngamen…” suaranya makin bergetar.
Gemuruh hati saya lebih keras kali ini. Saya tatap secermat mungkin lelaki tua itu, mulai dari wajahnya hingga ke kaki. Namanya Mbah Dalim, ia asal Cirebon dan kini tinggal di Stasiun Depok Baru. Perhatian, yang dimaksud bukan ngontrak atau punya rumah di dekat stasiun, melainkan benar-benar tinggal di stasiun, ya di stasiun!
Usianya 88 tahun, ia tak punya isteri terlebih anak. Sebatang kara menyusuri jalan setiap hari dengan menjual suara parah nan lemahnya, mencoba berbisik kepada para pejalan kaki yang melintas sekadar bermimpi dilemparkan koin dan receh.
Jalannya tertatih-tatih, nampak sekali ia butuh perjuangan berat untuk mengangkat kakinya. Rupanya di kaki kanannya terdapat penyakit eksim, “sudah bertahun-tahun, saya tidak punya uang untuk berobat” kata Mbah Dalim tentang penyakitnya itu. Setiap 3-5 meter, ia berhenti melangkah, mungkin mengumpulkan tenaga dan mengambil nafas.
Suaranya sangat parau dan lemah, apa mungkin ia mengamen? Tetapi kotak karaoke besar yang dipanggulnya di punggung belakang sangat menjawab pertanyaan saya itu. Saya sempat mengangkat sebentar kotak itu, lumayan berat untuk saya, pastilah teramat berat untuknya.
"Kalau ada milik, sehari dapat enam ribu…” terang Mbah Dalim, menjawab pertanyaan saya, berapa yang didapatnya dengan mengamen. Ya, katanya, kalau ada milik, bagaimana jika tidak? Apa yang dimakannya? Pun ia mendapatkan uang ‘segitu’, bagaimana ia bisa hidup dengan uang yang teramat kecil bagi sebagian orang.
Langit bagai runtuh saat itu, mendung pekat terbanding. Banjir sudah air mata saya, seperti hujan terlebat yang pernah Allah turunkan, “kemana saja saya selama ini?”
Saya pun merogoh kantong, menyisakan sekadar untuk mengisi perut siang nanti, “Mbah, segera ke rumah sakit ya, obati kakinya. Juga ini ada sedikit untuk makan siang dan malam nanti”.
Mbah Dalim pun melanjutkan langkahnya, saya masih belum bisa bergerak dan mata ini terus mengikuti tubuhnya yang bergerak lamban. Bahkan saya terus mengikutinya dengan memperlambat laju motor, sempat saya menawarkan untuk memboncengnya sampai ke tujuan, “terima kasih, saya jalan saja”.
Hhh… saya menghela nafas panjang menyaksikan episode kehidupan ini.
***
Memiliki seseorang, entah itu suami, isteri atau sahabat, adalah anugerah terindah dalam kehidupan. Sayangilah ia, sebab kita akan merasakan arti kehadirannya tidak hanya saat ini, juga nanti disaat seperti yang tengah dijalani mbah Dalim.
Titip salam saya untuk seseorang di sisimu, katakan sekarang juga, “Saya bersyukur memilikimu”
Gaw
ttp://warnaislam.com
Perbaiki Subuh Kita
“Siapa yang ingin berjihad di jalan Allah, saya tunggu di bukit ini ba’da subuh”
Kalimat di atas sangat melekat di benak saya, meski sudah lebih dua puluh tahun silam saya mendengarnya di sebuah film epik berjudul Cut Nyak Dien. Kisah kepahlawanan para pejuang Aceh yang gagah perkasa melawan penjajah Belanda ketika itu. Kalimat penuh semangat dan mengandung ruh jihad itu diucapkan oleh seorang panglima perang Aceh, Teuku Umar di hadapan para pejuangnya.
Bertahun-tahun saya sempat bertanya, “kenapa ba’da subuh?”
Kala itu, jawaban yang saya dapat sangat polos, lumayan masuk akal, namun cukup menggelikan kalau dipikir-pikir. “Orang-orang Belanda itu nggak sholat subuh, jadi kalau pasukan Aceh menyerbu ba’da subuh, pasukan Belanda masih tidur dan tidak siap menghadapi serangan”.
Seiring dengan waktu, saya mendapatkan jawaban yang mudah-mudahan lebih tepat untuk pertanyaan, “kenapa ba’da subuh?”
Diantara lima waktu sholat wajib, subuh dianggap paling berat meskipun jumlah rakaatnya paling sedikit. Bangun subuh, mendirikan sholat dan berjamaah di masjid adalah perjuangan berat bagi sebagian orang. Bangunnya saja perlu perjuangan, beberapa mata tak sanggup terbuka, sebagian bangun dengan bermalas-malasan, ada yang terbangun kemudian terlelap lagi, ada yang bergerak hanya untuk menarik selimut dan melanjutkan mimpi, dan ada pula yang sama sekali tak bergerak dan terus mendengkur.
Ada orang-orang yang memerlukan bantuan orang lain untuk bangun subuh. Kalau pun sudah bangun, ada yang menunda-nunda sholatnya. Ada pula berdiri sholat dalam keadaan malas, itu terlihat dari gerakan sholatnya yang terburu-buru atau dari sikap berdirinya yang tidak tegap. Dan ada loh yang sholat sambil matanya terpejam atau sholat sambil berkali-kali menguap.
Sampai disini sebenarnya sudah lumayan bagus, yang penting masih mau sholat subuh. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, ketika adzan berkumandang ia semangat bergegas membasuh muka. Bahkan sebagian lainnya menyesal jika hanya terbangun pada saat adzan, sebab ia biasanya bangun di sepertiga malam dan tak tertidur lagi sampai waktu subuh. Orang-orang ini, rela mengorbankan kenikmatan tidurnya serta meminimalkan istirahatnya.
