Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Monday, November 17, 2008

Maryudi, Guru dengan Bayaran Rp. 100,- per minggu

taken from http://warnaislam.com

Boleh jadi kita termasuk yang sering menyepelekan uang receh nilai seratus rupiah. Kembalian belanja di warung, dianggap tidak berharga. Beberapa orang bahkan sengaja tidak mengambil uang kembalian berupa beberapa koin cepe’an itu dan dibiarkan tergeletak begitu saja di meja kasir pusat perbelanjaan. Sebagian orang tersenyum tanda setuju kepada petugas kasir yang menukar uang seratus dengan sebutir permen.

Di rumah dan di kantor, uang koin seratus rupiah berserakan di lantai atau menumpuk di laci tanpa kejelasan penggunaannya kecuali menunggu pengamen dan pengemis datang. Sebab nilai mata uang terkecil itu pun kadang tak berlaku untuk tukang parkir, bahkan untuk uang jajan anak-anak di sekolah pun tak disentuh, “Seratus? Dapat apa?” kata mereka.

Tahukah Anda bahwa uang receh seratus rupiah sangat berharga bagi seseorang? Maryudi, 36 tahun, seorang guru mengaji anak-anak di Kampung Nangela, Desa Jagabita, Kecamatan Parung Panjang, Kabupaten Bogor. Setiap sore mengajar anak-anak di majelis yang berdiri di halaman rumahnya, bayaran Yudi hanya Rp. 100,- per anak per minggu. “Itu juga nggak wajib, dan kebanyakan yang nggak bayar,” sela Linda, isteri Yudi.

Mulanya, ungkap Yudi, anak-anak yang belajar mengaji ada sekitar seratus anak. Tapi sekarang tinggal lima puluhan anak. “mereka takut, soalnya majelisnya hampir roboh,” terang Yudi sedih. Majelis seluas 7x7 meter yang berdiri di halaman rumah Yudi dibangun sekitar tahun 1993 dengan swadaya masyarakat. Seluruh bahan bangunan model panggung itu menggunakan bambu, mulai dari bawah sampai ke penyangga atap. Atapnya menggunakan genteng tanah, sedangkan dindingnya terbuat dari bilik.

Sebagian lantainya sudah bolong, hal ini yang membuat anak-anak takut karena bisa kejeblos ke bawah. Belum lagi beberapa kaki penyangga yang agak miring, jelas sangat mengkhawatirkan. Pintunya sudah rusak, atapnya pun bocor di beberapa bagian. Padahal majelis ini masih sering dipakai untuk mengaji anak-anak setiap sore, pengajian ibu-ibu setiap hari Kamis dan untuk bapak-bapak Minggu malam. “Ingin sekali memperbaikinya, tapi tidak ada dananya,” ungkap guru muda itu.

Uang seratus rupiah sangat berharga bagi Yudi, namun ia jelas tak bisa mengandalkan kebutuhan hidupnya dari uang yang tak seberapa itu. Maka ia pun bertani, menggarap sawah dan kebun yang bukan miliknya, sekadar untuk mendapatkan makan sehari-hari ia, isteri dan lima anaknya.

Tidak ada barang berharga di rumah berdinding bata merah yang belum diplester itu. Hanya ada satu televisi hitam putih 14 inchi keluaran tahun 1980an bermerk Intel, merk yang mungkin sudah tidak diproduksi lagi. Barang berharga lainnya ada sebuah magic jar, untuk memasak dan menghangatkan nasi. Selebihnya, nyaris tidak ada apapun di rumah itu. Dapurnya masih berlantai tanah, dihiasi dua baris tungku api. Mereka masih menggunakan kayu bakar untuk memasak. Tidak ada kamar mandi di rumah itu, hanya ada bilik berukuran 3x4 meter dengan sebuah sumur tua yang sangat dalam.

Isterinya yang masih berusia 25 tahun, terlihat masih sangat muda menanggung amanah mendidik lima anak, masing-masing Ulfi Mahendra (12), Selvi (9), Sela (8), Resa (4) dan Olip (16 bulan). Ketika penulis bertandang ke rumah Yudi, Resa si pengais bungsu tengah menikmati sepiring kecil nasi dengan kerupuk sebagai lauknya. Resa diduga menderita gizi buruk karena di usianya yang sudah empat tahun hanya memiliki berat badan 9,5 kg. Lingkar lengannya seukuran bayi usia 6 bulan, matanya celong, dan wajahnya pucat tanpa ekspresi.

Serba salah bagi Yudi, ingin sekali ia mencari pekerjaan lain di luar kampungnya demi memberikan penghidupan yang lebih baik untuk keluarganya. Namun keterbatasan keterampilan membuatnya ragu melangkah. Selain itu, ia juga khawatir dengan pembinaan anak-anak di kampungnya. “nggak ada yang mau ngajar ngaji tanpa dibayar, kalau pun ada ya segitu bayarannya…”

Sebaiknya memang harus ada orang-orang yang mendedikasikan dirinya untuk pembinaan anak-anak di sekitarnya. Namun dengan kondisi seperti Yudi, ia harus bertarung antara kebutuhan hidupnya dengan keinginan untuk terus membina anak-anak kampung. Sebuah kondisi yang selalu membuatnya bingung. Ditambah lagi dengan kondisi majelis yang nyaris roboh, berdoa saja tidak cukup bagi Yudi. Namun usaha seorang Yudi pun sendirian bisa dipastikan takkan berhasil menyelesaikannya. Untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarganya saja ia masih kewalahan.

Hmm, sekadar membaca artikel ini saja tidak cukup buat kita bukan? Mulailah dengan tak menganggap remeh koin seratus rupiah Anda, karena itu sangat berarti bagi seorang seperti Maryudi. (Gaw)

Thursday, November 13, 2008

Tak Cukup dengan Doa

Ada seseorang yang mendatangi saudaranya sesama muslim untuk mengadukan masalahnya. Sebenarnya ia bingung dan malu menyampaikan maksud kedatangannya, namun karena permasalahannya sudah sangat mendesak ia pun terpaksa mengutarakannya, itu pun dengan sangat hati-hati. “Kontrakan saya sudah mau habis, bagaimana menurut saudara?”, ia kehabisan ide untuk menyampaikan maksudnya lebih jelas.

