Sungguh sebuah keputusan tersulit dalam hidup. Dan saya bisa membaca reaksi sebagian sahabat ketika saya memberi tahu keputusan ini, "kenapa? kerja sosial dan kemanusiaan itu kan sudah melekat dalam jiwamu?"
Beberapa sahabat -saya cenderung menganggapnya saudara- di ACT pun mencoba merajuk, meminta saya melakukan istikharah, atau bahkan memberi saya waktu cuti untuk berlibur, agar setelah liburan nanti pikiran jernih dan mampu mengambil keputusan yang terbaik. "Mungkin Anda sedang stress, banyak pikiran, atau jenuh. Berliburlah, mungkin akan membantu memberikan keputusan yang lebih baik".
"Atau ada masalah dengan lembaga ini?" Oh, inilah pertanyaan terbanyak yang datang bertubi-tubi hingga detik ini. Puluhan pesan singkat isinya tak jauh dari kalimat tersebut. Inilah saat saya kembali menegaskan, tak ada masalah apapun yang terjadi antara saya dengan lembaga ini, juga antara saya dengan person-person di lembaga ini. Mereka semua saudara saya, saya mencintainya. Dalam persaudaraan, friksi pasti terjadi. Tetapi hal itu tidak akan pernah menjadi alasan untuk membuat keputusan besar ini. Coba bayangkan, sepasang suami isteri pun kerap bertengkar, namun bukan berarti harus bercerai kan?
Lalu kenapa resign?
Jawabannya; saya harus mengembangkan program SOL (School of Life) yang saya gagas dari hasil pikiran saya sendiri. Saya sudah mengkomunikasikannya dengan beberapa sahabat yang antusias mendukung program ini dan melihat potensi yang besar dari program ini.
Saudara dan sahabat, bantu saya dengan doa. Maaf, sekali lagi maaf, saya memang harus memilih jalan ini. Dan yang pasti, saya tetap menjadi relawan ACT
Wassalaam
Gaw
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Monday, June 23, 2008
Friday, June 06, 2008
Sudah Bisa Hidup Tenang?
“Tenang sudah hidup saya…” ia menghela nafasnya panjang seakan itu tarikan terakhirnya. Puas sekali, bukan, sangat puas bahkan yang tergambar di wajahnya. Binar matanya menyiratkan kebahagiaan hidup yang dijalaninya selama bertahun-tahun.
Ia memiliki isteri yang cantik, yang menjadi perantaran kelahiran seorang putri jelita serta tiga ksatria kecilnya. Rumah besar, berhalaman dan latar belakang yang luas. Kolam renang yang menyegarkan di kelilingi taman bunga yang indah menenteramkan pandangan. Bekerja dengan penghasilan yang takkan pernah habis hingga tanggal gajian berikutnya tiba, mobil mewah, serta beragam kenikmatan dunia lainnya yang tak dimiliki separuh lebih penduduk bumi ini.
“Apa yang membuat Anda tenang?” saya memberanikan diri bertanya kepadanya.
“Saya sudah mengasuransikan diri dan keluarga. Jika saya atau isteri dan anak-anak sakit, tidak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit. Berapa pun, akan ditanggung oleh asuransi,” jelasnya.
“Itu saja?”
“Oo tidak! Bahkan saya sudah mengasuransikan rumah, mobil dan seluruh harta yang saya miliki. Sehingga kalau pun rumah kebakaran, mobil hilang, saya tidak akan merasa sedih…”
“Apa lagi… ?”
“Tentu saja saya memiliki asuransi pendidikan untuk anak-anak sampai mereka meraih gelar doktor. Selain itu, terpenting dari semuanya, asuransi jiwa terbaik pun sudah saya pilih. Jika saya meninggal nanti, isteri dan anak-anak akan mendapatkan dana asuransi hingga setengah milyar. Lebih dari cukup, sekadar menambah tabungan yang ada saat ini… indah bukan?”