Kesungguhannya semakin teruji ketika ia memilih untuk membelah fajar, menerobos udara dingin menuju masjid untuk sholat berjamaah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh diwaktu subuh inilah yang dipilih, seperti Muhammad yang terpilih untuk mengangkat Hajar Aswad karena tiba di Ka’bah lebih dulu.
Maka wajar jika Teuku Umar meminta para pejuangnya berkumpul persis ba’da subuh, karena ia hanya ingin berjuang bersama orang-orang yang memiliki semangat pengorbanan, yang jiwanya dipenuhi kesungguhan diatas rata-rata kebanyakan orang lainnya. Mereka yang tak bangun subuh, bukan saja tertinggal tak ikut berjuang, melainkan memang tak dibutuhkan sama sekali dalam perjuangan karena dianggap tak bersungguh-sungguh.
Semangat dan kesungguhan yang diperoleh dari kebiasaan sholat subuh, bisa kita terapkan dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan. Seberat apapun masalah, pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya adalah, apakah kita memiliki semangat dan kesungguhan diatas rata-rata untuk mencari jalan keluarnya? Jika belum, mungkin ada baiknya kita mulai dengan sama-sama memperbaiki subuh kita. Mau? (gaw)
http://warnaislam.com
Kalimat di atas sangat melekat di benak saya, meski sudah lebih dua puluh tahun silam saya mendengarnya di sebuah film epik berjudul Cut Nyak Dien. Kisah kepahlawanan para pejuang Aceh yang gagah perkasa melawan penjajah Belanda ketika itu. Kalimat penuh semangat dan mengandung ruh jihad itu diucapkan oleh seorang panglima perang Aceh, Teuku Umar di hadapan para pejuangnya.
Bertahun-tahun saya sempat bertanya, “kenapa ba’da subuh?”
Kala itu, jawaban yang saya dapat sangat polos, lumayan masuk akal, namun cukup menggelikan kalau dipikir-pikir. “Orang-orang Belanda itu nggak sholat subuh, jadi kalau pasukan Aceh menyerbu ba’da subuh, pasukan Belanda masih tidur dan tidak siap menghadapi serangan”.
Seiring dengan waktu, saya mendapatkan jawaban yang mudah-mudahan lebih tepat untuk pertanyaan, “kenapa ba’da subuh?”
Diantara lima waktu sholat wajib, subuh dianggap paling berat meskipun jumlah rakaatnya paling sedikit. Bangun subuh, mendirikan sholat dan berjamaah di masjid adalah perjuangan berat bagi sebagian orang. Bangunnya saja perlu perjuangan, beberapa mata tak sanggup terbuka, sebagian bangun dengan bermalas-malasan, ada yang terbangun kemudian terlelap lagi, ada yang bergerak hanya untuk menarik selimut dan melanjutkan mimpi, dan ada pula yang sama sekali tak bergerak dan terus mendengkur.
Ada orang-orang yang memerlukan bantuan orang lain untuk bangun subuh. Kalau pun sudah bangun, ada yang menunda-nunda sholatnya. Ada pula berdiri sholat dalam keadaan malas, itu terlihat dari gerakan sholatnya yang terburu-buru atau dari sikap berdirinya yang tidak tegap. Dan ada loh yang sholat sambil matanya terpejam atau sholat sambil berkali-kali menguap.
Sampai disini sebenarnya sudah lumayan bagus, yang penting masih mau sholat subuh. Tetapi bagi orang-orang yang beriman, ketika adzan berkumandang ia semangat bergegas membasuh muka. Bahkan sebagian lainnya menyesal jika hanya terbangun pada saat adzan, sebab ia biasanya bangun di sepertiga malam dan tak tertidur lagi sampai waktu subuh. Orang-orang ini, rela mengorbankan kenikmatan tidurnya serta meminimalkan istirahatnya.
Kesungguhannya semakin teruji ketika ia memilih untuk membelah fajar, menerobos udara dingin menuju masjid untuk sholat berjamaah. Orang-orang yang bersungguh-sungguh diwaktu subuh inilah yang dipilih, seperti Muhammad yang terpilih untuk mengangkat Hajar Aswad karena tiba di Ka’bah lebih dulu.
Maka wajar jika Teuku Umar meminta para pejuangnya berkumpul persis ba’da subuh, karena ia hanya ingin berjuang bersama orang-orang yang memiliki semangat pengorbanan, yang jiwanya dipenuhi kesungguhan diatas rata-rata kebanyakan orang lainnya. Mereka yang tak bangun subuh, bukan saja tertinggal tak ikut berjuang, melainkan memang tak dibutuhkan sama sekali dalam perjuangan karena dianggap tak bersungguh-sungguh.
Semangat dan kesungguhan yang diperoleh dari kebiasaan sholat subuh, bisa kita terapkan dalam mengatasi berbagai masalah kehidupan. Seberat apapun masalah, pasti ada jalan keluarnya. Masalahnya adalah, apakah kita memiliki semangat dan kesungguhan diatas rata-rata untuk mencari jalan keluarnya? Jika belum, mungkin ada baiknya kita mulai dengan sama-sama memperbaiki subuh kita. Mau? (gaw)
http://warnaislam.com
Miskin Sebenarnya
Orang yang berpakaian lusuh, kusam, atau bahkan sobek di beberapa bagiannya. Mereka yang tak memiliki pakaian selain yang melekat di tubuhnya, bahkan orang-orang yang memanfaatkan bekas karung terigu untuk dijadikan pakaian, apakah mereka yang dikategorikan orang miskin?
Orang-orang yang tak memiliki cukup makanan untuk disantap setiap hari, yang kebingungan setelah sarapan pagi siang nanti tidak tahu harus makan apa, atau mereka yang tidak yakin apakah esok hari masih ada makanan untuk disantap. Orang-orang yang hanya bertemu makanan satu kali dalam sehari, atau mereka yang terpaksa berpuasa berhari-hari karena tidak ada uang untuk membeli sedikit makanan. Inikah yang disebut miskin?