“Ohh, saya kira sebaiknya saudara mencari kontrakan yang baru. Tempat tinggal yang sekarang nampaknya kurang baik untuk kesehatan seluruh anggota keluarga”, saran saudaranya itu.

Padahal, maksudnya bukan minta saran seperti itu, melainkan ia secara tidak langsung ingin meminta bantuan pinjaman uang untuk memerpanjang kontrakannya satu tahun atau setidaknya enam bulan ke depan. Perasaan tidak enak dan malu membuatnya bingung menyampaikan maksud hati yang sebenarnya.

Ia pun mencobanya kembali, “Usaha dagang saya sedang tidak bagus, bulan kemarin saja saya harus nombok dan terus merugi. Saya sudah kehabisan uang,” kali ini mulai lebih jelas.

Tapi, “Mungkin saudara belum benar-benar khusyuk dalam beribadah, belum serius dalam berdoa. Cobalah lebih banyak lagi menambah amalan-amalan sunnah, berdoalah lebih iba kepada Allah. Insya Allah, Dia akan lebih mendengar doa saudara. Tenang, saya saudaramu, saya juga akan mendoakan agar usahamu lancar dan berhasil,” rupanya masih belum nyambung.

Maksud ia mendatangi saudaranya itu sebenarnya sudah jelas untuk minta bantuan, bukan minta nasihat. Ia berharap saudaranya yang kelebihan harta dan memiliki beberapa bidang usaha itu mau memberinya modal usaha. Bukan doa yang dimintanya, padahal saudaranya itu memiliki sejumlah kontrakan, salah satu bidang usahanya.

Satu sisi, tidak ada yang salah dengan nasihat-nasihatnya. Mungkin betul saudaranya itu kurang dalam ibadahnya, jarang meminta kepada Allah. Tetapi bisa jadi sebaliknya, ada orang yang sudah benar-benar khusyuk dalam beribadah, dan tak melewatkan satu malam pun untuk berdoa dalam tahajjudnya, hanya saja Allah masih ingin menguji kesabarannya.

Faktanya, saat itu ia memerlukan bantuan saudaranya secara nyata. Bukan dalam bantuk doa dan nasihat. Entah itu sedekah atau pinjaman, karena memang itu yang benar-benar diharapkannya. Setelah memberi bantuan, terserah mau sebanyak apapun memberi nasihat, pasti akan didengarkan karena hatinya sudah sedikit tenang.

Orang yang tertimpa musibah dan mendapat kesulitan, sebaiknya tidak ditolong hanya dengan doa. Ringankan bebannya terlebih dulu, kemudian berilah ia nasihat kesabaran dan doakan agar ia bisa segera keluar dari kesulitannya. Sama halnya dengan saudara kita yang sedang sakit, ucapan “semoga lekas sembuh” memang sudah cukup sebagai bentuk perhatian. Namun bagi sebagian lain, kesembuhannya bisa lebih cepat dengan cara dikunjungi dan membawa sedikit buah tangan untuk menghiburnya. Bahkan, ada pula yang harus dibantu biaya perawatannya.

Jika ada saudara kita yang kelaparan, apakah akan merasa kenyang setelah kita doakan? (gaw)

Jangan Dibaca!

Tidak aneh jika mendapati dinding yang penuh coretan tangan iseng, meski di dinding itu sudah ada sebuah peringatan “Dilarang coret-coret”. Semakin dilarang semakin penuh coretannya. Pernah ada anak sekolah yang mencoret bis kota dengan spidol dengan alasan, “Saya cuma menambah coretan yang sudah ada kok…” sambil menunjuk tulisan “dilarang mencoret” yang dianggapnya sebagai coretan pertama.

Kalau ada pojok jalanan, sudut pasar atau tempat-tempat yang dianggap strategis lainnya yang beraroma tak sedap alias bau pesing, selalu saja ada peringatan “Dilarang kencing di sini”. Bukan karena sebelumnya tempat itu selalu jadi tempat aman untuk buang hajat, melainkan memang sampai detik ini masih selalu dipakai oleh mereka yang kesulitan menemukan toilet yang sebenarnya.

Sering juga lihat tulisan “Dilarang dicoba sebelum membeli” di antara tumpukan buah lengkeng di sebuah pusat perbelanjaan. Menarik sekali karena justru tulisan itu dikelilingi orang-orang yang tengah memilih sambil menikmati manisnya buah kelengkeng. Alasannya sih masuk akal, “Kalau manis baru kita beli, makanya dicoba dulu”. Tapi kenapa nyobanya berkali-kali?

Tidak berbeda ketika memberikan larangan kepada anak-anak. Misalnya, “jangan disentuh” pasti disentuh, atau “jangan berisik” justru gaduhnya minta ampun. Dibilang jangan berlari, dia berlari, jangan masuk eh sudah di dalam. Suruh berdiri, dia duduk, begitu juga sebaliknya. Di Mall, seorang ibu yang berpesan “jangan kemana-mana ya nak, diam di sini”, sesaat kemudian kebingungan mencari anaknya ke seluruh sudut Mall.

Akhir pekan kemarin saat menjadi trainer outbound anak-anak SMA, anak-anak yang takut melintasi flying fox dimotivasi tidak dengan cara menyemangati, melainkan diminta untuk menyerah. “Sudah ya, menyerah saja. Daripada ragu-ragu, wajar kok kalau anak-anak takut”. Yang terjadi sebaliknya, ia maju dengan berani dan melewati semua rintangan. Dia bilang, “Siapa yang takut?”

Ini logika terbalik, dilarang justru dilakukan, tidak boleh diartikan sebagai izin, namun ketika diizinkan malah tidak melakukan apa-apa. Perintah tidak digubris, yang tidak diperintah malah dikerjakan.

Secara psikologis, kalimat “jangan”, “tidak boleh” atau “dilarang” mengandung rasa ingin tahu. Anak-anak maupun orang dewasa memiliki kecenderungan yang sama, jika dilarang lantas bertanya, “kenapa?”, maka reaksi selanjutnya adalah melakukan apa-apa yang “tidak boleh” dan “dilarang” itu untuk mengetahui sebab apa sesuatu itu dilarang.

