Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, July 26, 2007

Harga Murah Ajakan ke Surga

Seingat saya, sekitar tahun 2001, saya dan kawan-kawan berencana mengundang Hadad Alwi dan duetnya, Sulis, untuk mengisi acara di sebuah acara keagamaan. Berhubung kamit tidak punya kontak langsung dengan pelantun shalawat yang tengah ngetop saat itu, maka kami bertanya kepada salah seorang teman yang mengaku punya akses. Namun kami sungguh terperangah mendengar informasi dari rekan tersebut bahwa untuk mengundang Hadad Alwi dan Sulis, harus menyiapkan dana tidak kurang dari 8 juta rupiah. Ketika itu, komentar singkat yang keluar dari mulut saya, “Dakwah kok mahal amat sih?

Dua tahun sebelumnya, bahkan saya dan kawan-kawan sempat tak kalah terperangahnya mendengar sebuah informasi yang memang harus dikonfirmasi kebenarannya. Bahwa untuk mengundang Aa Gym berceramah dalam sebuah tabligh perlu dana yang tak sedikit. “Wah, masak ustadz pasang tarif setinggi itu sih?” kira-kira begitu komentar saya saat itu.

Seiring dengan bertambahnya pemahaman diri ini akan penting dan strategisnya nilai dakwah, perlahan mulai bergeser pemikiran saya soal “harga” para ustadz tersebut. Ya, kenapa orang bersedia membayar mahal untuk menyelenggarakan konser musik rock atau dangdut dengan mengundang artis-artis hanya untuk berjingkrak-jingkrak dan bergoyang hingga larut malam bahkan sampai pagi.

Tidak sedikit orang rela merogoh kocek hingga ratusan ribu, sehingga memungkinkan panitia membayar sebuah grup band atau seorang penyanyi dengan harga puluhan hingga ratusan juta rupiah. Padahal para artis itu hanya mengajak orang-orang yang menontonnya untuk berjoget, bergoyang, berjingkrak-jingkrak dan sesekali ikut menyanyi. Bandingkan dengan para ustadz yang berceramah memberikan nasihat-nasihat kebaikan, mengajak kebenaran dan kalau boleh dibilang mendekatkan para jamaahnya kepada pintu surga. Berapa yang disiapkan panitia untuk membayar seorang mubaligh?

Kasihan sekali para da’i di kampung-kampung yang setiap hari menjalankan tugas mulia mengajak orang kepada kebaikan namun hanya mendapat bayaran ala kadarnya, bahkan tak jarang berbalas ucapan “terima kasih”. Bahkan penyanyi dangdut kampung pun bisa mendapatkan 200 sampai 500 ribu untuk tampil satu malam di sebuah hajatan pernikahan.

Tidak adil memang, orang-orang yang tak mengajak kepada kebaikan dibayar sangat mahal. Sementara mereka yang berpeluh, meneriakkan kebenaran seraya mengingatkan larangan-larangan Allah seringkali dilabeli harga yang tidak manusiawi. Terlepas dari adanya ustadz-ustadz yang berharga tinggi dan merangkap selebritis sekaligus, dalam level yang lainnya, kita memang kurang menghargai jasa mulia seorang da’i.

Saya pernah mendengar cerita, dalam sebuah kesempatan Opick, pelantun tembang religius yang sangat terkenal itu mendapat pertanyaan dari seseorang, “Apa benar untuk mengundang Opick harus membayar Rp. 5 juta untuk setiap lagu yang dinyanyikan?”

Mendengar pertanyaan tersebut, yang ditanya menjawabnya dengan serius, “Salah, yang benar Rp. 15 juta untuk setiap lagu. Masak saya kalah sama Inul…”

***

Sebenarnya, ini bukan tentang berapa jumlahnya yang harus kita bayarkan untuk seorang ustadz, muballigh atau da’i. Ini lebih tentang bagaimana kita memuliakan orang-orang yang membantu kita untuk terus mengingat Allah. Semoga

Gaw
bayugautama@yahoo.com

Monday, July 23, 2007

Rp. 1.500,- = Rp. 600.000,- (matematika Allah)

Tidak ada satu maksud apa pun ketika menuliskan cerita ini, semoga Allah menjaga hati ini dari sifat riya meski sebiji zarah pun.