Anak-anak yatim dan terlantar di banyak panti asuhan, atau anak-anak yang berkeliaran di jalanan mencari makan di usia mereka yang masih belia. Para pengamen jalanan, tukang koran, tukang semir sepatu, pedagang asongan, yang penghasilan mereka lebih kecil dari uang jajan anak-anak di sekolah elit dan terpadu. Miskinkah mereka?
Tukang gali, buruh bangunan, buruh angkut di pasar, penyapu jalanan, pengais dan tukang angkut sampah, tukang becak, tukang ojeg, supir angkot, kondektur bis, serta semua pekerja kasar lainnya, benarkah mereka komunitas orang-orang miskin?
Anak-anak penderita gizi buruk, orang-orang yang sakit bertahun-tahun tak kunjung sembuh karena tak pernah bisa membeli obat, orang-orang yang memiliki banyak hutang dan tak sanggup membayarnya meski harus menyicil, mereka yang kerap mengantri pembagian jatah sembako, atau warga yang masuk dalam daftar penerima dana bantuan langsung tunai (BLT), miskin sesungguhnya?
Sebuah keluarga yang puluhan tahun berpindah-pindah kontrakan lantaran terlalu sering diusir pemilik kontrakan karena tak sanggup membayar, keluarga lainnya yang bahkan untuk mengontrak pun tak sanggup, atau mereka yang memilih mendirikan gubuk-gubuk di daerah kumuh atau tempat pembuangan sampah. Layakkah disebut miskin?
Yang tidak punya handphone, tidak pernah makan pizza, tidak tahu rasanya ayam crispy merk terkenal, yang tak pernah tahu jenis makanan terdaftar di restoran karena nama dan bentuknya sangat asing, tidak pernah ke bioskop, bahkan tidak punya televisi di rumah mereka, ini yang dibilang miskin?
Orang-orang yang tak memiliki satu jenis pun kendaraan meski hanya sebatang sepeda, yang setiap hari mengukur jalan terpanggang matahari, tak pernah merasakan sejuknya pengatur udara (air conditioner) di dalam mobil, yang celingak-celinguk jika masuk ke gedung bertingkat atau hotel, yang cuma bisa bengong di dalam Mall atau pusat perbelanjaan karena mereka hanya bisa bermimpi memiliki barang-barang yang terpajang di etalase, yang seperti inikah miskin itu?
***
Bukan. Sepanjang mereka tak merasa miskin, selama mereka selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, semasa rasa syukur selalu menjadi kekuatan utama dalam menjalani kehidupan, dan menjadikan Allah satu-satunya tempat bergantung dan meminta, mereka adalah orang-orang kaya.
Tidak. Selagi mereka tak cepat putus asa, tak selalu mengeluh dan menangisi nasib, tak mengemis dan selalu berharap belas kasihan dari orang lain, tak menjadikan dirinya beban bagi orang lain, mereka justru sangat kaya.
Miskin sebenarnya, mereka yang tak bersyukur atas setiap nikmat yang didapatinya, yang tak pernah merasa cukup dan selalu ingin hidup berlebih. Teramat banyak, mereka yang terlihat berlimpah harta tetapi sesungguhnya jauh lebih miskin dari orang-orang yang sering disebut miskin. (gaw)
http://warnaislam.com
Orang-orang yang tak memiliki cukup makanan untuk disantap setiap hari, yang kebingungan setelah sarapan pagi siang nanti tidak tahu harus makan apa, atau mereka yang tidak yakin apakah esok hari masih ada makanan untuk disantap. Orang-orang yang hanya bertemu makanan satu kali dalam sehari, atau mereka yang terpaksa berpuasa berhari-hari karena tidak ada uang untuk membeli sedikit makanan. Inikah yang disebut miskin?
Anak-anak yatim dan terlantar di banyak panti asuhan, atau anak-anak yang berkeliaran di jalanan mencari makan di usia mereka yang masih belia. Para pengamen jalanan, tukang koran, tukang semir sepatu, pedagang asongan, yang penghasilan mereka lebih kecil dari uang jajan anak-anak di sekolah elit dan terpadu. Miskinkah mereka?
Tukang gali, buruh bangunan, buruh angkut di pasar, penyapu jalanan, pengais dan tukang angkut sampah, tukang becak, tukang ojeg, supir angkot, kondektur bis, serta semua pekerja kasar lainnya, benarkah mereka komunitas orang-orang miskin?
Anak-anak penderita gizi buruk, orang-orang yang sakit bertahun-tahun tak kunjung sembuh karena tak pernah bisa membeli obat, orang-orang yang memiliki banyak hutang dan tak sanggup membayarnya meski harus menyicil, mereka yang kerap mengantri pembagian jatah sembako, atau warga yang masuk dalam daftar penerima dana bantuan langsung tunai (BLT), miskin sesungguhnya?
Sebuah keluarga yang puluhan tahun berpindah-pindah kontrakan lantaran terlalu sering diusir pemilik kontrakan karena tak sanggup membayar, keluarga lainnya yang bahkan untuk mengontrak pun tak sanggup, atau mereka yang memilih mendirikan gubuk-gubuk di daerah kumuh atau tempat pembuangan sampah. Layakkah disebut miskin?
Yang tidak punya handphone, tidak pernah makan pizza, tidak tahu rasanya ayam crispy merk terkenal, yang tak pernah tahu jenis makanan terdaftar di restoran karena nama dan bentuknya sangat asing, tidak pernah ke bioskop, bahkan tidak punya televisi di rumah mereka, ini yang dibilang miskin?