Dilarang main api, maka ada yang nekat main api. Ketika terjadi kebakaran, barulah ia mengerti kenapa main api itu dilarang. Orang belum bisa percaya bahwa membuang sampah sembarangan itu bisa menyebabkan banjir, bahkan menebang pohon secara serampangan akan mengakibatkan banjir bandang. Nanti jika sudah benar-benar terjadi banjir, barulah ia mengerti akibat perbuatannya. Masalahnya, sudah terlambat.

Seperti tulisan ini, meskipun judulnya “Jangan Dibaca”, Anda membaca juga kan? Begitulah kita, selalu memiliki rasa ingin tahu yang tinggi. Tidak masalah, sepanjang perasaan itu mampu diarahkan kepada hal-hal yang positif. (gaw).

http://warnaislam.com

Perantara Kebaikan

Di dunia ini selalu ada dua kutub yang seringkali sulit untuk bertemu satu sama lain. Meski sebenarnya, jarak keduanya tidaklah teramat jauh dan bahkan kerap berdekatan. Hanya saja, di antara kedua kutub ini berdiri dinding tebal, besar dan tinggi yang memisahkan.

Mereka yang berada di balik kedua dinding itu, satu sisi tak mampu mendaki ketinggiannya, sisi lain takut menuruni lembah yang curam. Satu pihak tak punya daya menghancurkan dindingnya, pihak lain tak ingin tangannya terluka, meski memiliki kekuatan untuk memecah ketebalan pemisah itu.

Si kaya dan si miskin adalah dua kutub yang seringkali tak bertemu meski jarak keduanya bisa saja sangat dekat bahkan berdampingan. Di sekitar rumah-rumah mewah, banyak berdiri gubuk reot dan rumah-rumah yang nyaris roboh. Penghuninya, janda tua, fakir miskin atau anak-anak yatim. Keduanya sering bertemu, tapi tak saling mengenal. Kerap berjalan beriringan, yang satu berjalan kaki, satu lainnya melintas cepat dengan mobil mewahnya.

Ada orang-orang yang tengah diuji dengan berbagai kesulitan, sementara di seberang lainnya terdapat orang-orang yang selalu mendapat atau memiliki segala kemudahan dalam hidup. Semestinya keduanya bisa bertemu, agar yang mendapat kesulitan bisa terbantu.

Tidak sedikit orang-orang yang hidup dalam kekurangan, sedangkan di pihak lain tidak sedikit pula mereka yang berkelebihan. Bukan karena yang kelebihan ini serakah dan tak berkenan berbagi kelebihannya kepada yang kekurangan. Dinding tebal dan tinggi kerap menghalangi langkah mereka menuju tempat-tempat yang kekurangan.

Begitu pula dengan soal makanan, ada orang-orang yang masih kelaparan di negeri ini. Namun ada pula yang terpaksa membuang makanannya karena berlebih atau bahkan kekenyangan. Bukan lantaran mereka senang makan berlebihan, atau punya kebiasaan membuang-buang makanan. Mereka hanya tak tahu dimana bersembunyi orang-orang yang kelaparan yang seharusnya mendapat bagian dari rezeki yang mereka punya.

Orang-orang yang terkena bencana, bukan tidak ada yang mau membantu atau memberikan sumbangan untuk meringankan penderitaannya. Sebenarnya, dermawan banyak bertebaran di berbagai tempat dan siap membantu, hanya saja mereka sering tak tahu dimana bencana itu terjadi dan bagaimana menyalurkan kedermawanannya.

Dua kutub lainnya, adalah orang-orang yang memiliki keterbatasan akses untuk mendapatkan ilmu pengetahuan sehingga sering dianggap orang-orang bodoh dan malas belajar. Padahal mereka hanya perlu dipertemukan dengan orang yang punya banyak buku-buku masih bermanfaat namun teronggok di gudang-gudang penyimpanan barang bekas. Ada yang bingung harus membeli lemari baru karena jumlah pakaiannya terus bertambah, sementara yang lain mengenakan pakaian yang itu-itu saja setiap hari.

Ada anak-anak yang kelebihan berat badan, ada pula yang kurang gizi. Ada yang bersekolah di gedung sekolah mewah berfasilitas lengkap dan modern, ada pula yang gedung sekolahnya nyaris roboh. Ada yang bingung tak punya sepatu, ada lagi yang bingung memilih sepatu. Ada yang mudah mengeluarkan uang seratus ribu rupiah, ada pula yang harus berdarah-darah untuk mendapatkan seribu rupiah.

Mudah mempertemukan dua kutub ini sepanjang ada orang-orang yang merelakan waktu, tenaga dan pikirannya untuk menjadi relawan. Mereka yang mau mendaki terjalnya tebing, memanjat tingginya dinding, menempuh perjalanan jauh, menerjang badai, angin, terik matahari serta gelap dan dinginnya malam, merelakan pundaknya menampuk beban guna menjadi perantara kebaikan.

Sebisa mungkin kita menjadi pelopor dan pelaku kebaikan, menjadi relawan itu pun sebuah kebaikan yang tak semua orang mau melakukannya. Namun ia juga berperan sebagai perantara orang yang memerlukan pertolongan dengan yang ditolong, orang yang kelebihan dengan yang kekurangan, antara mereka yang ingin berderma dengan mereka yang layak mendapat derma. Mereka juga menjadi penunjuk jalan bagi orang lain untuk menyampaikan sendiri kepeduliannya.

Tanyakan kepada mereka yang sudah menjalaninya, ada yang ingin berhenti menjadi perantara kebaikan? (gaw)

----------------------------------------------
artikel ini dipersembahkan untuk semua relawan pelangi, yang kemarin tergabung dalam kegiatan Lebaran Bareng Anak Yatim. Saya sudah buatkan milist khusus, silahkan bergabung di http://groups.yahoo.com/group/relawan_pelangi/- terbuka untuk siapa saja

Kopi Susu Singkong Keju

Bukan lantaran pagi ini saya menikmati singkong goreng yang masih panas mengepul sambil menyeruput kopi susu panas, kemudian tulisan ini berjudul seperti tertera di atas. Kopi susu sudah menjadi rutinitas pagi sebelum beraktifitas, seraya menyaksikan beragam berita pagi yang disajikan beberapa stasiun televisi.