Saya mengangguk. Mencoba memahami makna ketenangan hidup yang dinikmatinya. Sejurus kemudian, “Ada satu lagi asuransi yang belum Anda miliki…”
Ia tertegun. Dahinya mengerut, menerka-nerka apa yang saya pikirkan. Namun ia tak berhasil. Karena menurutnya, segala jenis program asuransi sudah dimilikinya.
“Ini program asuransi yang baru. Belum ada di perusahaan asuransi manapun,” saya membuatnya penasaran.
“Coba bandingkan, apakah asuransi jiwa yang Anda miliki bisa dinikmati sendiri setelah kematian Anda? Ya, Anda sendiri yang menikmatinya, bukan ahli waris Anda. Apakah asuransi Anda memberi kesempatan perlindungan di akhirat nanti?” ia semakin bingung.
“Bagaimana mungkin saya yang sudah mati bisa menikmatinya? Program asuransi macam apa itu? Bank mana yang mengeluarkan program itu? Berapa preminya per bulan?” sederet pertanyaan pun mengalir.
Nalarnya memang takkan pernah sampai. Memang belum pernah ada sebelumnya asuransi yang bisa dinikmati sendiri oleh si pemegang polis setelah kematiannya. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati bisa menikmati klaim asuransi?
***
Yang dimaksud di sini memang bukan asuransi biasa. Premi yang dibayarkan berupa amal shaleh, dan ilmu yang terus dibagi kepada siapapun. Membuat Allah tersenyum, adalah asuransi dahsyat yang tanpa kita klaim pun, hasilnya boleh kita nikmati sesudah kematian menjemput.
Satu hal lagi bentuk investasi yang sangat menguntungkan dunia akhirat, yakni jika memiliki anak, bimbinglah agar tetap shaleh hingga dewasa, ia akan meringankan beban orang tuanya dengan doa yang tak henti dipintanya. Tahukah Anda, anak-anak itu senantiasa berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil”. Indah bukan?
Tertarik? Mulailah detik ini juga! (Gaw)
Ia memiliki isteri yang cantik, yang menjadi perantaran kelahiran seorang putri jelita serta tiga ksatria kecilnya. Rumah besar, berhalaman dan latar belakang yang luas. Kolam renang yang menyegarkan di kelilingi taman bunga yang indah menenteramkan pandangan. Bekerja dengan penghasilan yang takkan pernah habis hingga tanggal gajian berikutnya tiba, mobil mewah, serta beragam kenikmatan dunia lainnya yang tak dimiliki separuh lebih penduduk bumi ini.
“Apa yang membuat Anda tenang?” saya memberanikan diri bertanya kepadanya.
“Saya sudah mengasuransikan diri dan keluarga. Jika saya atau isteri dan anak-anak sakit, tidak perlu pusing memikirkan biaya rumah sakit. Berapa pun, akan ditanggung oleh asuransi,” jelasnya.
“Itu saja?”
“Oo tidak! Bahkan saya sudah mengasuransikan rumah, mobil dan seluruh harta yang saya miliki. Sehingga kalau pun rumah kebakaran, mobil hilang, saya tidak akan merasa sedih…”
“Apa lagi… ?”
“Tentu saja saya memiliki asuransi pendidikan untuk anak-anak sampai mereka meraih gelar doktor. Selain itu, terpenting dari semuanya, asuransi jiwa terbaik pun sudah saya pilih. Jika saya meninggal nanti, isteri dan anak-anak akan mendapatkan dana asuransi hingga setengah milyar. Lebih dari cukup, sekadar menambah tabungan yang ada saat ini… indah bukan?”
Saya mengangguk. Mencoba memahami makna ketenangan hidup yang dinikmatinya. Sejurus kemudian, “Ada satu lagi asuransi yang belum Anda miliki…”
Ia tertegun. Dahinya mengerut, menerka-nerka apa yang saya pikirkan. Namun ia tak berhasil. Karena menurutnya, segala jenis program asuransi sudah dimilikinya.
“Ini program asuransi yang baru. Belum ada di perusahaan asuransi manapun,” saya membuatnya penasaran.