Orang-orang yang tak memiliki satu jenis pun kendaraan meski hanya sebatang sepeda, yang setiap hari mengukur jalan terpanggang matahari, tak pernah merasakan sejuknya pengatur udara (air conditioner) di dalam mobil, yang celingak-celinguk jika masuk ke gedung bertingkat atau hotel, yang cuma bisa bengong di dalam Mall atau pusat perbelanjaan karena mereka hanya bisa bermimpi memiliki barang-barang yang terpajang di etalase, yang seperti inikah miskin itu?
***
Bukan. Sepanjang mereka tak merasa miskin, selama mereka selalu merasa cukup dengan apa yang dimiliki, semasa rasa syukur selalu menjadi kekuatan utama dalam menjalani kehidupan, dan menjadikan Allah satu-satunya tempat bergantung dan meminta, mereka adalah orang-orang kaya.
Tidak. Selagi mereka tak cepat putus asa, tak selalu mengeluh dan menangisi nasib, tak mengemis dan selalu berharap belas kasihan dari orang lain, tak menjadikan dirinya beban bagi orang lain, mereka justru sangat kaya.
Miskin sebenarnya, mereka yang tak bersyukur atas setiap nikmat yang didapatinya, yang tak pernah merasa cukup dan selalu ingin hidup berlebih. Teramat banyak, mereka yang terlihat berlimpah harta tetapi sesungguhnya jauh lebih miskin dari orang-orang yang sering disebut miskin. (gaw)
http://warnaislam.com
Gawat! Saya Nggak Bisa Nulis Lagi
Sudah berjam-jam saya berhadapan dengan notebook, memelototi layarnya dengan posisi jari-jari siap menekan tuts keyboard. Satu judul coba diketik, kemudian dihapus lagi. Ketik lagi delete lagi, terus begitu. Saya seperti kehilangan akal untuk mulai menulis, layaknya orang yang tidak pernah menulis sama sekali.
Ide-ide yang biasanya berseliweran, bahkan mengejar-ngejar untuk segera ditulis, kali ini entah terbang kemana. Tak satupun yang mampir, dicari-cari juga tidak ketemu. Saya coba sedikit memaksa menemukan ide, tetapi tak satupun nampak batang hidungnya si ide itu. Nah, cara pamungkas pun harus dilakukan, yakni mampir dan merenung di toilet! Namun hasilnya tetap nihil, perut sudah kosong, ide tetap saja tak muncul.
Kembali ke notebook, mencoba mengetik apa saja. Hasilnya adalah barisan kata-kata dan kalimat tanpa makna. Ini aneh, sungguh aneh. Sangat tidak biasa. Biasanya saya hanya perlu waktu kurang dari dua puluh menit untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Kadang hanya sepuluh menit, satu karya selesai ditulis. Tetapi ini sudah tiga jam lebih! Belum satupun tulisan selesai dibuat.
Haruskah saya menggebrak-gebrak notebook? Tentu saja tidak. Sebab masalahnya bukan pada perangkat yang setia menemani hari-hari saya itu. Melainkan pada otak ini yang sepertinya belum mau bekerja.
Buntu, otak ini seperti tidak bisa diajak berpikir sama sekali. Saya bahkan tidak tahu mau menulis apa, bahkan juga tidak tahu kenapa tiba-tiba mengambil notebook. Begitu sudah berhadapan dengan layar notebook, malah tidak tahu harus menulis apa. Padahal rasanya otak ini sudah penuh dan harus ditumpahkan ke dalam tulisan, tetapi kenapa setiap kali dicoba untuk menumpahkannya hanya sedikit yang keluar.
“Hey….” saya berteriak kepada otak sendiri, agar mau sedikit mencair dari kebekuan. Beberapa detik kemudian, kepala ini pun saya pukul-pukul sendiri agar ide-ide berjatuhan, kemudian saya punguti satu persatu untuk ditulis. Sudah pusing kepala ini dikeplak-keplak, dan nyaris saya hantamkan kepala ke dinding, namun saya urungkan. Saya sadar, ada yang tidak beres dengan diri ini, otak ini, hati ini sehingga tidak satupun tulisan bisa dihasilkan pagi ini.
Saya berdiri, mencoba cari udara segar di luar. Kembali lagi, melihat layar notebook yang masih kosong melompong. Keluar lagi, kali ini bukan cuma udara segar yang dicari, siapa tahu ide-ide yang biasanya dekat sedang bermain di luar dan tidak tahu jalan pulang. Ternyata, di luar juga tidak ada ide. Ujung-ujungnya, saya pun bengong di depan pintu menunggu ide. “Siapa tahu ada ide orang nyasar ke sini, salah alamat…”
Disaat bengong dan melamun tidak karuan, isteri saya menegur, “daripada bengong begitu, mending sholat dhuha bi…”
***
Air wudhu mencairkan kebekuan otak ini. Sholat dhuha bisa melunturkan dosa-dosa pagi, kalimat takbir membuka cakrawala, sujud panjang di pagi hari mencerahkan pikiran.
Bodoh sekali saya, saking buntunya kenapa sampai lupa sholat dhuha? Sumpah, habis sholat dhuha, beberapa tulisan pun berhasil saya buat hanya dalam waktu satu jam saja. Produktivitas dan kreativitas meningkat usai sholat dhuha. Buktikan sendiri! (gaw)
Ide-ide yang biasanya berseliweran, bahkan mengejar-ngejar untuk segera ditulis, kali ini entah terbang kemana. Tak satupun yang mampir, dicari-cari juga tidak ketemu. Saya coba sedikit memaksa menemukan ide, tetapi tak satupun nampak batang hidungnya si ide itu. Nah, cara pamungkas pun harus dilakukan, yakni mampir dan merenung di toilet! Namun hasilnya tetap nihil, perut sudah kosong, ide tetap saja tak muncul.