Sejak dulu orang sudah mengenal kopi. Penikmati kopi sejati tahu persis jenis kopi paling enak di jagad raya, meski setiap orang dari berbagai daerah punya selera masing-masing. Kopi Jawa dianggap lebih lembut dari kopi Sumatera. Bahkan kopi Sumatera pun masih berbeda-beda rasanya, mulai dari Lampung sampai Aceh.

Cara meracik dan meminum kopi pun berbeda-beda, ada kopi tarik di Aceh karena cara meraciknya dengan cara ditarik seduhan kopinya ke atas menggunakan saringan dan dituangkan ke cangkir langsung dari saringan yang sudah ditarik ke atas. Di Blora, tepatnya di Cepu ada kopi kotok, entah kenapa namanya demikian, tetapi cara meraciknya lumayan menarik. Bubuk kopi, gula dan air direbus sama-sama di atas tungku sampai mendidih, baru kemudian dituangkan ke cangkir.

Kopi berwarna hitam dengan rasa dan aroma yang khas, cita rasa pahitnya sangat digemari berbagai kalangan, laki-laki dan perempuan. Begitu pula dengan susu, sebelum ada susu coklat, minuman ini identik dengan warna putih.

Hitam dan putih adalah dua kutub warna yang berseberangan, kerap dijadikan perumpamaan kebenaran dan kebatilan. Kasihan sekali si hitam yang selalu dianggap salah, padahal si putih tidak selalu benar. Iklan-iklan di televisi pun sering ikut-ikutan tidak adil merefleksikan kecantikan dengan kulit putih. Terlebih kita tidak pernah mendengar istilah “kambing putih” karena yang ada hanya “kambing hitam”.

Entah kapan orang pertama kali mencampur kopi dengan susu, sebab dahulu kopi dan susu ibarat minyak dan air, sesuatu yang tabu dicampur. Kopi ya kopi, berwarna hitam. Susu juga susu saja, putih warnanya. Namun setelah dicampur aduk antara keduanya, tersajilah sebuah minuman yang tak kalah nikmatnya, kopi susu. Orang yang sebelumnya tidak suka susu, tapi kalau dicampur dengan kopi jadi suka susu. Sebaliknya pun begitu, yang sebelumnya tak minum kopi, jadi minum kopi setelah dipadu dengan susu. Sekali seruput dua rasa ternikmati, cita rasa bubuk kopi pahit, berpadu di lidah bersama manisnya susu yang semriwing.

Mengisi pagi dengan seruputan kopi susu belum lengkap jika tidak disertai camilan. Ada pilihan menarik, kalau orang betawi di masa lalu pilihannya ada dua, roti dan singkong. Roti isi keju salah satu favorit camilan untuk menemani kopi, ini bagi yang mampu. Bagi sebagian yang lain, pilihannya cuma ‘roti sumbu’ alias singkong.

Maka jadilah singkong dan keju ibarat langit dan bumi untuk menggambarkan si miskin dan si kaya, anak gedongan dengan anak kolong jembatan, orang mampu dengan orang yang baru bisa mimpi. Kalau bisa makan keju serasa tuan tanah, sementara yang lain cukup makan buah tanah, ya singkong itu.

Tetapi kreativitas orang-orang di negeri ini membuat jarak langit dan bumi itu menjadi rapat. Kemudian ada makanan nikmat yang disebut singkong keju, dinikmati berbagai lapisan masyarakat, tua dan muda, tak pandang status sosial. Yang sebelumnya ‘alergi’ dan merasa bukan kelasnya makan singkong, ikut menikmati. Begitu juga yang sebelumnya rasa keju masih aneh di lidah, karena niatnya makan singkong, ya lahap juga.

Sekarang bayangkan, pagi hari menonton berita Barrack Obama menjadi Presiden terpilih Amerika Serikat, atau sambil membaca koran dengan tema yang nyaris tak ada bedanya, tidak akan senikmat menyeruput kopi susu panas ditemani singkong keju yang hangat. Hmm…

Minum kopi saja sudah enak, tapi dicampur susu pun tak kalah nikmatnya. Singkong digoreng empuk hanya berbumbu garam saja sudah lezat, ditaburi keju di atasnya pasti bikin ketagihan.

Begitulah hidup, bagi sebagian orang mungkin hidup sendiri sudah merasa cukup. Tapi hidup berdampingan, akur dan bersabahat dengan tetangga dari berbagai daerah dan latar belakang, jauh lebih indah. Mengandalkan kekuatan sendiri, mungkin sudah mampu. Namun bersinergi dengan kekuatan yang dimiliki orang lain, bayangkan betapa mudahnya hidup ini. Segala yang berat terasa ringan dikerjakan bersama-sama, semua yang tidak mungkin tercapai, tiba-tiba terasa mudah terwujud.

Ada yang tidak suka kopi susu dan singkong keju? Masih ada pilihan lain kok, bisa kopi coklat, mocca atau singkong coklat… (gaw)

Isteri Simpanan

Seandainya judul tulisan ini "Simpanan Isteri", entah apakah ada yang tertarik untuk membacanya atau tidak. Kalau pun ada, seyakinnya saya tidak akan sebanyak jika judulnya tetap seperti tertera di atas. Mungkin tidak banyak yang tertarik untuk meng-klik judul di atas untuk kemudian membacanya.

Meski dua kata yang dipakai sama, namun hanya sekadar membalikkan urutannya artinya sangat jauh berbeda. “Simpanan isteri” sangat tidak menarik, orang hanya akan berpikir sebentar dan memahaminya sebatas, “ooh, mungkin maksudnya tabungan, perhiasan atau barang berharga lainnya yang disimpan oleh sang isteri”. Tapi kalau “Isteri simpanan”, wah ini jelas lebih menarik, mengguncang stabilitas rukun tetangga, rukun warga, hingga kelurahan.

