Dalam sebuah kajian, seorang ibu bertanya, “Sudah duabelas tahun saya menikah, tapi belum dikaruniai anak. Kalau sampai ajal menjemput nanti saya belum juga mendapatkan anak, siapa yang akan mendoakan saya di kuburan?”
Semua mata tertegun, terharu dan juga sedikit bingung memberikan jawaban atas pertanyaan itu. Beberapa ibu bahkan menitikkan airmata, bisa dirasakan harapan terdalam dari ibu yang bertanya itu. Sebab bagi siapa pun wanita di muka bumi ini, memiliki buah hati dari rahimnya sendiri adalah mimpi terindah, harapan terbesar dan cita-cita tertinggi di sepanjang perjalanan hidupnya.
Namun pertanyaan itu begitu menghentak, betapa setiap orang beriman akan mendapatkan beragam ujian. Salah satunya berkenaan dengan amanah berupa anak. Bagi yang diberi amanah, tetaplah sebuah ujian agar menjaga amanah tersebut sebaik-baiknya. Ibarat seseorang yang menitipkan suatu barang berharga kepada orang lain yang dipercayainya, ia berharap barang tersebut dijaga, dipelihara sebaik mungkin, hingga pada satu saat barang itu harus dikembalikan, tetap dalam keadaan baik.
Bahkan mungkin ketika barang itu belum waktunya diambil pun, si penitip yang melihat orang yang dipercaya itu mampu menjaga amanah dengan baik, maka ia tak akan sungkan menitipkan barang lainnya. Ada dua motivasi yang muncul ketika titipan kedua diberikan, apakah memang ia telah menjaga dengan baik titipan pertamanya, atau, titipan kedua sebagai ujian agar ia mampu berbuat lebih baik lagi.
Begitu pula dengan mereka yang belum diberi kesempatan. Bukan semata karena ia belum layak mendapat amanah, juga bukan karena mereka yang diberi momongan itu lebih baik kualitas diri dan kehidupannya. Ini semua menjadi rahasia Allah, sedangkan sebagai hamba kita hanya bisa berdoa agar Allah kelak memberikan kesempatan itu meski hanya sekali.
Banyak kita jumpai, sepasang suami isteri yang shalih, taat beribadah, berkecukupan, dengan latar belakang pendidikan yang sangat menunjang, namun belum dikaruniai seorang anak. Berbagai upaya sudah dilakukan, dan tak henti berusaha lantaran tak ada sedikit pun masalah medis dalam diri suami isteri tersebut. Jika demikian, doa dan terus bersyukur atas segala rezeki yang telah diterimanya bisa membuat Allah tersenyum dan berkenan menambahkan rezeki lainnya. Tentu saja Allah tahu persis apa yang paling diinginkan setiap hamba, meski tak satu pun hamba yang boleh mendikte keinginan Allah.
Kembali ke pertanyaan di atas, “siapa yang akan berdoa untuk saya sesudah saya mati?” adalah pertanyaan dari hati terdalam seorang ibu yang memendam kerinduan teramat dalam akan hadirnya si buah hati. Makna tertinggi dari harapan sepasang manusia, bukan sekadar bisa menimang dan mengaliri kasih sayang melalui peluk kasih dan sentuhan lembut jemari sang ibu. Tak hanya sebentuk rindu menyanyikan lagu ‘nina bobo’ atau senandung shalawat ketika buah hatinya terlelap dalam belaiannya. Lebih, jelas lebih dari itu. Ia telah menyiapkan segala sesuatunya agar kelak anak-anak yang tumbuh dan keluar dari rahimnya, adalah anak-anak yang memahami betul peran dan multi tanggungjawabnya; kepada Tuhannya, kepada orangtuanya, juga kepada lingkungannya.
Hiburan berupa jawaban, “Meski tidak dikaruniai anak, ibu kan masih punya dua hal lainnya; ilmu yang bermanfaat dan amal shalih” hanya berlaku sesaat. Ketika ia merasa sendiri di rumah, saat suaminya mencari nafkah, suara tangis dan kelakar riang anak-anak akan mengisi hari-hari sepinya.
Siapa wanita yang tak menitikkan air mata kala mengetahui segumpal darah berbentuk janin dititipkan di rahimnya? Air matanya sejernih cintanya, bulir airnya menggugurkan kerinduan teramat dalam di sepanjang hidupnya. Saya berdoa untuk semua saudara yang masih menggenggam rindu ini. (Gaw)
Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog
Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...
Tuesday, March 25, 2008
Wednesday, March 05, 2008
Cinta (memang) Tak Pandang Bulu
Judul tulisan ini memang agak klasik, “cinta tak pandang bulu”. Entah kenapa tiba-tiba saya tertarik dengan kalimat klasik ini, terlebih setelah untuk kesekian kalinya melihat pemandangan yang mengagumkan tentang kesejatian cinta.
Saya yakin Anda pernah melihat induk ayam bersama sekelompok anak-anaknya, dan diantara sekian banyak anaknya itu terselip satu anak bebek. Dulu ketika kecil saya bertanya, bagaimana mungkin seekor anak bebek bisa menginduk kepada ayam? Atau mungkinkah si ayam betina itu bertelur bebek? Setelah mendapat penjelasan dari paman, barulah mengerti bahwa seseorang sengaja meletakkan sebutir telur bebek diantara beberapa butir telur yang sedang dieramkan ayam betina.