Kembali ke notebook, mencoba mengetik apa saja. Hasilnya adalah barisan kata-kata dan kalimat tanpa makna. Ini aneh, sungguh aneh. Sangat tidak biasa. Biasanya saya hanya perlu waktu kurang dari dua puluh menit untuk menyelesaikan sebuah tulisan. Kadang hanya sepuluh menit, satu karya selesai ditulis. Tetapi ini sudah tiga jam lebih! Belum satupun tulisan selesai dibuat.
Haruskah saya menggebrak-gebrak notebook? Tentu saja tidak. Sebab masalahnya bukan pada perangkat yang setia menemani hari-hari saya itu. Melainkan pada otak ini yang sepertinya belum mau bekerja.
Buntu, otak ini seperti tidak bisa diajak berpikir sama sekali. Saya bahkan tidak tahu mau menulis apa, bahkan juga tidak tahu kenapa tiba-tiba mengambil notebook. Begitu sudah berhadapan dengan layar notebook, malah tidak tahu harus menulis apa. Padahal rasanya otak ini sudah penuh dan harus ditumpahkan ke dalam tulisan, tetapi kenapa setiap kali dicoba untuk menumpahkannya hanya sedikit yang keluar.
“Hey….” saya berteriak kepada otak sendiri, agar mau sedikit mencair dari kebekuan. Beberapa detik kemudian, kepala ini pun saya pukul-pukul sendiri agar ide-ide berjatuhan, kemudian saya punguti satu persatu untuk ditulis. Sudah pusing kepala ini dikeplak-keplak, dan nyaris saya hantamkan kepala ke dinding, namun saya urungkan. Saya sadar, ada yang tidak beres dengan diri ini, otak ini, hati ini sehingga tidak satupun tulisan bisa dihasilkan pagi ini.
Saya berdiri, mencoba cari udara segar di luar. Kembali lagi, melihat layar notebook yang masih kosong melompong. Keluar lagi, kali ini bukan cuma udara segar yang dicari, siapa tahu ide-ide yang biasanya dekat sedang bermain di luar dan tidak tahu jalan pulang. Ternyata, di luar juga tidak ada ide. Ujung-ujungnya, saya pun bengong di depan pintu menunggu ide. “Siapa tahu ada ide orang nyasar ke sini, salah alamat…”
Disaat bengong dan melamun tidak karuan, isteri saya menegur, “daripada bengong begitu, mending sholat dhuha bi…”
***
Air wudhu mencairkan kebekuan otak ini. Sholat dhuha bisa melunturkan dosa-dosa pagi, kalimat takbir membuka cakrawala, sujud panjang di pagi hari mencerahkan pikiran.
Bodoh sekali saya, saking buntunya kenapa sampai lupa sholat dhuha? Sumpah, habis sholat dhuha, beberapa tulisan pun berhasil saya buat hanya dalam waktu satu jam saja. Produktivitas dan kreativitas meningkat usai sholat dhuha. Buktikan sendiri! (gaw)
RI-1 Mau Datang ke Rumah Saya!
Suara dering telepon selular mengagetkan saya di pagi hari,
“Benar saya berbicara dengan bapak … ?” suara di seberang telepon menyebut nama saya. Saya pun mengiyakan tanpa basa-basi.
Kemudian, suara yang terdengar tegas itu mengaku mengatasnamakan Bapak RI-1, alias presiden negeri ini dan menjelaskan bahwa atasannya itu hendak berkunjung ke rumah saya.
“Bapak becanda kali… mana mungkin presiden mau ke rumah saya? Lagi pula beliau kan tidak kenal saya dan ada urusan apa orang penting seperti beliau ke rumah saya,” kata saya.
“Tidak perlu banyak cakap pak, sebutkan alamat lengkap bapak, kami akan datang sore ini juga, Presiden mau berbuka puasa bersama Anda…” suaranya makin tegas, mungkin ia mantan tentara, oh, atau malah masih aktif.
Orang sepenting RI-1 mau ke rumah saya? Ahh, saya tidak percaya, ini pasti orang mau menipu saya. Maka saya pun mencoba melakukan verifikasi, seperti halnya saya ketika ditelepon pihak bank.
“Maaf, boleh sebutkan tanggal lahir bapak presiden? Nama ibu kandung beliau? Alamat lengkapnya?”
“Anda menghina saya? Tidak hormat pada presiden?” gertaknya. Nampaknya ia mulai tidak sabar berhadapan dengan saya.
“Ya kalau Anda memang mengatasnamakan bapak presiden, jawab saja pertanyaan saya, Anda pasti tahu kan? Ini sekadar meyakinkan saya bahwa Anda tidak hendak menipu saya,” jawab saya lagi tak mau kalah. Sebenarnya, kalau dia mau menipu, apa sih yang diharapkan dari saya? Toh saya tidak punya apa-apa…
Tiba-tiba, “Assalaamu’alaikum…” suara yang berbeda dari sebelumnya. Namun kali ini, saya rasa mengenal suaranya. Sangat tidak asing karena kerap saya dengar di televisi. Masya Allah…!!! Nyaris tertahan nafas saya, sementara dada ini berdegup kencang sekali.
Suara itu… ya, suara RI-1. Rupanya orang tadi benar dan tidak hendak menipu saya. Mungkin Pak Presiden tidak sabar dan mau berbicara langsung dengan saya. Eh, tapi… bukannya banyak pelawak yang bisa menirukan suara beliau?
“Ini benar bapak presiden? Coba sebutkan tanggal lahir Anda, nama ibu kandung dan alamat lengkap…” verifikasi lagi.
Sebenarnya, kalau dia sebutkan pun saya juga tidak tahu apa-apa soal data itu, selain alamat lengkapnya. tetapi intinya, saya percaya ini benar dan semakin membuat dada saya berdegup. Mau apa? Memangnya beliau kenal saya? Siapa saya? Sudah bikin dosa apa saya, sehingga orang nomor satu negeri ini mau ke rumah saya?