Simpan berarti meletakkan sesuatu di tempat yang rapih dan aman. Dengan akhiran ‘an’ di belakang kata tersebut, bermakna sesuatu yang diletakkan oleh seseorang secara rapih dan aman. Jadi, isteri simpanan berarti isteri yang diletakkan –ditempatkan- di satu lokasi yang rapih dan aman. Aman dari siapa? Tentunya aman dari penglihatan dan penciuman isteri pertama.

Di suatu kampung, terdengar desas-desus bahwa perempuan Y ternyata simpanan seorang pejabat di Jakarta. Pantas saja rumahnya besar, mobilnya bagus, pakaiannya bermerk, telepon selularnya sering gonta-ganti, padahal ia tidak bekerja, bukan pengusaha ataupun selebritis. Ini baru gosip, tapi secepat kilat menyebar seantero kampung. Si Y pun langsung menjadi buah bibir ibu-ibu –juga bapak-bapak- sekampung.

Di kampung lain terjadi kehebohan, seorang pria setengah baya yang belum lama menceraikan isterinya yang dianggap sudah tidak menarik, tak berapa lama terlihat sudah menikah lagi dengan isteri muda yang lebih cantik, singset, ranum dan segar. Ketika ditanya tetangganya, dengan enteng dia menjawab, “tukar tambah”.

Meledaklah seisi kampung, dari mulut ke mulut tema yang dibicarakan cuma satu, “isteri kok tukar tambah, memangnya motor!” Tidak peduli lagi apakah istilah “tukar tambah” yang keluar dari mulut pria itu sekadar gurauan atau basa-basi. Yang pasti soal tukar tambah isteri sudah menjalar bahkan memancing pria-pria lain untuk bertanya, “Dimana toko yang jual isteri macam punya situ? Pesan satu dong… ”

Lain lagi di kampung yang tak jauh dari kampung tadi, seorang janda muda diduga sering menginapkan lelaki yang bukan suaminya di rumahnya. Ibu-ibu, juga bapak-bapak ribut mencari tahu kebenaran berita tersebut, tapi hanya dari sumber-sumber yang tidak jelas. Tidak berani langsung dari sumber aslinya. Ini baru dugaan, isu yang belum dapat dibuktikan. Tapi beritanya sudah meluberi kampung, menutupi kenyataan sebenarnya bahwa lelaki yang sering menginap itu adalah adik kandung janda itu yang sangat perhatian terhadap kakak perempuannya.

Gosip, isu, sak wasangka, kabar burung, atau apapun istilahnya yang berkonotasi “katanya-katanya”, sangat cepat berhembus dari satu pintu ke pintu rumah kita. Dari mulut ke mulut seperti tanpa batas, tanpa filter terserap begitu saja. Tidak ada check dan re-check (tabayyun) alias konfirmasi langsung kepada yang bersangkutan, layaknya seorang wartawan senior di medan perang, bersemangat sekali kita menyampaikannya kepada khalayak pendengar sekampung.

Beda ceritanya kalau berita yang terdengar merupakan prestasi, keberhasilan, kesuksesan seorang warga. Misalnya ada yang naik pangkat, juara kelas, terpilih sebagai ibu teladan, diterima sebagai pegawai negeri sipil, atau berbagai prestasi lainnya. Bukan hanya segelintir orang saja yang tahu, karena tema kebaikan dan hal-hal positif di lingkungan warga itu memang tidak menarik untuk dibicarakan.

Kalau pun ada yang membicarakan, ujung-ujungnya negatif. “jelas saja naik pangkat, dia kan sahabat dekat direkturnya” atau “kalau bukan nyontek sewaktu ujian, mana mungkin dia bisa juara kelas” dan “pasti nyogok, kalau tidak, bagaimana dia bisa jadi pegawai negeri”.

Entah kenapa, ada kecenderungan hati dan pikiran masyarakat kita senang terhadap hal-hal yang tak menyenangkan bagi orang lain namun menyenangkan untuk dibicarakan. Energi untuk mengetahui atau mencari tahu keburukan orang lain sangat besar. Sebaliknya, kesenangan, kebahagiaan orang lain kerap disikapi sinis, dengki dan iri hati. Kita tidak senang jika orang lain senang, dan kalau orang lain susah, itulah kebahagiaan kita.

Coba jujur, di lingkungan tempat tinggal kita masing-masing, lebih banyak mana yang beredar, berita negatif berbumbu gosip, isu, kabar burung dan prasangka, atau kepastian tentang prestasi seseorang? Atau mungkin karena telinga kita sudah biasa terpasang lebar untuk kabar-kabar beroma “kata si anu”. Boleh jadi karena kita terlalu banyak menonton acara gosip bertajuk infotainment di televisi.

Sekarang jawab, lebih tertarik mana judul “Isteri Simpanan” atau “Simpanan Isteri”? (gaw)

Ustadz Harus Ganteng?

Ada ustadz bagus, mumpuni, sarat ilmu, dilengkapi dengan teknik penyampaian yang memikat. Sayangnya, sang ustadz dianggap memiliki kekurangan, tampangnya tidak menarik alias tidak bisa dibilang tampan. “gesture-nya nggak pas, kurang menjual,” ujar seorang produser televisi.

Setelah hunting kesana kemari, mencari informasi dari berbagai sumber, didapatlah seorang ustadz yang diinginkan. Sarat pertama, tampan alias ganteng. Wajah bersih, menarik, good looking, dan yang paling utama; menjual! Sedangkan sarat lainnya, soal kapasitas keilmuan, bobot materi, bahkan integritas kepribadian, bisa jadi nomor sekian.

Materi bisa saja ada yang menuliskan, kepasitas keilmuan bisa sambil jalan, integritas kepribadian bisa dikamuflase dengan wajah rupawan dan keahlian retorika yang memikat. Maka jadilah sosok ustadz atau ustadzah hasil sulapan, yang ditampilkan demi meraup keuntungan melalui mekanisme rating dan selera pasar, sekaligus keinginan pihak sponsor.

