Sebulan terakhir ini saya membuat agenda kegiatan baru untuk dua bidadari kecil saya di rumah. Mengajak mereka ke tempat-tempat tertentu untuk lebih mengenal alam adalah hal yang sudah lama saya rencanakan dan telah masuk dalam bagian dari rancangan pendidikan saya terhadap mereka. Di awal-awal tahun usia mereka, saya sudah lebih dulu mengenalkannya dengan bintang, benda kecil berkerlap indah di langit. Juga bulan, bintang yang nampak lebih besar karena jaraknya lebih dekat ke bumi. Matahari dan angin pun tak luput untuk dikenalkan sebagai bagian alam yang tak pernah absent dalam kehidupan mereka.
Kebun, lahan pertanian, sungai dan bahkan laut sudah masuk dalam daftar tempat yang harus kami kunjungi, dan akan saya kenalkan anak-anak dengan lingkungan dan alam yang lebih luas, lebih dari yang selama ini mereka kenal sebatas rumah dan isinya, sebelah rumah dengan beragam hiruk pikuknya, riuh rendah aktivitas kota, juga suara bising transportasi serta lalu lalang orang-orang sibuk memburu waktu.
Berada di tepi sungai kecil, mereka akan mengenal suara gemiricik air yang mengalirkan ketenangan dari telinga hingga ke hati, jelas lebih nyaman ketimbang klakson kendaraan dan makian orang-orang terjebak kemacetan yang menyegakkan. Tentu saja selain mereka juga saya harapkan mengerti dari mana air berasal dan kemana menujunya, senangnya mereka menemukan pelajaran baru di minggu pagi. Menggembirakan melihat mereka gembira menemukan berbagai tumbuhan baru yang tak pernah mereka lihat sebelumnya selain di buku cerita atau pun televisi.
Kemudian meluncurlah puluhan tanya tentang satu persatu nama tumbuhan dan binatang kecil yang mereka lihat. Saat jemari mungil si bungsu menyentuh tanaman yang kuncup setiap kali disentuh, saya beritahu, “Itu namanya putri malu”. Sementara kakaknya tak berkedip memandangi bunga bunga cantik berwarna putih, jatuh cinta rupanya ia dengan bunga itu. Lalu saya kenalkan ia, “Ini melati, cantik bukan?”. Entah sudah berapa belas nama yang mereka kenal hari itu hingga saya pun menyadari satu hal, bahwa semuanya memiliki nama. Bahkan rumput liar pun punya nama. Mungkin pekan depan akan ada yang lain mereka temui dan kemudian mereka mengenalnya.
Entah siapa yang pertama kali memberi nama-nama itu, sejak dulu orang mengenal bintang dan hingga kini tetap bernama bintang, begitu juga dengan bulan, matahari, dan angina. Jauh sebelum kita, orang-orang sudah mencintai melati dan sampai detik ini ia tetap disuka sebagai melati karena putihnya yang cantik. Di banyak tempat orang menginjak rumput dan rumput pun tahu bahwa perannya lebih banyak menjadi alas kaki yang terus menerus terinjak. Itulah sebabnya hingga kini ia tetap dikenal sebagai rumput. Yang bernasib lebih buruk dari rumput biasa, adalah rumput liar. Ia diberi nama rumput liar karena kebiasaannya tumbuh di sembarang tempat, dan karenanya ia harus rela berumur pendek dipangkas pemilik halaman yang tak menyukai kehadiran mereka. Tapi karena sifatnya itulah ia memiliki nama, rumput liar.
Luar biasa. Terus menerus masing-masing bagian alam itu memerankan apa yang seharusnya dan tidak pernah berubah sehingga sampai kapan pun kita akan mengenalnya dengan nama yang sejak awal tersemat lekat di dada mereka. Ketika generasi berganti pun, para orang tua tetap akan memperkenalkannya sesuai dengan nama-nama yang sudah sekian lama tersemat itu. Tidak pernah orang tua menyebut alang-alang sebagai mawar, atau air sebagai api.
Sebulan terakhir ini saya ajak dua bidadari kecil itu ke tempat-tempat tertentu, antara lain sungai dan kebun. Ternyata bukan hanya mereka yang mendapatkan pelajaran baru tentang nama-nama tumbuhan dan makhluk hidup yang ada di tempat itu. Saya pun mendapatkan pelajaran baru, bahwa sebagai manusia semestinya saya memainkan peran secara baik, menorehkan sejarah dan mengukir nama saya di atas prasasti kehidupan saya dengan melakukan hal terbaik secara terus menerus. Sehingga tidak hanya anak dan keturunan saya yang mengenal, bahkan orang di luar lingkungan keluarga saya pun akan mengenang nama ini kelak meski diri ini tak lagi ada.
Mungkin selama ini saya belum melakukan apa pun sehingga tak banyak orang bisa mengenal saya. Seperti halnya orang mengenal Thomas Alva Edison setiap kali bicara tentang bola lampu. Atau setiap kali para pendaki gunung pemula atau pun senior menyebut nama Sir Edmund P. Hillary dan Tenzing Norgay sebagai orang pertama yang berhasil mencapai puncak Everest.
Tak berhenti melakukan berbagai hal kebaikan yang bisa dirasakan manfaatnya oleh orang lain, adalah cara terbaik mengukir indah nama dengan bingkai yang tak pernah rapuh. Semoga saya bisa dan tak pernah lelah melakukannya.
Bayu Gawtama
1 comment:
Salute to you, Gaw! Indonesia needs more young generation with such competencies like yourself. May Allah SWT bless you all the way.. Amien YRA.
Hj. Dalia Indah Soeparman
Post a Comment