“Coba bandingkan, apakah asuransi jiwa yang Anda miliki bisa dinikmati sendiri setelah kematian Anda? Ya, Anda sendiri yang menikmatinya, bukan ahli waris Anda. Apakah asuransi Anda memberi kesempatan perlindungan di akhirat nanti?” ia semakin bingung.
“Bagaimana mungkin saya yang sudah mati bisa menikmatinya? Program asuransi macam apa itu? Bank mana yang mengeluarkan program itu? Berapa preminya per bulan?” sederet pertanyaan pun mengalir.
Nalarnya memang takkan pernah sampai. Memang belum pernah ada sebelumnya asuransi yang bisa dinikmati sendiri oleh si pemegang polis setelah kematiannya. Bagaimana mungkin orang yang sudah mati bisa menikmati klaim asuransi?
***
Yang dimaksud di sini memang bukan asuransi biasa. Premi yang dibayarkan berupa amal shaleh, dan ilmu yang terus dibagi kepada siapapun. Membuat Allah tersenyum, adalah asuransi dahsyat yang tanpa kita klaim pun, hasilnya boleh kita nikmati sesudah kematian menjemput.
Satu hal lagi bentuk investasi yang sangat menguntungkan dunia akhirat, yakni jika memiliki anak, bimbinglah agar tetap shaleh hingga dewasa, ia akan meringankan beban orang tuanya dengan doa yang tak henti dipintanya. Tahukah Anda, anak-anak itu senantiasa berdoa, “Ya Allah, ampunilah dosaku dan dosa kedua orangtuaku. Sayangilah mereka seperti mereka menyayangiku di waktu kecil”. Indah bukan?
Tertarik? Mulailah detik ini juga! (Gaw)
Monday, June 02, 2008
Kita Hanya Singgah
Iwan mendapat tugas kantor selama beberapa tahun di Pekanbaru, Riau. Ia mengajak serta isteri dan anak-anaknya untuk tinggal bersama. Ada hal menarik yang ia ceritakan sebagai bagian dari pengalamannya tinggal di kota itu. Ia mengaku tak ingin membeli berbagai perlengkapan hidupnya secara berlebihan. Maksudnya, ketika membeli tempat tidur misalnya, “yang harganya murah, tidak perlu besar. Jika perlu sekadar alas terpal pun sudah cukup.”
Begitu pun saat membeli televisi, tak perlu besar, yang penting bisa ditonton. Barang-barang lainnya pun demikian, semua dibeli dengan satu pertimbangan; semua barang-barang ini tak akan dibawa pulang ke Jakarta jika tugasnya sudah selesai nanti.
Satu hal yang kerap rajin dilakukan Iwan dan isterinya adalah menabung, menyisihkan sebanyak-banyaknya uang hasil bekerja di Pekanbaru untuk bekal hidup di Jakarta nanti. Ia pun mengajarkan anak-anaknya untuk hidup sederhana, termasuk menabung untuk bekal masa depan.
Lain Iwan, lain Ranti. Ia gadis kelahiran Bandung yang mengenyam pendidikan strata satunya di Jogjakarta. Hanya empat tahun waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kuliahnya, dan setelah itu kembali ke kota kelahirannya untuk mengabdi. Semasa di Jogjakarta, Ranti menyewa sebuah kamar kost tak jauh dari kampusnya.
Barang-barang apa yang dimiliki Ranti di kamar kostnya? Ia hanya memerlukan sesuatu yang berhubungan langsung dengan urusan kuliahnya. Selain buku-buku penunjang pendidikan, ia membeli komputer, itupun bukan baru. Bagaimana dengan barang-barang lainnya? Ia tidak membeli televisi, sebab ia masih bisa menumpang di kamar temannya jika menginginkan sedikit hiburan. Untuk menemani hari-hari sendirinya, ia memiliki radio kecil untuk menyimak berita atau mendengarkan lagu kesukaannya.