Ustadz dan ustadzah ini, karena kegantengannya dan kecantikannya cepat meroket, melesat bak selebritis. Bahkan hampir tidak ada bedanya dengan selebritis, sebab ia pun kerap masuk dalam beragam acara infotainment yang sebelumnya menjadi hegemoni penuh para selebritis kita. Dan lantaran ingin memenuhi selera pasar pula, penampilan sang ustadz dan ustadzah pun dipermak layaknya seorang artis. Pakaiannya jadi trendsetter, banyak para jamaah yang berupaya mengikuti semua gaya dan penampilannya, dari baju gamis, kacamata, jilbab sampai sepatu.

Ustadz dan ustadzah pun jadi bintang iklan, cenderung dimanfaatkan oleh orang-orang yang mencari keuntungan dari popularitas keustadz-annya. Mereka pikir, ustadz dan ustadzah kan punya pengikut, jamaah atau bahkan fans, jadi yang diincar itu bukan ustadznya, tapi yang berada di belakang ustadz itu.

Kemudian, makin terkenallah ustadz dan ustadzah ini, diundang ceramah ke berbagai daerah dan kota seluruh Indonesia, sampai ke luar negeri. Kehadirannya disambut meriah, pakai tepuk tangan agar tambah ramai. Ustadz dielu-elukan, dan orang-orang pun berebut menyentuh tangannya untuk diciumi tidak peduli ustadznya masih muda, sedangkan yang mencium tangan muda itu adalah lelaki tua yang jalannya sudah membungkuk.

Permintaan ceramah pun semakin banyak, sehingga ustadz bisa memilih mana bayaran yang paling besar jika terdapat jadwal yang bentrok. Bahkan pada saatnya, sang ustadz melalui managernya boleh mengajukan tarif tertentu kepada panitia penyelenggara atau tidak jadi sama sekali. Maklum, permintaan tinggi, harga juga bisa ditinggikan.

Gigit jarilah para pengurus masjid di kampung-kampung, di desa-desa dan di berbagai pelosok negeri yang nyata-nyata tidak sanggup menyediakan uang transport dan akomodasi yang memadai saat harus mengundang ustadz kondang ini berceramah di masjidnya. Sebab, kelas ustadz ini memang bukan lagi di masjid-masjid kecil, di kampung-kampung becek, melainkan di masjid besar, dan hotel.

Coba hitung, selain tarif yang mahal, masih harus menyediakan tiket pesawat, akomodasi yang layak sekelas selebritis. Ujung-ujungnya, ustadz kampung lagi yang dipakai, selain bayarannya murah, tidak perlu tiket pesawat, hotel, dan bisa dijemput pakai motor. Meskipun seringkali yang disebut ustadz ‘kampung’ ini kualitasnya boleh jadi lebih bagus dari ustadz kondang dari kota. Baik kualitas materinya, juga integritas kepribadiannya. Sayangnya, jamaah kita sudah silau oleh ketenaran sang ustadz kota.

Ketika seorang teman bertanya, “Ssst… hati-hati bicara seperti itu. Memangnya siapa ustadz yang Anda maksud?”

Belum ada sih, ini hanya kekhawatiran saya saja. Makanya saya sering titip pesan kepada para ustadz-ustadz muda yang ganteng, bobot ilmunya bagus dan integritas kepribadiannya tidak diragukan, “Ustadz, jangan mau ditawarin masuk tv ya, saya khawatir ustadz jadi susah ditemui. Nanti saya kalau mau konsultasi atau tanya soal agama harus lewat manager ustadz…”

Kalau ustadz yang lain, yang kualitasnya keilmuannya sama baiknya, punya integritas kepribadian yang juga menarik, namun secara fisik tak bakal dilirik stasiun televisi, saya cukup tersenyum dengan ungkapannya, “kalau semua ceramah di tv, terus yang ceramah di masjid-masjid kampung siapa?”

Ustadz oh ustadz, nggak harus ganteng kok jadi ustadz. (gaw)

http://warnaislam.com

Judulnya Usil

Putri sulung saya bilang, “teman teteh mengaku gerah kalau lihat teteh pakai jilbab terus. Katanya, pasti dia nggak tahan kalau pakai jilbab”. Kemudian saya tanya, “teteh merasa gerah nggak?” jawabnya, “Ya nggak lah, aneh ya, teteh yang pakai jilbab kok teman yang gerah”.

Kemarin, saat berada di Jogja Islamic Book Fair, banyak pengunjung pameran yang mengenakan cadar (penutup wajah). Seorang teman sempat bertanya, “repot nggak ya kalau mau makan?” “bagaimana kita tahu kalau dia tersenyum atau tidak?”. Ini soal keyakinan, adapun soal repot atau tidak, bukan urusan kita. Buktinya mereka masih bertahan dengan cadarnya itu.

Lain lagi dengan para lelaki yang senang mengenakan celana ngatung alias celana yang menggantung, ujung celananya hanya sampai kira-kira sepuluh centimeter di atas mata kaki. Teman yang lain berkomentar, “betah ya mereka pakai celana begitu, kan nggak semua tempat pantas dikunjungi dengan celana model seperti itu”.

Sebenarnya, orang yang mengenakan celana ngatung itu terlihat nyaman dan santai-santai saja. Problemnya justru ada di teman yang berkomentar itu, orang lain yang pakai celana ngatung, kenapa dia yang merasa tidak nyaman. “Nggak betah melihatnya,” komentar tambahannya.

Di tempat lain, sering terlihat orang-orang yang di jalan raya sambil menenteng tas besar berisi beragam produk. Berjalan kaki sambil dipayungi terik matahari, mengenakan kemeja lengan panjang plus dasi! Ada lagi yang berkomentar, “Keren nggak, gerah iya. Panas-panas di jalan raya masih pakai dasi…”

Jalan raya dan tempat-tempat umum lain, layaknya catwalk. Di kantor, di rumah sakit, sekolah, kampus, jalan raya, bis kota, ruang pameran dan tempat lainnya terdapat jutaan peraga busana dengan aneka ragam model penampilan. Kita sering berperan sebagai tim penilai, padahal kita sendiri tengah dinilai.

Kadang, tanpa disadari mulut ini sering usil dan dengan mudahnya mengomentari penampilan orang lain. Apa saja yang terasa ganjil di mata selalu menjadi sasaran mulut jahil ini untuk berkomentar, memberi penilaian layaknya juri lomba fashion. Orang lain yang pakai jilbab, kita yang gerah. Melihat orang pakai baju bolong-bolong, kita yang malu. Ada yang jenggotnya panjang, kita yang geli, dan orang lain yang senang pakai dasi justru kita yang pusing.

