Pemerintah Pusat maupun pemerintah daerah istimewa Nangroe Aceh Darussalam berencana menghentikan bantuan berupa sembako kepada para pengungsi korban tsunami Aceh. Rencananya, penghentian bantuan itu akan diberlakukan awal tahun 2007. Kabar tentang rencana pemerintah tersebut membuat resah para pengungsi tsunami di beberapa wilayah seperti Meulaboh, Lhok Nga, dan juga Banda Aceh.
Dua tahun sudah tsunami Aceh berlalu, namun sedikitnya 150 ribu pengungsi masih hidup dalam kekurangan. Bahkan sebagian masih tinggal di tenda darurat atau rumah darurat seadanya. Selama dua tahun ini pula, para pengungsi mendapatkan bantuan pangan berupa sembako dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat. Alhasil, boleh dibilang selama rentang waktu tersebut para pengungsi itu berada dalam posisi lemah yang selalu menerima.
Wajar jika kemudian rencana penghentian bantuan sembako bagi para pengungsi itu menimbulkan keresahan. Karena secara tidak langsung bantuan instan itu telah membentuk satu kondisi di masyarakat pengungsi, bahwa para pengungsi sudah terbiasa menjadi masyarakat penerima tanpa perlu berusaha mencarinya. Memberi bantuan langsung tanpa pertimbangan kemandirian, tentu sangat berbahaya bagi para pengungsi. Ironisnya, praktek ini sudah berlangsung selama hampir dua tahun di Aceh.
Masyarakat Indonesia, termasuk warga Aceh, adalah masyarakat yang dikenal mandiri. Jauh sebelum tsunami Aceh memporak-porandakan negeri makmur itu, rakyat Aceh sangat mandiri dan pantang meminta. Namun tsunami Desember 2004 silam tak hanya menghancurkan negeri, sekaligus meluluhlantakkan tatanah sosial dan budaya rakyat Aceh. Seketika mereka menjadi peminta-minta lantaran kondisi mereka yang sangat memprihatinkan.
Yang membuat kondisi masyarakat Aceh lebih menyedihkan, mungkin karena tidak tepatnya konsep recovery yang diterapkan bagi para pengungsi. Banyaknya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) lokal, dalam negeri dan luar negeri di Aceh sejak pasca tsunami tidak membuat Aceh segera bangkit. Bantuan yang mengalir tak henti pun tak memberikan banyak perubahan berarti. Boleh jadi lantaran pemerintah tidak menetapkan standard recovery kepada seluruh komponen peduli di Aceh tersebut, sehingga banyak bentuk bantuan dan recovery yang tidak sejalan dengan budaya dan tatanan sosial masyarakat Aceh.
Yang paling mudah dilihat adalah cara pemberian bantuan secara instan tanpa pendampingan, padahal masyarakat Aceh sangat mungkin diberdayakan agar mereka bisa bangkit dengan tangan dan kaki mereka sendiri. Satu tahun pasca Aceh, sekitar awal Januari 2006, orang di luar Aceh akan sedikit tercengang dengan cara anak-anak Aceh menyambut orang non Aceh yang mengunjungi mereka dengan kalimat, "Tidak ada uang jangan datang". Bagaimana mungkin Aceh yang dikenal mandiri, kemudian berubah menjadi peminta-minta? adakah yang salah dalam praktek pemberian bantuan selama ini?
Kini, ketika rencana penghentian bantuan pangan digulirkan oleh pemerintah pusat dan daerah, keresahan menyeruak di sebagian besar pengungsi. Sanggupkah mereka bertahan tanpa bantuan itu, lantaran selama ini mereka sudah terlena dengan cara-cara pemberian bantuan langsung dan instan. Padahal, selama ini tak sedikit dari mereka yang tidak mendapatkan pendampingan untuk bangkit kembali. Setelah dua tahun dalam masa "tangan di bawah", kini mereka harus bersiap menghadapi keadaan baru, hidup tanpa bantuan.
----
Kilas balik Aceh pasca tsunami Aceh, ACT - Aksi Cepat Tanggap melakukan recovery di Aceh, tepatnya di Sigli, Kabupaten Pidie dengan melakukan beberapa program masterpiece seperti WAKALA (Wanita Kepala Keluarga). Sebuah program untuk para wanita janda korban tsunami agar bisa mandiri meski tak lagi ada kepala keluarga. Program berupa bimbingan dan pendampingan dengan mengajari mereka berbagai keterampilan seperti konveksi dan anyaman tikar. Para wanita janda yang mengikuti program WAKALA pun semakin bersemangat dengan berdirinya Balai Wakala, tempat mereka melakukan berbagai aktivitas sehari-hari. Alhasil, hasil kerajinan mereka yang terbuat dari pandan antara lain berupa anyaman tikar, sudah diekspor ke beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Australia.
Tercatat, Aktris Zaskia Adya Mecca selaku Duta Kemanusiaan ACT serta Sahrul Gunawan pernah mengunjungi Balai Wakala ini pada Desember 2005. Satu tahun setelah bencana tsunami. Sebelumnya, Cut Keke pun pernah mengunjungi dan melihat langsung program Wakala ini pada April 2005.
Selain Balai Wakala, ACT juga melakukan recovery untuk para nelayan dengan membantu Balai Nelayan. Dengan bantuan donatur, para nelayan sudah kembali menjalani pekerjaannya melaut hanya beberapa minggu setelah tsunami. Dana bantuan donatur ACT diberdayakan untuk membuat perahu baru atau memperbaiki perahu-perahu yang rusak. Yang menarik, proses pembuatan dan perbaikan perahu dilakukan sendiri oleh para nelayan tersebut. Ini salah satu keunggulan program recovery ACT, yakni dengan memberdayakan para korban tsunami untuk bangkit dengan tangan mereka sendiri. Konsep kemandirian selalu dikedepankan dalam setiap program recovery.
Banyak lagi program recovery di Aceh, antara lain Children Care Program, berupa bantuan beasiswa bagi anak-anak korban tsunami, terutama anak-anak yatim yang orangtuanya meninggal karena bencana. Program ini sangat terkait dengan Balai Wakala, mengingat pemberdayaan wanita janda korban tsunami juga berkenaan dengan pemberdayaan ekonomi para janda tersebut agar juga bisa menyekolahkan anak-anak mereka. Mereka yang sudah mandiri, berarti hanya diberikan bimbingan, sementara bantuan bisa diluaskan kepada pihak lainnya.
ACT memang tidak sendiri di Aceh. Bersama para donatur, ACT masih terus melakukan program recovery hingga hari ini. Namun, semakin lama semakin berkurang bantuan yang datang khususnya untuk program recovery Aceh. Semoga, masyrakat luar Aceh belum melupakan saudara-saudara mereka, para korban tsunami Aceh. (Gaw)
2 comments:
Gw orang indo tapi tinggal di swiss:
www.indonesieenforce01.blogspot.com
pupuk organik : makin byk petani yg gunakan bahan kimia untuk pupuk & herbisida dan berlangsung bertahun-tahun ,akibatnya kesuburan tanah berkurang
Post a Comment