_____________________________

Jum’at lalu, saya berangkat ke kantor dengan dada sedikit berdegub. Melirik ukuran bensin di dashboard motor, masih setengah. “Yah cukuplah untuk pergi pulang ke kantor”.

Namun, bukan itu yang membuat dada ini tak henti berdegub. Uang di kantong saya hanya tersisa seribu rupiah saja. Degubnya tambah kencang karena saya hanya menyisakan uang tidak lebih dari empat ribu rupiah saja di rumah. Saya bertanya dalam hati, “makan apa keluarga saya siang nanti?” Meski kemudian buru-buru saya hapus pertanyaan itu, mengingat nama besar Allah yang Maha Melindungi semua makhluk-Nya yang tawakal.

Saya berangkat, terlebih dulu mengantar si sulung ke sekolahnya. Saya bilang kepadanya bahwa hari ini tidak usah jajan terlebih dulu. Alhamdulillah ia mengerti. Soal pulangnya, ia biasa dijemput tukang ojeg yang –sukurnya- sudah dibayar di muka untuk antar jemput ke sekolah.

Sepanjang jalan menuju kantor saya terus berpikir, dari mana saya bisa mendapatkan uang untuk menjamin malam nanti ada yang bisa dimakan oleh isteri dan dua putri saya. Urusan besok tinggal bagaimana besok saja, yang penting sore ini bisa mendapatkan sesuatu untuk bisa dimakan.

Tiba di kantor, tiba-tiba saya mendapatkan sebungkus mie goreng dari seorang rekan kantor yang sedang milad (berulang tahun). Perut saya yang sejak pagi belum terisi pun mendesak-desak untuk segera diisi. Namun saya ingat bahwa saya tidak memiliki uang selain yang seribu rupiah itu untuk makan siang. Jadi, saya tangguhkan dulu mie goreng itu untuk makan siang saja.

Sepanjang hari kerja, terhitung dua kali saya menelepon isteri di rumah menanyakan kabar anak-anak. “sudah makan belum?” si cantik di seberang telepon hanya menjawab, “Insya Allah,” namun suaranya terasa getir. Saat itu, anak-anak sedang tidur siang.

Pukul lima sore lebih dua puluh menit saya bergegas ke rumah. Sebelumnya saya sudah berniat untuk menginfakkan seribu rupiah di kantong saya jika melewati petugas amal masjid yang biasa ditemui di jalan raya. Sayangnya, sepanjang jalan saya tidak menemukan petugas-petugas itu, mungkin karena sudah terlalu sore. Akhirnya, sekitar separuh perjalanan ke rumah, adzan maghrib berkumandang. Motor pun terparkir di halaman masjid, dan seketika mata ini tertuju kepada kotak amal di pojok masjid. “bismillaah…” saya masukkan dua koin lima ratus rupiah ke kotak tersebut.

Usai sholat, setelah berdoa saya meneruskan perjalanan. Tapi sebelumnya, tangan saya menyentuh sesuatu di kantong celana. Rupanya satu koin lima ratus rupiah. Kemudian saya ceploskan lagi ke kotak amal yang sama.

Sesampainya di rumah, isteri sedang memasak mie instan. Semangkuk mie instan sudah tersaji, “kita makan sama-sama yuk…” ajak si manis. Kemudian saya bilang, “abang sudah kenyang, biar anak-anak saja yang makan”. Anak-anak pun lahap menyantap mie instan plus nasi yang dihidangkan ibu mereka. Rasanya ingin menangis saat itu.

