Hari ini ada yang meninggal. Kemarin juga ada, hari-hari sebelumnya pun begitu, selalu ada yang meninggal dunia. Sudah pasti, besok juga ada yang akan dijemput malaikat Izrail menghadap Sang Khaliq. Beberapa hari yang lalu, salah satu sahabat yang meninggal. Kemarin lusa, seorang anggota keluarga, hari ini giliran teman sepermainan yang menutup mata. Satu persatu anggota keluarga, teman, sahabat, orang-orang terdekat kita dipanggil Allah.
Setiap kali ada yang meninggal, bisa dipastikan ada yang menangis. Sedih? ya, itu sudah wajar. Tetapi untuk apa menangis? Inilah yang coba kita bahas sedikit. Setiap insan yang hidup akan menangis tatkala orang terdekatnya, mungkin itu isteri, suami, anak, adik, kakak, orang tua, anggota keluarga lainnya, atau sahabatnya pergi untuk selamanya. Air mata akan meleleh, meski dalam kesehariannya ia dikenal sebagai orang kuat, orang hebat, atau orang yang dikenal pantang menyerah. Ada haru, sedih ketika terlintas ribuan peristiwa bersama saat mereka masih hidup. Kemudian mulut pun bergumam, "rasanya baru kemarin kita tertawa bersama..."
Begitu cepat waktu berlalu. Lebih tepatnya, terasa cepat waktu berlalu. Namun memang begitulah waktu, sangat cepat, singkat, tak tertunda dan tak mungkin terulang. Sayangnya, kita selalu dan hanya bisa gigit jari setiap kali sadar betapa banyak waktu yang terlewati tanpa hal bermakna.
Kembali soal kematian. Wajarlah jika orang menangis saat seseorang yang dekat dengannya meninggal dunia. Tetapi jika ada yang menangis saat "bukan siapa-siapa" kita yang meninggal, kenapa?
Setegar apa pun saya, selalu menangis setiap kali ada keluarga, kerabat dan sahabat yang meninggal dunia. Namun ternyata, air mata ini pun meleleh seketika setiap kali saya melihat keranda mayat diusung beberapa orang melintas di hadapan. Entah siapa yang berada di dalam keranda itu, saya tidak pernah mengenalnya. Tetapi tetap saya menangis.
Menangis saya lebih dahsyat lagi di banyak tempat. Setiap kali saya berada di lokasi bencana seperti tsunami, gempa, banjir bandang. Saat menyolatkan para korban gempa, atau korban tsunami, dijejerkan jenazah-jenazah berkafan putih di hadapan saya. Seolah banjir bandang tengah melanda pelupuk mata ini, nyaris tak kuasa saya berdiri, bahkan mata ini tak sanggup terus menerus menatap puluhan dan ratusan jenazah yang terbujur kaku.
Ya Allah. Ternyata mati bisa kapan saja, bisa karena apa saja. Sahabat saya yang sehat-sehat saja, tiba-tiba meninggal dunia. Ratusan ribu orang di Aceh yang sedang beraktivitas pagi, dalam sekejap habis disapu tsunami. Mereka, mereka semua itu, tidak satu pun keluarga dekat saya, boleh jadi tak satu pun yang saya kenal. Bahkan saya tidak pernah mendengar nama dan bertemu langsung dengan mereka. Tetapi kenapa saya menangis?
Ternyata, ada air mata yang berbeda yang keluar dari sudut mata ini. Jika dulu ada anggota keluarga yang meninggal dan saya menangis, itu lantaran saya merasa begitu sayang, cinta, dan dekat dengannya. Saya merasa tak ingin ditinggal. Tetapi sekarang, setiap kali ada yang meninggal dunia, sendirian kah, puluhan orang, bahkan ribuan orang, dikenal maupun tidak, saya tetap menangis. Jelas karena saya begitu takut, sangat takut bahkan.
Ya, saya benar-benar menangis setiap kali ada yang meninggal. Setidaknya mata ini berkaca-kaca. Sebab saya tahu persis, masa saya akan tiba. Meski saya tidak tahu persis, kapan waktunya. Saya benar-benar menangis, setiap melihat keranda mayat, membayangkan suatu saat saya yang berada di dalamnya. Atau saat melihat sesosok jenazah disholatkan, kemudian ditanam di dalam kubur. Saya tahu, pasti saya akan mengalaminya.
Sungguh, saya benar-benar menangis saat saya tahu pasti. Belum banyak bekal yang saya punya untuk perjalanan yang lebih panjang itu. Ampuni saya ya Allah...