Langsung saya panggil isteri saya, tanya di rumah ada persediaan makan apa. “Beras sih ada, sama tempe sisa kemarin…” jawab isteri saya.
Panik saya. langsung saya perintahkan –biasanya minta tolong- isteri untuk belanja semua makanan yang lezat, daging, sayuran terbaik, dan jangan lupa buah-buahan yang beraneka ragam. Tentu kepanikan saya membuat isteri bingung, “Siapa yang mau datang sih? Kok segitu repotnya?”
“Presiden!” jawab saya singkat.
“Becanda ah…”tuh kan, isteri saya saja tidak percaya, saya juga sebenarnya.
“Buat beli segala macam tadi, uangnya mana?” isteri saya masih bingung, masalahnya memang tidak ada cukup uang untuk beli semua keperluan tadi. Saya pun terduduk lemas, tidak tahu harus mencari pinjaman dari mana untuk menyambut tamu mulia sore nanti.
Yang mau datang ini orang terhormat, mulia dan disegani. Maka menyambutnya pun tidak boleh asal dan sembarangan. Saya harus membersihkan rumah, tidak boleh ada setitik debu pun menempel di lantai. Dinding harus bersih dari coretan, sudut-sudut ruangan jangan ada ramat-ramat. Kamar mandi harus disikat dan wangi, biar Presiden nyaman berlama-lama di kamar mandi saya.
Bagaimana kalau beliau mau menginap? Wah, ganti seprei, bantal guling beli yang baru kalau perlu. Kasur pun harus dijemur dulu, biar empuk dan hangat saat dipakai.
Seluruh isi rumah jadi kelabakan, sampai anak-anak saya pun ikut sibuk membantu bersih-bersih, setidaknya kamar mereka sendiri. Karena kamar di rumah kami hanya dua, berarti malam nanti saya dan isteri harus tidur berdesak-desakan bersama anak-anak. Tidak apa-apa, yang penting presiden merasa nyaman selama berada di rumah saya.
***
Untungnya …
Cerita di atas tadi tidak sungguh-sungguh terjadi. Tetapi kalau benar-benar terjadi, benarkah saya sepanik itu memersiapkan kedatangan seorang pemimpin Negara? Seperti itulah kiranya saya memuliakan seseorang yang dianggap terhormat.
Bagaimana jika telepon saya berbunyi dan suara di seberang berkata, “Pak, nanti sore ada beberapa anak yatim akan datang ke rumah untuk berbuka puasa…”
Sepanik itukah saya? serepot ketika hendak menyambut presiden kah saya? apakah saya akan menyiapkan semua yang terbaik untuk anak-anak yatim? Bahkan rela meminjam uang dari tetangga untuk membeli makanan?
Bukankah kita diperintahkan memuliakan anak yatim? Bukan sekadar menyayangi atau mencintai. Jika saya sebegitu sibuk saat hendak menyambut presiden, bagaimana sikap saya menyambut tamu mulia anak-anak yatim?
Astaghfirullaah… (gaw)
“Benar saya berbicara dengan bapak … ?” suara di seberang telepon menyebut nama saya. Saya pun mengiyakan tanpa basa-basi.
Kemudian, suara yang terdengar tegas itu mengaku mengatasnamakan Bapak RI-1, alias presiden negeri ini dan menjelaskan bahwa atasannya itu hendak berkunjung ke rumah saya.
“Bapak becanda kali… mana mungkin presiden mau ke rumah saya? Lagi pula beliau kan tidak kenal saya dan ada urusan apa orang penting seperti beliau ke rumah saya,” kata saya.
“Tidak perlu banyak cakap pak, sebutkan alamat lengkap bapak, kami akan datang sore ini juga, Presiden mau berbuka puasa bersama Anda…” suaranya makin tegas, mungkin ia mantan tentara, oh, atau malah masih aktif.
Orang sepenting RI-1 mau ke rumah saya? Ahh, saya tidak percaya, ini pasti orang mau menipu saya. Maka saya pun mencoba melakukan verifikasi, seperti halnya saya ketika ditelepon pihak bank.
“Maaf, boleh sebutkan tanggal lahir bapak presiden? Nama ibu kandung beliau? Alamat lengkapnya?”
“Anda menghina saya? Tidak hormat pada presiden?” gertaknya. Nampaknya ia mulai tidak sabar berhadapan dengan saya.
“Ya kalau Anda memang mengatasnamakan bapak presiden, jawab saja pertanyaan saya, Anda pasti tahu kan? Ini sekadar meyakinkan saya bahwa Anda tidak hendak menipu saya,” jawab saya lagi tak mau kalah. Sebenarnya, kalau dia mau menipu, apa sih yang diharapkan dari saya? Toh saya tidak punya apa-apa…
Tiba-tiba, “Assalaamu’alaikum…” suara yang berbeda dari sebelumnya. Namun kali ini, saya rasa mengenal suaranya. Sangat tidak asing karena kerap saya dengar di televisi. Masya Allah…!!! Nyaris tertahan nafas saya, sementara dada ini berdegup kencang sekali.
Suara itu… ya, suara RI-1. Rupanya orang tadi benar dan tidak hendak menipu saya. Mungkin Pak Presiden tidak sabar dan mau berbicara langsung dengan saya. Eh, tapi… bukannya banyak pelawak yang bisa menirukan suara beliau?
“Ini benar bapak presiden? Coba sebutkan tanggal lahir Anda, nama ibu kandung dan alamat lengkap…” verifikasi lagi.
Sebenarnya, kalau dia sebutkan pun saya juga tidak tahu apa-apa soal data itu, selain alamat lengkapnya. tetapi intinya, saya percaya ini benar dan semakin membuat dada saya berdegup. Mau apa? Memangnya beliau kenal saya? Siapa saya? Sudah bikin dosa apa saya, sehingga orang nomor satu negeri ini mau ke rumah saya?