***

Keesokan paginya, isteri menggoreng singkong untuk sarapan. Alhamdulillah masih ada yang bisa dimakan. Sebenarnya hari itu masih punya harapan. Seorang teman isteri beberapa hari lalu meminjam sejumlah uang dan berjanji mengembalikannya Sabtu pagi. Namun yang ditunggu tidak muncul. Bahkan ketika terpaksa saya harus mengantar isteri menemui temannya itu, pun tidak membuahkan hasil.

Tiba-tiba telepon saya berdering, “Pak, saya baru saja mentransfer uang satu juta rupiah ke rekening bapak. Yang empat ratus ribu untuk pesanan 20 buku bapak yang terbaru. Sisanya rezeki untuk anak-anak bapak ya…” seorang sahabat dekat memesan buku karya saya yang terbaru.

Subhanallah, Allahu Akbar! Saya langsung bersujud seketika itu. Saya hanya berinfak seribu lima ratus rupiah dan Allah membalasnya dengan jumlah yang tidak sedikit. Ini matematika Allah, siapa yang tak percaya janji Allah? Yang terpenting, siang itu juga saya buru-buru mengeluarkan sejumlah uang dari yang saya peroleh hari itu untuk diinfakkan.

***

Saya bersyukur tidak memiliki banyak uang maupun tabungan untuk saya genggam. Sebab semakin banyak yang saya miliki tentu semakin berat pertanggungjawaban saya kepada Allah.

Gaw

Duh, Kemarin Tak Berinfak

Saya terus bertanya-tanya, sebab apa yang membuat hari kemarin terlupa berinfak. Meski pun di hari kemudian saya menggandakan infak dengan harapan bisa menutupi celah yang kemarin berlubang, namun tetap saja ada perasaan bersalah. Meski pula tak ada sedikit pun kesengajaan untuk tak berinfak, dan saya yakini hanya karena terlupa, tetap saja pikiran ini terus menerus bertanya, kenapa lupa?

Sekarang saya harus banyak merenung dan membayangkan akibat apa yang bakal saya alami selepas tragedi “lupa” berinfak hari kemarin itu.

Tentu saya tak boleh marah jika tiba-tiba Allah sempat memutus aliran rezeki, entah hari ini, besok, lusa atau entah kapan. Sebab dengan tak berinfak hari kemarin, berarti saya telah memutus rezeki orang lain yang berhak. Boleh jadi, akibat terputusnya infak di hari kemarin itu, ada perut-perut yang teriris menahan lapar. Ada tubuh lemah yang semakin melemah akibat sakit yang dideritanya berhari-hari tanpa pengobatan. Bahkan, saya tak harus merasa sakit hati kalau suatu hari nanti saya merasakan tidak punya satu apapun untuk bisa dimakan, termasuk oleh isteri dan anak-anak saya. Ya, gara-gara kemarin tak berinfak, bisa dipastikan ada yang tak memiliki apa pun untuk pengganjal perut laparnya.

Saya pun tak boleh kecewa jika segala apa yang saya upayakan di hari-hari berikutnya terus menerus menemui kebuntuan. Sebab dengan tak berinfak hari kemarin, sangat mungkin saya turut bertanggungjawab atas putusnya sekolah anak-anak yatim. Sangat masuk akal pula akibat terlupanya saya berinfak, akan banyak urusan, kepentingan dan pekerjaan saya yang tak selesai dan tak berhasil. Mungkin karena saya juga tak membantu menyelesaikan urusan orang-orang yang semestinya menerima infak saya di hari kemarin itu.

Di hari-hari yang akan datang, tak ada satu alasan pun bagi saya untuk menggerutu jika segala yang mulanya mudah tiba-tiba menjadi sulit bagi saya. Sesuatu yang biasanya ringan berubah menjadi teramat berat. Jelas itu karena saya tak berinfak hari kemarin sehingga secara tidak langsung memberatkan urusan orang lain, menyulitkan kehidupan orang-orang yang berhak atas infak dan sedekah saya.

Esok atau suatu hari nanti, saya tak berhak menangis Jika salah satu harta benda yang saya miliki hilang, raib, entah dicuri, dicopet atau dengan cara apa pun. Saya harus benar-benar bisa menerima akibat itu, karena mungkin itu balasan dari tak berinfaknya saya di hari kemarin.