Apakah Ranti tidak mendapat kiriman uang yang cukup dari orangtuanya di Bandung? Tidak juga. Justru lebih dari cukup. Namun Ranti banyak menyisihkan uang kiriman itu dan menyimpannya di tabungan. Kelak ia akan merasakan manfaat besar dari semua uang yang ditabungnya. Salah satu yang ia rencanakan adalah, meraih gelar master di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
***
Hidup ini hanyalah sebuah persinggahan sejenak. Seperti bis antar kota yang berhenti sesaat di sebuah tempat peristirahatan, mereka tidak akan lama berada di situ, untuk kemudian melanjutkan perjalanannya sampai tujuan akhir. Sama halnya dengan kehidupan ini, tak perlu mengumpulkan banyak harta di dunia karena sama sekali tidak akan dibawa ke akhirat. Hidup ini hanya sebentar, bahkan sangat singkat. Yang perlu dilakukan hanya memperbanyak amal shalih sebagai bekal utama di kehidupan berikutnya.
Di akhirat kelak, bolehlah kita tersenyum mengingat banyaknya bekal yang kita bawa. Ia berupa tabungan akhirat yang sangat membantu kita melangkah seringan awan di hari pembalasan. (Gaw)
Begitu pun saat membeli televisi, tak perlu besar, yang penting bisa ditonton. Barang-barang lainnya pun demikian, semua dibeli dengan satu pertimbangan; semua barang-barang ini tak akan dibawa pulang ke Jakarta jika tugasnya sudah selesai nanti.
Satu hal yang kerap rajin dilakukan Iwan dan isterinya adalah menabung, menyisihkan sebanyak-banyaknya uang hasil bekerja di Pekanbaru untuk bekal hidup di Jakarta nanti. Ia pun mengajarkan anak-anaknya untuk hidup sederhana, termasuk menabung untuk bekal masa depan.
Lain Iwan, lain Ranti. Ia gadis kelahiran Bandung yang mengenyam pendidikan strata satunya di Jogjakarta. Hanya empat tahun waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan kuliahnya, dan setelah itu kembali ke kota kelahirannya untuk mengabdi. Semasa di Jogjakarta, Ranti menyewa sebuah kamar kost tak jauh dari kampusnya.
Barang-barang apa yang dimiliki Ranti di kamar kostnya? Ia hanya memerlukan sesuatu yang berhubungan langsung dengan urusan kuliahnya. Selain buku-buku penunjang pendidikan, ia membeli komputer, itupun bukan baru. Bagaimana dengan barang-barang lainnya? Ia tidak membeli televisi, sebab ia masih bisa menumpang di kamar temannya jika menginginkan sedikit hiburan. Untuk menemani hari-hari sendirinya, ia memiliki radio kecil untuk menyimak berita atau mendengarkan lagu kesukaannya.
Apakah Ranti tidak mendapat kiriman uang yang cukup dari orangtuanya di Bandung? Tidak juga. Justru lebih dari cukup. Namun Ranti banyak menyisihkan uang kiriman itu dan menyimpannya di tabungan. Kelak ia akan merasakan manfaat besar dari semua uang yang ditabungnya. Salah satu yang ia rencanakan adalah, meraih gelar master di salah satu perguruan tinggi di Bandung.
***
Hidup ini hanyalah sebuah persinggahan sejenak. Seperti bis antar kota yang berhenti sesaat di sebuah tempat peristirahatan, mereka tidak akan lama berada di situ, untuk kemudian melanjutkan perjalanannya sampai tujuan akhir. Sama halnya dengan kehidupan ini, tak perlu mengumpulkan banyak harta di dunia karena sama sekali tidak akan dibawa ke akhirat. Hidup ini hanya sebentar, bahkan sangat singkat. Yang perlu dilakukan hanya memperbanyak amal shalih sebagai bekal utama di kehidupan berikutnya.
Di akhirat kelak, bolehlah kita tersenyum mengingat banyaknya bekal yang kita bawa. Ia berupa tabungan akhirat yang sangat membantu kita melangkah seringan awan di hari pembalasan. (Gaw)
Subscribe to:
Posts (Atom)