Langsung saya panggil isteri saya, tanya di rumah ada persediaan makan apa. “Beras sih ada, sama tempe sisa kemarin…” jawab isteri saya.
Panik saya. langsung saya perintahkan –biasanya minta tolong- isteri untuk belanja semua makanan yang lezat, daging, sayuran terbaik, dan jangan lupa buah-buahan yang beraneka ragam. Tentu kepanikan saya membuat isteri bingung, “Siapa yang mau datang sih? Kok segitu repotnya?”
“Presiden!” jawab saya singkat.
“Becanda ah…”tuh kan, isteri saya saja tidak percaya, saya juga sebenarnya.
“Buat beli segala macam tadi, uangnya mana?” isteri saya masih bingung, masalahnya memang tidak ada cukup uang untuk beli semua keperluan tadi. Saya pun terduduk lemas, tidak tahu harus mencari pinjaman dari mana untuk menyambut tamu mulia sore nanti.
Yang mau datang ini orang terhormat, mulia dan disegani. Maka menyambutnya pun tidak boleh asal dan sembarangan. Saya harus membersihkan rumah, tidak boleh ada setitik debu pun menempel di lantai. Dinding harus bersih dari coretan, sudut-sudut ruangan jangan ada ramat-ramat. Kamar mandi harus disikat dan wangi, biar Presiden nyaman berlama-lama di kamar mandi saya.
Bagaimana kalau beliau mau menginap? Wah, ganti seprei, bantal guling beli yang baru kalau perlu. Kasur pun harus dijemur dulu, biar empuk dan hangat saat dipakai.
Seluruh isi rumah jadi kelabakan, sampai anak-anak saya pun ikut sibuk membantu bersih-bersih, setidaknya kamar mereka sendiri. Karena kamar di rumah kami hanya dua, berarti malam nanti saya dan isteri harus tidur berdesak-desakan bersama anak-anak. Tidak apa-apa, yang penting presiden merasa nyaman selama berada di rumah saya.
***
Untungnya …
Cerita di atas tadi tidak sungguh-sungguh terjadi. Tetapi kalau benar-benar terjadi, benarkah saya sepanik itu memersiapkan kedatangan seorang pemimpin Negara? Seperti itulah kiranya saya memuliakan seseorang yang dianggap terhormat.
Bagaimana jika telepon saya berbunyi dan suara di seberang berkata, “Pak, nanti sore ada beberapa anak yatim akan datang ke rumah untuk berbuka puasa…”
Sepanik itukah saya? serepot ketika hendak menyambut presiden kah saya? apakah saya akan menyiapkan semua yang terbaik untuk anak-anak yatim? Bahkan rela meminjam uang dari tetangga untuk membeli makanan?
Bukankah kita diperintahkan memuliakan anak yatim? Bukan sekadar menyayangi atau mencintai. Jika saya sebegitu sibuk saat hendak menyambut presiden, bagaimana sikap saya menyambut tamu mulia anak-anak yatim?
Astaghfirullaah… (gaw)
Lebih Baik (Tak) Sendiri
Hal paling menakutkan dalam hidup adalah berada dalam kesendirian, dan kesulitan terbesar dalam hidup yakni ketika kita tak memiliki seseorang pun untuk berbagi.
***
Waktu kecil, saya paling takut dengan anjing. Saya lebih memilih berputar arah dan rela mencari jalan yang lebih jauh ketimbang melintasi rumah yang ada anjingnya. Mungkin karena saya pernah melihat langsung teman saya, Kun, digigit anjing sampai menangis. Tak hanya itu, saya sendiri pernah dikejar anjing, berlari sekencang-kencangnya sambil menangis, berteriak minta tolong.
Perasaan trauma itu yang terus menghantui, sehingga setiap kali berpapasan dengan anjing saya langsung gemetar. Biasanya, saya tunggu sampai anjing itu menyingkir atau saya menunggu orang dewasa atau anak lain yang tidak takut anjing yang hendak melintasi jalan yang sama.
Kadang, saya berdua dengan teman sepermainan melewati jalan yang sama. Kami sama-sama takut kepada hewan itu. Ketika menyalak, bulu kuduk pun berdiri. Tapi karena berdua, perasaan takutnya sedikit berkurang dibanding saat sendiri. Setidaknya kami bisa bilang, “Sama-sama lari, kalau pun digigit ya sama-sama digigit”. Meskipun hukum yang berlaku berkata lain, “siapa cepat dia selamat!”
Sama halnya ketika di malam hari saya bertemu atau melintasi rumah yang dianggap angker, ada hantunya. Beberapa meter sebelum rumah tersebut, saya sudah berancang-ancang mengambil langkah seribu. Tetapi kalau berdua, jangankan melintas, kadang kami berani menyambangi rumah angker itu. Meski sebenarnya sama-sama takut, tetapi jika ada yang menemani perasaan itu bisa berkurang.
Dalam kesedihan pun demikian. Menjalani lara sendiri, seolah sepanjang hari berwarna kelabu. Tetapi ketika kita menemukan seseorang yang mau menyediakan bahunya untuk bersandar, terbagilah kesedihan itu. Saat menangis, ada yang mengusap bulir air mata kita dengan jemari atau punggung tangannya. Bulir-bulir air mata yang jatuh sebelumnya, seketika berubah menjadi bunga berwarna-warni yang membuat hidup begitu indah.
Tak hanya perasaan takut dan sedih, sebaliknya di waktu-waktu bahagia pun kita memilih tak sendiri. Merayakan hari kelahiran, sebagian kita kerap menunggu orang-orang tercinta mengirim pesan singkat atau menelepon sekadar berucap, “Selamat ulang tahun…”
Bayangkan, kalau sampai tengah hari belum satupun yang kirim ucapan selamat? Belum ada doa dari suami, isteri, anak-anak, orang tua, kakak, adik, sahabat, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Kemana semua orang?” atau “Lupa hari ini saya ulang tahun?”