Saya tentu akan menyesal seumur hidup jika kemudian anak-anak yatim, kaum fakir miskin beramai-ramai melantunkan sebuah doa kepada Allah, “Ya Allah, hari ini kami tak mendapatkan apa pun dari para dermawan, dari orang-orang yang biasanya Engkau ringankan tangannya, dari orang-orang yang biasanya memudahkan urusan kami. Engkau Maha Tahu ganjaran yang pantas untuk mereka ya Allah…”

Dan karena doa itu, Allah beserta para malaikat bersama-sama meng-amin-i doa tersebut sehingga saya memang benar-benar menjadi orang yang pantas menyesal karena tak berinfak di hari kemarin.

Tinggallah saya berdoa hari ini, “Ya Allah, ampuni hamba. Jangan Kau putus rezeki hamba agar tak terputus pula hamba mensyukurinya dengan berinfak dan sedekah”

Dan …

Ya Hayyu ya Qayyum birahmatika astaghits
Ya Hayyu ya Qayyum birahmatika astaghits
Ya Hayyu ya Qayyum birahmatika astaghits

Aslih sya’ni kullahu wa la takilni ila nafsi tharfata ‘ainin


(Wahai Dzat Yang Maha Hidup dan Mengurus hamba-Nya… perbaikilah semua urusanku dan janganlah Engkau serahkan urusanku pada diri ini meski hanya sekejap mata)

Gaw

bayugautama@yahoo.com
http://gawtama.multiply.com

Thursday, July 19, 2007

Rezeki Tidak Pernah Salah Alamat

Jika Anda termasuk yang sering bercukur di tukang cukur bermerk “Pangkas Rambut”, cobalah bertanya kepada si akang pemangkas rambut tersebut perihal daerah asalnya. Hampir bisa dipastikan ia berasal dari Garut, Jawa Barat.

Tanyakan juga kepada para pedagang toko kecil yang banyak berdiri di sudut jalan atau ujung gang, biasanya mereka menjual rokok, penganan kecil seperti biskuit dan permen dan juga kebutuhan rumah tangga seperti sabun dan pasta gigi. Hampir semua pemilik warung kecil itu berasal dari Kuningan, Jawa Barat.

Semua pun tahu, bahwa nyaris semua penjahit yang pernah kita temui atau bahkan menjadi langganan kita berasal dari Sumatera Barat. Seperti halnya tempat-tempat penambal ban maupun bengkel motor di pinggir jalan itu kita panggil “Ucok” karena memang kebanyakan mereka asli Sumatera Utara. Dan kalau bicara soal kredit barang-barang kelontong, Tasikmalaya sangat lekat di telinga kita.

Memang tidak semua pemangkas rambut berasal dari Garut, atau penambal ban dan penjahit pakaian berasal dari daerah tersebut di atas. Namun secara mayoritas boleh lah dianggap demikian. Tentu sangat menarik memperhatikan fenomena ini menilik dari kenyataan bahwa rezeki memang sudah ada yang mengaturnya. Dan Allah Maha Adil membagi-bagi rezeki kepada setiap makhluk di muka bumi ini.

Hanya saja yang tak kalah pentingnya untuk dikaji yakni pernyataan bahwa memang tidak semua orang Sumatera Barat itu menjadi penjahit, seperti halnya tidak semua orang Tasikmalaya itu berprofesi sebagai tukang kredit. Meski pun seseorang lahir di Padang, besar di Padang, tetapi ia tidak pernah diajarkan atau menyentuh benda bernama mesin jahit, sampai kapan pun ia tidak akan pernah menjadi penjahit. Sebaliknya si Ucok anak si penambal ban, lantaran sejak melek sampai larut malam yang ia perhatikan adalah bagaimana bapaknya bekerja. Mulai dari mencopot ban dari kendaraan, melepas ban dalam, menambal yang bocor hingga memasangkannya kembali. Maka tak heran jika di usia belasan pun ia sudah mahir membongkar pasang ban kendaraan.