Dan ketika menetas, dari semua telur itu keluarkan anak-anak kecil yang cantik, mungil dan lucu-lucu. Yang mengagumkan, tidak ada sedikitpun perlakuan berbeda dari induk ayam itu kepada semua anaknya, termasuk si anak bebek. Meski ia berbeda warna, berbeda bulu, bahkan berbeda dari segala bentuk dan rupa, kasih sayang induk ayam tetap sama. Walau si anak bebek berparuh pipih, tak sama dengan saudara-saudaranya yang berparuh runcing, meski ia bertubuh lebih pendek dari saudara-saudaranya, dan terdapat selaput diantara jari kakinya, cinta ibunya tak berbeda.
Si induk ayam tetap memberikan makanan yang sama kepada semua anaknya. Ia juga tetap akan mematuk, menyerang siapapun yang mendekati dan mencoba mengganggu anak-anaknya. Bahkan ia pun akan menangis dengan air mata yang sama derasnya ketika anak-anaknya terluka. Ia, layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya. Menyayangi tanpa membedakan, mencintai dengan menutup mata pada sedikitpun kelebihan dan kekurangan anak-anaknya karena dalam cinta yang terlihat hanyalah yang terbenam di kedalaman jiwa.
Anak-anak bagi seorang ibu adalah mutiara terindah, yang tak bisa disebandingkan dengan apapun. Bukankah seorang ibu rela bertukar jiwa dengan buah hatinya jika hanya itu satu-satunya pilihan? Maka mendekatlah wahai anak-anak, cinta ibu adalah samudera tempat kita mereguk kesejukan, mendapatkan dahaga kebahagiaan.
Saudaraku, begitu pun Allah. Bilal bin Rabbah yang hitam legam dari benua Afrika pun, terdengar indah suara terompahnya di surga karena ia senantiasa mendekat kepada Allah. Sesungguhnya, melalui pelajaran cinta dari seekor induk ayam dan si anak bebek, serta kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, Allah tengah memberikan satu hikmah, bahwasannya Ia-pun berlaku sama kepada semua hamba-Nya tanpa terkecuali.
Kasih Allah sama, tak berbeda. Kitalah yang membuatnya berbeda. Allah selalu mendekat kepada semua hamba-Nya, kitalah yang membuat jaraknya. Dan cinta Allah pun senantiasa mengalir tanpa henti, namun kedangkalan jiwa inilah yang membuat kita tak mampu merasakan sentuhan cinta-Nya. Wallaahu’a’lam (gaw)
Saya yakin Anda pernah melihat induk ayam bersama sekelompok anak-anaknya, dan diantara sekian banyak anaknya itu terselip satu anak bebek. Dulu ketika kecil saya bertanya, bagaimana mungkin seekor anak bebek bisa menginduk kepada ayam? Atau mungkinkah si ayam betina itu bertelur bebek? Setelah mendapat penjelasan dari paman, barulah mengerti bahwa seseorang sengaja meletakkan sebutir telur bebek diantara beberapa butir telur yang sedang dieramkan ayam betina.
Dan ketika menetas, dari semua telur itu keluarkan anak-anak kecil yang cantik, mungil dan lucu-lucu. Yang mengagumkan, tidak ada sedikitpun perlakuan berbeda dari induk ayam itu kepada semua anaknya, termasuk si anak bebek. Meski ia berbeda warna, berbeda bulu, bahkan berbeda dari segala bentuk dan rupa, kasih sayang induk ayam tetap sama. Walau si anak bebek berparuh pipih, tak sama dengan saudara-saudaranya yang berparuh runcing, meski ia bertubuh lebih pendek dari saudara-saudaranya, dan terdapat selaput diantara jari kakinya, cinta ibunya tak berbeda.
Si induk ayam tetap memberikan makanan yang sama kepada semua anaknya. Ia juga tetap akan mematuk, menyerang siapapun yang mendekati dan mencoba mengganggu anak-anaknya. Bahkan ia pun akan menangis dengan air mata yang sama derasnya ketika anak-anaknya terluka. Ia, layaknya seorang ibu kepada anak-anaknya. Menyayangi tanpa membedakan, mencintai dengan menutup mata pada sedikitpun kelebihan dan kekurangan anak-anaknya karena dalam cinta yang terlihat hanyalah yang terbenam di kedalaman jiwa.
Anak-anak bagi seorang ibu adalah mutiara terindah, yang tak bisa disebandingkan dengan apapun. Bukankah seorang ibu rela bertukar jiwa dengan buah hatinya jika hanya itu satu-satunya pilihan? Maka mendekatlah wahai anak-anak, cinta ibu adalah samudera tempat kita mereguk kesejukan, mendapatkan dahaga kebahagiaan.
Saudaraku, begitu pun Allah. Bilal bin Rabbah yang hitam legam dari benua Afrika pun, terdengar indah suara terompahnya di surga karena ia senantiasa mendekat kepada Allah. Sesungguhnya, melalui pelajaran cinta dari seekor induk ayam dan si anak bebek, serta kasih sayang seorang ibu kepada anak-anaknya, Allah tengah memberikan satu hikmah, bahwasannya Ia-pun berlaku sama kepada semua hamba-Nya tanpa terkecuali.
Kasih Allah sama, tak berbeda. Kitalah yang membuatnya berbeda. Allah selalu mendekat kepada semua hamba-Nya, kitalah yang membuat jaraknya. Dan cinta Allah pun senantiasa mengalir tanpa henti, namun kedangkalan jiwa inilah yang membuat kita tak mampu merasakan sentuhan cinta-Nya. Wallaahu’a’lam (gaw)
Subscribe to:
Posts (Atom)