Memang tidak sedikit orang yang belum memahami soal estetika dalam berpenampilan. Dalam pemilihan model, baik model pakaian maupun aksesoris yang menempel di tubuh, termasuk rambut. Ada yang ingin jadi trendsetter ada pula yang follower, tidak peduli pantas atau tidak. Begitu pula soal pilihan warna, sering sekali berseliweran orang dengan warna pakaian yang tidak cocok dengan warna kulitnya.

Tapi kalau mau jujur, yang aneh itu sebenarnya bukan orang-orang yang sering dianggap salah kostum –saltum- itu. Sesungguhnya yang aneh adalah orang yang banyak komentar soal penampilan orang lain, seolah tidak ada hal lain yang lebih layak untuk dipikirkan atau dikomentari. Sayang sekali energi dihabiskan untuk menilai orang lain sementara yang bersangkutan tidak peduli dan tetap percaya diri dengan penampilannya.

Lebih aneh lagi, karena pada saat yang sama, kita sering lupa menilai penampilan diri sendiri, apakah sudah cukup pantas, rapih, dan enak dipandang. Saking sibuknya menilai penampilan orang lain, padahal orang lain pun sebenarnya tengah menilai penampilan kita yang juga tak sedap dipandang. Jadilah orang aneh menilai orang aneh.

Memilih dan menentukan penampilan biasanya orang memertimbangkan dua hal, kepercayaan diri dan selera orang. Di dalamnya termasuk soal estetika, kepantasan, trend dan mode, dan lain sebagainya. Namun seringkali hanya satu dari dua hal tadi yang dijadikan dasar, ada yang mengandalkan rasa percaya diri, tidak peduli orang suka atau tidak. Ada pula yang menuruti selera orang, masa bodoh pantas atau tidak di tubuh sendiri.

Jadi yang lebih baik bagaimana? Percaya diri boleh, juga jangan terlalu menuruti selera orang. Masukan dari orang lain diseimbangkan dengan proporsi tubuh dan yang pasti daya beli. Hormati saja penampilan orang lain, toh belum ada yang mengusik penampilan Anda kan? Yang lebih penting dari itu, sebelum banyak komentar soal penampilan orang, lihat dulu diri sendiri. (gaw)

Miskin Syukur

taken from http://warnaislam.com

Pagi hari masih bisa beli nasi uduk, lengkap dengan bihun, tempe goreng atau semur jengkol sebenarnya sudah bagus. Tetapi kerap mulut berbicara lain, “Nasi uduk melulu, nggak ada makanan lain?” Akhirnya sampai sore sepiring nasi uduk itu tak disentuh sama sekali.

Sudah sepuluh tahun bekerja dan punya penghasilan tetap saja mengeluh, “Kerja begini-begini saja, nggak ada perubahan, gaji sebulan habis seminggu…” Belum lagi ‘nyanyian’ isteri di rumah, “cari kerja tambahan dong pak, biar hidup kita nggak susah terus”

Dikaruniai isteri yang shaleh dan baik masih menggerutu, “baik sih, rajin sholat, tapi kurang cantik…” Tidak beda dengan seorang perempuan yang menikah dengan pria bertampang pas-pasan, “Sudah miskin nggak ganteng pula. Masih untung saya mau nikah sama dia…”

Punya kesempatan memiliki rumah meski hanya type kecil dan rumah sangat sederhana tentu lebih baik dari sekian orang yang baru bisa mimpi punya rumah sendiri. Disaat yang lain masih ngontrak dan nomaden, mulut ini berceloteh, “Ya rumah sempit, gerah, sesak. Sebenarnya sih nggak betah, tapi mau dimana lagi?”

Sudah bagus suaminya tidak naik angkot atau bis kota berkali-kali karena memiliki sepeda motor walau keluaran tahun lama. Eh, bisa-bisanya sang isteri berkomentar, “Jual saja pak, saya malu kalau diboncengin pakai motor butut itu”.

Ada lagi yang dikaruniai anak, sudah bagus anaknya terlahir normal, tidak cacat fisik maupun mental. Gara-gara anaknya kurang cantik atau tidak tampan, ia mencari kambing hitam, “Bapak salah milih ibu nih, jadinya wajah kamu nggak karuan begini”. Padahal di waktu yang berbeda, ibunya pun berkata yang hampir mirip, “Maaf ya nak, waktu itu ibu terpaksa menikahi bapakmu. Habis, kasihan dia nggak ada yang naksir”.

Kita, termasuk saya, tanpa disadari sudah menjadi orang-orang miskin. Bukan karena kita tidak memiliki apa-apa, justru sebaliknya kita tengah berlimpah harta dan memiliki sesuatu yang orang lain belum berkesempatan memilikinya. Kita benar-benar miskin meski dalam keadaan kaya raya, karena kita tak pernah bersyukur dengan apa yang dianugerahkan Allah saat ini. Ya, kita ini miskin rasa syukur.

Punya sedikit ingin banyak, boleh. Dapat satu, ingin dua, tidak dilarang. Merasa kurang dan mau lebih, silahkan. Tidak masalah kok kalau merasa kurang, sebab memang demikian sifat manusia, tidak pernah merasa puas. Pertanyaannya, yang sedikit, yang satu, yang kurang itu sudah disyukuri kah?

Pada rasa syukur itulah letak kekayaan sebenarnya. Berangkat dari rasa syukur pula kita merasa kaya, sehingga melahirkan keinginan membagi apa yang dipunya kepada orang lain. Kita miskin karena tidak pernah mensyukuri apa yang ada. Meski dunia berada di genggaman namun kalau tak sedikit pun rasa syukur terukir di hati dan terucap di lisan, selamanya kita miskin.

Coba hitung, duduk di teras rumah sambil sarapan pagi, ditambah secangkir kopi panas yang disediakan isteri shalihah. Sesaat sebelum berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor, lambaian tangan si kecil seraya mendoakan, “hati-hati Ayah…”. Subhanallah, ternyata Anda kaya raya! (gaw)

Monday, November 03, 2008

Senior Selalu Benar?