Lebih jelasnya, setiap orang itu akan mendapatkan rezeki tergantung dari keterampilan yang dimilikinya. Orang Garut yang pandai mencukur rambut, maka ia akan membuka usaha cukur rambut. Orang yang mendapatkan pelayanan dari keahlian si tukang cukur, akan membayar sesuai jerih payah dan keahlian tersebut. Sama halnya dengan kita, keterampilan apa yang bisa kita “jual” agar pihak lain mau mengeluarkan sejumlah uang sesuai keahlian yang kita miliki itu.

Intinya, jangan pernah berharap rezeki akan datang begitu saja tanpa ada satu usaha untuk menunjukkan satu bentuk keterampilan yang Anda miliki. Lebih dari satu keterampilan Anda miliki, insya Allah akan lebih pula yang bisa didapat. Tidak punya keterampilan satu pun, siap-siap selalu gigit jari karena kesempatan selalu terlewat begitu saja tanpa bisa kita raih.

Misalnya begini, pernah ada seorang kawan yang bertanya perihal lowongan di tempat saya bekerja. Kemudian saya tanya, “bahasa Inggris bisa? Bisa mengoperasikan komputer?” untuk dua pertanyaan tersebut, jawabannya sama: Tidak. Ooh, ya kalau begitu saya ajukan satu pertanyaan lagi, “Bisa mengemudi mobil?” berhubung saat itu di kantor memang sedang membutuhkan seseorang dengan keahlian tersebut. Nyatanya, ia juga menjawab “Tidak” meski dibubuhi kalimat pendukung, “tapi saya bisa belajar kok…”.

Agak sulit bagi siapa pun untuk membantu mencarikan pekerjaan buat seseorang yang tidak memiliki satu pun keterampilan. Bahkan seorang office boy (OB) sekalipun memiliki keterampilan khusus yang menjadi prasarat ia bisa diterima bekerja sebagai OB.

***

Rezeki tidak pernah salah alamat, itu pasti. Kalau mengibaratkannya dengan seorang tukang pos pengantar surat, ia tidak akan pernah kesulitan mengantar surat jika tertera alamat yang jelas dan lengkap. Ditambah lagi, si pemilik rumah pun semestinya menuliskan alamat rumahnya dengan jelas, seperti nomor rumah, RT/RW dan lain sebagainya, agar pas pos tak kesulitan mencocokkan alamat tertera di surat dengan alamat kita. Jangan salahkan jika tukang pos kebingungan mencari alamat kita, karena boleh jadi kita memang tak memasang alamat jelas di depan rumah.

Jadi, tunjukkan kemampuan, keterampilan, dan keahlian yang kita miliki. Agar orang lain bisa melihatnya dengan jelas dan memberikan kesempatan terbaik buat kita. Karena rezeki memang tidak pernah salah alamat, hanya kadang kita sendiri yang tak menunjukkan alamat jelas, sehingga seringkali rezeki berlalu begitu saja. (Gaw)

Monday, July 16, 2007

Taufik Savalas and Me!

Jujur, saya nggak kuat nulisnya. Saya sudah nangis duluan, terserah orang mau bilang saya cengeng, nggak peduli.

Tapi Bang Taufik itu, ya Allah, Engkau memanggil sahabat saya itu dengan cara yang .... saya nggak saya nggak sanggup menuliskannya. Tragis, menyeramkan, tapi bagaimana pun, itu hak prerogatif Allah yang Maha Menentukan dengan cara apa setiap makhluk menghadap-Nya.

Saya cukup mengenal sosok Bang Taufik. Awal perkenalan ketika saya meminta kesediaan beliau dan keluarga menjadi cover untuk majalah yang saya buat. Ternyata beliau bersedia. Itu kira-kira tahun 2004 akhir.

