Jumat pagi itu, motor terpacu dengan kecepatan tidak kurang dari 60 km/jam ketika tiba-tiba saya melewati seorang pengendara motor lainnya yang berhenti mendadak. Penyebabnya, kantong besar berisi ikan yang masih hidup yang dibawanya pecah. Berhamburan lah air dan puluhan ikan itu ke jalan raya.
Saat itu saya sempat ragu untuk berhenti, ada beberapa pertimbangan yang menyebabkan keraguan itu. Pertama, waktu sudah menunjukkan pukul 07.50 WIB dan saya harus segera ke kantor. Sedangkan perjalanan ke kantor butuh waktu kurang lebih delapan hingga sepuluh menit lagi. Jika saya tetap melanjutkan perjalanan, biasanya tidak akan terlambat. Kedua, saya alergi ikan. Bukan hanya makan makhluk air itu, bahkan mencium ‘amis’nya pun sudah membuat saya terkena penyakit aneh seperti pusing, mual dan gatal-gatal.
Dua hal tersebutlah yang sempat memberatkan. Namun beberapa detik kemudian saya putar arah menuju lelaki yang jelas-jelas membutuhkan bantuan itu. Sejurus kemudian, mulailah tangan ini membantu memungut satu persatu ikan yang menggelepar di jalan raya, beberapa orang lainnya pun turut membantu.
Menurut lelaki pembawa ikan itu, ikan-ikan itu adalah pesanan seseorang yang hendak menggelar pesta. Si pemesan hanya akan membayar ikan yang segar dan bukan ikan yang sudah mati. Karenanya, ketika plastik ikannya pecah dan ikannya berhamburan ia sangat panik. “saya bisa dipecat bos nih…” keluhnya.
Beruntung, beberapa orang –dan alhamdulillah termasuk saya- cepat membantunya mengumpulkan ikan agar tidak ada yang mati. Boleh jadi, jika ia mengumpulkan sendiri puluhan ikan tersebut, butuh waktu yang tidak sebentar dan sangat mungkin ada beberapa ikan yang mati. Saya tidak tahu persis berapa harga satu ikan tersebut, tinggal dikalikan berapa jumlah yang mati. Tapi berapa pun harganya, tetaplah berat buat si pengantar ikan tersebut.
Usai mengumpulkan ikan-ikan itu, si pengantar ikan mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang membantunya. Namun saya bilang, “saya yang berterima kasih, telah diberi kesempatan berbuat baik di pagi hari”.
Ya, saya bersukur dan merasa berterima kasih karena bisa mengawali hari dengan sesuatu yang baik. Disamping itu, saya pun diberi pelajaran berharga tentang bagaimana mengendalikan ego. Saya tahu pasti akan terlambat ke kantor jika menolong orang tersebut. Namun resiko yang saya dapatkan mungkin hanya ‘catatan kecil’ dari HRD bahwa saya pernah terlambat beberapa menit. Tidak ada resiko pemecatan, pemotongan gaji atau caci-maki bos. Tapi bagi si pengantar ikan itu, ceritanya akan sangat berbeda. Ia bisa diminta mengganti ikan-ikan yang mati, kemudian dicaci-maki bosnya, dan akhirnya berujung pada pemecatan.
Dan yang kedua soal alergi ikan itu. Luar biasa, apa yang menjadi kekhawatiran saya selama ini berkaitan dengan ikan itu tidak terjadi. Saat memungut ikan dan sampai ke kantor hingga keesokan harinya tidak terjadi satu apapun terhadap diri saya. Tidak ada pusing, tidak mual maupun gatal-gatal setelahnya. Padahal, biasanya mencium bau ikan saja saya sudah menyingkir jauh-jauh. Meski bukan berarti saat ini saya sudah bisa makan ikan, karena tetap saja saya belum bisa. Tetapi yang jelas, hari itu ego saya terkendalikan dan yang ada dalam pikiran saat itu hanya satu; orang tersebut harus ditolong.
Soal ego memang gampang-gampang susah mengendalikannya. Tetapi saya meyakini satu hal, bahwa ego menolong wajib dikedepankan dan semoga menjadi kebiasaan yang baik buat saya. (gaw)