Ketika seseorang merasa senang, mungkin karena mendapat hadiah kejutan, rezeki yang tak disangka-sangka, dilamar calon suami, naik pangkat, naik gaji, punya mobil baru, memenangkan pertandingan, misalnya. Ia akan mencari orang lain untuk meluapkan kegembiraannya. Ia memerlukan seseorang yang mau ikut berteriak histeris merayakan kesenangannya itu.
Andai tak seorang pun peduli dengan kegembiraan Anda itu. Misalkan tak satupun menanggapi atau menyadari betapa hari itu Anda tengah berbahagia, membiarkan Anda senyum-senyum atau berteriak kegirangan sendirian, ada sesuatu yang kurang dalam kebahagiaan itu.
Ya, kita selalu memerlukan orang lain baik dalam keadaan takut, sedih, maupun bahagia. Seseorang yang mau berlari bersama dalam ketakutan, menggigil bersama dalam kedinginan, menangis bersama dalam kesedihan, juga tertawa bersama merayakan kemenangan dan kebahagiaan.
Sobat, jika pun Anda tak sendirian menjalani kehidupan, mungkin sahabat Anda tidak demikian. Sapalah sahabat yang sudah lama tak disapa, temuilah mereka sekarang juga, mungkin ia tengah sendiri menjalani segala rasanya. Katakan kepadanya, “Sobat, saya ada untukmu”. (gaw)
***
Waktu kecil, saya paling takut dengan anjing. Saya lebih memilih berputar arah dan rela mencari jalan yang lebih jauh ketimbang melintasi rumah yang ada anjingnya. Mungkin karena saya pernah melihat langsung teman saya, Kun, digigit anjing sampai menangis. Tak hanya itu, saya sendiri pernah dikejar anjing, berlari sekencang-kencangnya sambil menangis, berteriak minta tolong.
Perasaan trauma itu yang terus menghantui, sehingga setiap kali berpapasan dengan anjing saya langsung gemetar. Biasanya, saya tunggu sampai anjing itu menyingkir atau saya menunggu orang dewasa atau anak lain yang tidak takut anjing yang hendak melintasi jalan yang sama.
Kadang, saya berdua dengan teman sepermainan melewati jalan yang sama. Kami sama-sama takut kepada hewan itu. Ketika menyalak, bulu kuduk pun berdiri. Tapi karena berdua, perasaan takutnya sedikit berkurang dibanding saat sendiri. Setidaknya kami bisa bilang, “Sama-sama lari, kalau pun digigit ya sama-sama digigit”. Meskipun hukum yang berlaku berkata lain, “siapa cepat dia selamat!”
Sama halnya ketika di malam hari saya bertemu atau melintasi rumah yang dianggap angker, ada hantunya. Beberapa meter sebelum rumah tersebut, saya sudah berancang-ancang mengambil langkah seribu. Tetapi kalau berdua, jangankan melintas, kadang kami berani menyambangi rumah angker itu. Meski sebenarnya sama-sama takut, tetapi jika ada yang menemani perasaan itu bisa berkurang.
Dalam kesedihan pun demikian. Menjalani lara sendiri, seolah sepanjang hari berwarna kelabu. Tetapi ketika kita menemukan seseorang yang mau menyediakan bahunya untuk bersandar, terbagilah kesedihan itu. Saat menangis, ada yang mengusap bulir air mata kita dengan jemari atau punggung tangannya. Bulir-bulir air mata yang jatuh sebelumnya, seketika berubah menjadi bunga berwarna-warni yang membuat hidup begitu indah.
Tak hanya perasaan takut dan sedih, sebaliknya di waktu-waktu bahagia pun kita memilih tak sendiri. Merayakan hari kelahiran, sebagian kita kerap menunggu orang-orang tercinta mengirim pesan singkat atau menelepon sekadar berucap, “Selamat ulang tahun…”
Bayangkan, kalau sampai tengah hari belum satupun yang kirim ucapan selamat? Belum ada doa dari suami, isteri, anak-anak, orang tua, kakak, adik, sahabat, mungkin kita akan bertanya-tanya, “Kemana semua orang?” atau “Lupa hari ini saya ulang tahun?”
Ketika seseorang merasa senang, mungkin karena mendapat hadiah kejutan, rezeki yang tak disangka-sangka, dilamar calon suami, naik pangkat, naik gaji, punya mobil baru, memenangkan pertandingan, misalnya. Ia akan mencari orang lain untuk meluapkan kegembiraannya. Ia memerlukan seseorang yang mau ikut berteriak histeris merayakan kesenangannya itu.
Andai tak seorang pun peduli dengan kegembiraan Anda itu. Misalkan tak satupun menanggapi atau menyadari betapa hari itu Anda tengah berbahagia, membiarkan Anda senyum-senyum atau berteriak kegirangan sendirian, ada sesuatu yang kurang dalam kebahagiaan itu.
Ya, kita selalu memerlukan orang lain baik dalam keadaan takut, sedih, maupun bahagia. Seseorang yang mau berlari bersama dalam ketakutan, menggigil bersama dalam kedinginan, menangis bersama dalam kesedihan, juga tertawa bersama merayakan kemenangan dan kebahagiaan.
Sobat, jika pun Anda tak sendirian menjalani kehidupan, mungkin sahabat Anda tidak demikian. Sapalah sahabat yang sudah lama tak disapa, temuilah mereka sekarang juga, mungkin ia tengah sendiri menjalani segala rasanya. Katakan kepadanya, “Sobat, saya ada untukmu”. (gaw)
Subscribe to:
Posts (Atom)