Waktu yang ditentukan pun tiba, Bang Taufik dan Teh Rina serta dua anaknya yang masih imut-imut datang ke studio untuk sessi pengambilan gambar. Wardrobe yang dipakai disediakan oleh "Rumah Klambi" sebuah butik milik sahabat saya, Dewi Ma'rifat Ba'aman. Ternyata, baju-baju rancangan Dee (dewi), dipakai juga oleh Teh Inneke, Dewi Hughes, dll.

Dan yang mengagumkan, dia nggak mau dibayar untuk sessi foto itu. "bayaran saya diinfakkan saja ya, itu pun kalau ada bayarannya". Duh, kata-kata itu seketika teringat lagi.

Setelah sessi pemotretan itu, saya pun bikin janji untuk wawancara. Ini agak terbalik memang, biasanya wawancara dulu, baru foto. Tapi karena beliau bisanya begitu, ya mau nggak mau diikutin saja.

Akhirnya, saya dan rekan berkesempatan menyambangi rumah Bang Taufik di Villa Ilhami, Tangerang. Bang Taufik itu ramah, cerdas, kocak pasti, dan sangat religius. Di rumah beliau itu, saya baru tahu kalau Bang taufik punya puluhan anak asuh di Serang.

Beliau sangat dekat dengan anak-anaknya. Saya masih simpan majalah yang memuat Bang taufik dan keluarga sebagai covernya. Waktu wawancara, berkali-kali Bang taufik dengan sabar meladeni beragam permintaan anaknya. "begini nih caranya jadi bapak yang baik" katanya. duh, terima kasih bang atas pelajarannya.

Di lingkungan tempat tinggalnya, Bang Taufik juga dikenal gaul dan tidak sombong. Sebuah pribadi yang menyenangkan untuk dijadikan teman. Beliau senang ngobrol, tidak pandang siapa pun. Bang Taufik pernah bilang, "Orang gila sekali pun kalau ngomongnya bener guwe dengerin", he he, emang kedengaran seperti bercanda saat itu. Tapi saat ini, saya benar-benar kehilangan kalimat itu bang, sungguh...

Hari-hari selanjutnya, saya masih sering kontak beliau. SMS saya selalu dijawab, dia kalau lama nggak jawab SMS, pasti minta maaf begitu ada waktu balas SMS lagi. "Maaf ya, kemarin lagi sibuk banget... ye sok seleb nih guwe..." (abang bukan cuma selebritis buat saya, abang itu teladan yang baik)

Jujur, saya termasuk yang nggak percaya waktu rabu pagi kemarin dengar berita soal kecelakaan itu. Tapi itu benar.... itu benar bang Taufik. Sudah hampir satu tahun saya nggak pernah kontak beliau lagi... saya menyesal lama tidak menyapanya. Dan sekarang, itu semua sudah terlambat... maafkan saya bang, saya memang bukan siapa-siapa buat Abang, tapi mungkin saja Abang sempat bertanya-tanya kenapa saya tidak menghubungi Abang lagi. Sungguh bang, saya nggak mutusin silaturahmi kok...

Ya Allah, hamba-Mu ini benar-benar kehilangan sosok Abang yang baik. Jaga dia untukku ya Allah...

Gaw,
yang kehilangan abangnya... selamat jalan Bang Taufik

Monday, July 09, 2007

Dua Jendela

Boleh jadi ini tentang tips hidup sehat.

Ada dua jendela yang selalu kita buka untuk menjaga kesehatan. Pertama tentu saja jendela di rumah, di setiap kamar dan ruangan yang berjendela. Bukalah jendela setiap pagi agar terjadi sirkulasi udara pagi yang sehat menggantikan udara di dalam rumah. Tak hanya itu, jendela yang terbuka juga memungkinkan masuknya sinar matahari dan menghangatkan seisi rumah.

Jendela yang senantiasa terbuka, membuat udara di dalam rumah terus berganti dan selalu segar. Itu memungkinkan seisi rumah terus menerus mendapatkan kesegaran karena ruangan tidak lembab dan terlihat lebih cerah. Udara pagi mengalirkan kesejukkan, udara siang memberi kehangatan, dan semilir angin sore yang menembus celah-celah jendela menyajikan kelembutan senja.