Saya pernah menabrak sebuah angkutan kota atau biasa disebut ‘angkot’. Motor saya hancur, begitu juga kaca bagian belakang angkot tersebut. Nahasnya, saat itu saya tak sadarkan diri setelah terbang beberapa meter dan terjerembab di selokan pinggir jalan raya. Hasilnya, pergelangan kiri saya patah dan terdapat banyak memar di sekujur tubuh.

Bukan soal lukanya yang menarik untuk diceritakan, melainkan komentar teman saya beberapa hari usai kecelakaan tersebut. “Yang salah kamu, kenapa naik motor di belakang angkot?” Saya tidak terima, “Jelas-jelas angkot itu ngerem mendadak lantaran mau ambil penumpang tapi tidak menepi terlebih dulu…”

Lalu teman saya berujar, “Bukankah dari jaman Belanda menjajah negeri ini kelakuan sopir angkot sudah seperti itu? Makanya belajar sejarah…” Saya hanya bisa geleng-geleng kepala pertanda tak setuju.

Intinya, menurut teman saya itu, kalau mobil kita diserempet angkot yang salah tetaplah bukan angkot, “siapa suruh dekat-dekat angkot?” kilahnya. Terus, kalau sering dibuat kesal harus ngerem mendadak gara-gara angkot yang kerap berhenti seenaknya, lagi-lagi yang salah bukan angkot, melainkan orang yang berkendara di belakang angkot.

Begitu pula ketika sebuah angkot yang ‘ngetem’ bikin macet sepanjang ratusan meter, tiba-tiba seorang pengendara mobil yang melintasi angkot tersebut berteriak, “Sopir g****k! Minggir dong…”. Sudah tahu kan jawaban sopir angkot? “Kalau pintar, saya nggak jadi sopir angkot”

Kisah lain tentang seorang Kyai di sebuah Pesantren di Subang, Jawa Barat. Suatu hari saya dan beberapa teman menumpang sholat maghrib di pesantren tersebut. Saat itu, Kyai yang merupakan pendiri sekaligus pimpinan pesantren yang memimpin sholat melakukan kekhilafan, sholat maghrib hanya dilakukan dua rakaat. Serempak, saya dan beberapa teman mengucap “Subhanallah” saat Pak Kyai mengucap salam sebagai tanda akhir sholat, padahal baru rakaat kedua. Berkali-kali kami mengucap “Subhanallah” untuk mengingatkan, dan anehnya Kyai tenang saja dan tidak merasa ada yang kurang.

Yang lebih aneh lagi, selain kami, tidak ada satupun jamaah yang turut mengingatkan kurangnya rakaat itu kepada Pak Kyai, termasuk para ustadz dan santrinya. Bahkan usai kami menyelesaikan rakaat ketiga, seorang ustadz menghampiri dan berbisik, “Kalau Kyai salah tidak perlu diingatkan, kami beranggapan kalau Kyai khilaf itu berarti Allah memang berkehendak demikian”.

Masya Allah, jadi sebenarnya para ustadz dan santri itu menyadari kekeliruan Pak Kyai. Hanya saja selain mereka sungkan lantaran menilai Kyai itu memiliki kelebihan ilmu dan kemuliaan, kekeliruan Pak Kyai pun dianggap satu kehendak Allah.

Masih berkenaan dengan kesalahan atau kekeliruan, kita tentu pernah mendengar kalimat seperti ini, “Pasal satu; senior selalu benar. Pasal dua; jika senior melakukan kesalahan, lihat pasal satu”.

Konon, mulanya dua pasal kramat itu berlaku di lingkungan militer. Soal kebenarannya, saya tidak berani memastikan. Tetapi pasal ini sangat terkenal dan bukan hanya berlaku di lingkungan militer. Ketika saya mengikuti masa orientasi dan pengenalan kampus awal tahun 1990-an silam, pasal ini pun berlaku hebat. Sehingga para senior saya bebas melakukan tindakan sewenang-wenang dan sesukanya kepada para junior.

Aksi balas dendam pun menjadi turun temurun diwariskan dalam lingkungan yang menerapkan dua pasal ini. Baik di lingkungan militer, kampus semi militer, sampai kampus dan sekolah menengah umum yang tidak ada hubungannya dengan militer. Saya tidak tahu apakah pasal sakti ini masih dipakai di lingkungan militer, kampus atau sekolah?

Dari tiga kasus di atas, bisa diambil pelajaran yang menarik untuk dikupas secara singkat. Tiga jenis orang yang melakukan kesalahan, pertama; orang yang sudah biasa melakukan kesalahan, sehingga kesalahan demi kesalahan dianggap wajar dan biasa oleh orang lain yang melihatnya. Bila ia melakukan kesalahan dan merugikan orang lain, maka yang dirugikanlah yang diminta berdiam diri dan tak perlu melawan atau menasihati yang salah.

Kedua; lantaran dianggap berilmu dan memiliki kemuliaan, kekeliruan dan kesalahan seolah menjadi sesuatu yang muskil dilakukan orang ini. Menasihati atau mengingatkan kesalahan orang ini adalah hal tabu dan menghinakan. Siapapun yang melihat orang ini melakukan kesalahan, harus menutup mulut dan memandangnya secara wajar.

Ketiga, jabatan dan pangkat kerap mempengaruhi nilai-nilai kebenaran. Seringkali seorang bawahan sungkan menegur atau mengingatkan atasannya demi menyelamatkan karirnya, “daripada saya dipecat” alasannya. Tindakan cari selamat pun jadi budaya di berbagai tempat dan lingkungan.

Haruskah dipertahankan kekeliruan seperti ini? Atau justru kita menjadi bagian yang terus menerus membudayakan tradisi ini? Tidak! Sudah waktunya mengungkap kebenaran itu menjadi tradisi, bukan sebaliknya. Sudah saatnya orang yang benar itu lebih berani dari mereka yang melakukan kesalahan. Dan bukan waktunya lagi kita malu menegur orang yang keliru, karena semestinya mereka lah yang malu karena sering berbuat salah. Semoga (gaw)