Sebelum malam tiba, jendela pun harus ditutup kembali dengan membiarkan angin malam menerobos tipis di setiap himpitan jendela dan ventilasi rumah. Sekadar menjaga kehidupan terus berlangsung meski semua mata penghuni sudah terpejam.

Belum selesai…

Ada satu jendela lagi yang terus menerus dibuka setiap hari. Yakni jendela hati. Biarkan ia terus terbuka lebar agar menjadi terang dan menerima semua kebaikan kehidupan. Hati yang senantiasa terbuka memberi kesempatan dengki, iri, sirik, riya, angkuh, sombong dan segala keburukan hati keluar menjauh dari dalam hati.

Jiwa yang tertutup hanya akan membuat segala penyakit betah bersemayam dan terus menggerogoti dinding-dindingnya. Sekuat apa pun dinding jiwa itu, semakin lama akan terkikis habis sehingga tak mampu menjalankan perannya untuk menyaring dzat baik atau buruk untuk sang jiwa. Atau boleh jadi, tertutupnya jendela hati menyebabkan menebalnya karat di dinding hati sehingga lama kelamaan hati ini membatu.

Jika jendela rumah kita harus ditutup setiap malam menjelang. Jangan biarkan jendela hati tertutup. Biarkan ia terbuka terus menerus tanpa perlu menguncinya rapat-rapat. Tak peduli pagi, siang, maupun malam hari, teruslah membuka hati agar sesiapa pun yang bertamu ke dalam hati Anda merasakan ketentraman dan kedamaian.

Dengan selalu membuka semua jendela di hati, pikiran jernih, sikap bersih, tindakan pun terarah. Dari hati yang senantiasa terbuka, segala apa pun yang terserap ke dalamnya akan bermakna kebaikan. Bahkan sebuah kritik pedas pun akan terasa manis. Semoga

Gaw
sedang belajar terus melebarkan jendela hati
http://gawtama.multiply.com

Thursday, July 05, 2007

Namanya Sudah di Genggaman Allah

Hariyana Hermain, nama ini sudah tercatat dengan indah sebagai salah satu yang akan segera mengunjungi rumah Allah. Yana, demikian panggilan wanita ini, sungguh tidak menyangka dirinya mendapat kesempatan luar biasa, menunaikan umroh memenuhi panggilan Allah. Kisah Yana tentu menambah daftar panjang kisah-kisah ajaib dan mengagumkan tentang orang-orang yang pergi ke tanah suci.

Yana dipercaya oleh sahabat-sahabatnya di kelompok pengajiannya untuk menjadi bendara kelompoknya. Pengajian yang dilakukan setiap pekan itu beranggotakan sebelas orang dengan satu pembina. Selama beberapa lama pengajian berlangsung, terkumpullah uang sejumlah 1,7 juta rupiah. Atas usulan salah seorang temannya, uang itu pun ditabung di salah satu bank syariah nasional. Bahkan temannya yang bekerja di bank tersebut juga yang membantu Yana mengurusi pembukaan rekening, termasuk mengisi formulirnya.

Maha Suci dan Kuasa Allah yang mengatur setiap jengkal perjalanan manusia, setelah beberapa lama uang itu ditanam di bank, teman Yana yang bekerja di bank tersebut memberikan kabar gembira, “Yana, nama kamu terpilih sebagai salah satu yang mendapat hadiah umroh…”

Yana senang bukan main, tak lupa ia mengucap syukur atas kehendak Allah. Namun ia menggantungkan rasa senangnya itu sejenak, karena ia sadar bahwa uang yang ditabungnya bukan miliknya sendiri, melainkan milik jamaah pengajiannya. Maka dalam kesempatan pengajian berikutnya, Yana mengantarkan berita ini ke forum. Sang pembina pun tak lupa mengucapkan syukur, meski kemudian semuanya sepakat bahwa hadiah itu belum sepenuhnya hak Yana. Sebelumnya, Yana pun sempat bertanya kepada pihak bank apakah hadiah tersebut bisa dialihkan, ternyata bisa.

Ada sebelas anggota dalam kelompok pengajiannya, dan dari sebelas itu, tujuh orang sudah pernah pergi ke tanah suci dan merelakan jatah umroh itu untuk empat yang belum pernah. Akhirnya, diundilah empat nama, termasuk nama Hariyana. Siapa pun nama yang keluar setelah dikocok, maka dialah yang akan berangkat umroh. Sungguh Allah Maha Kuasa, Maha Menentukan apa pun yang akan berlaku di muka bumi ini, ketika empat nama itu dikocok, keluarlah satu nama; Hariyana Hermain.

Semua yang hadir bertakbir seraya mengucap syukur, semakin yakin bahwa Allah sudah menggariskan semuanya. Nama Yana memang sudah berada di genggaman-Nya, Allah memang sudah menentukan memanggil Yana untuk menjumpai Allah di tanah suci.

Selamat jalan Yana, semoga keberkahan mengiringi keberangkatanmu ke tanah suci. Kami berharap tak berapa lama lagi bisa menyusul Yana ke tanah suci… (Gaw)

Seberkas Senyum dari Cerita Lama

Seorang sahabat lama, baru-baru ini menelepon untuk janji bertemu. Entah apa yang terjadi dengannya, setelah sekian lama tak ada kabar darinya, tiba-tiba ia menelepon saya dan meminta kesediaan untuk bertemunya. Terakhir yang saya tahu tentangnya, ia telah sukses menjalankan usahanya di bidang percetakan. Bahkan kabar dari sahabat yang lain, “kalau kita masih berdebu, dia sudah kedinginan,” maksudnya, saya dan beberapa sahabat lain masih terus menerus kena debu lantaran masih menggunakan kendaraan roda dua, sedangkan sahabat yang satu ini sudah memiliki kendaraan roda empat yang cukup bagus.

Isterinya juga bekerja dan menduduki level midle management di kantornya, sehingga ia bisa menyekolahkan dua anaknya di sekolah elit, salah satu sekolah mahal di Jakarta. Buat orang seperti saya, harus memeras keringat sampai tetes terakhir untuk bisa mendaftarkan anak saya ke sekolah itu. Itu pun baru sekadar mendaftar, belum lagi biaya bulanan dan lain-lainnya. Rumahnya pun cukup besar, type 72 di sebuah kawasan perumahan mewah cukup terkenal. Singkatnya, saya menilai hidupnya sangat bahagia!

Tetapi pagi itu, suara di seberang telepon lebih terdengar seperti suara murung, suntuk dan kehilangan semangat. “Ada apa kawan?” tanya saya ringan sekadar membuatnya merasa menemukan sahabat. Lalu dia bilang, “Saya bosan dengan kehidupan saya … tolong bantu saya?”

Ah, awalnya agak aneh mendengar kalimatnya. Apa yang membuatnya bosan menjalani kehidupan? Segalanya ia punya. Isteri yang cantik, anak-anak yang mempesona, rumah mewah, mobil bagus, uang pun ada. Setiap akhir bulan ia tinggal menentukan kemana harus berlibur, domestik maupun ke luar negeri ia mampu. Tidak ada barang yang ia tak punya, setidaknya ia mampu membelinya jika berminat. Tapi kenapa? Kenapa justru ia merasa bosan dengan kehidupan yang dijalaninya?

Saya menduga ia terlalu lelah dengan bisnisnya. Karenanya saya minta ia meluangkan waktu bersama keluarga untuk rekreasi ke suatu tempat yang belum pernah dikunjunginya. Saya pun menyebut beberapa tempat sebatas yang saya tahu; Nusa Dua, Bunaken, Bukit Tinggi, … jawabannya: sudah! Malah dia menyebutkan nama-nama daerah lain yang masih sebatas mimpi untuk saya kunjungi. Itu berarti usul saya tidak diterima.

Kemudian ia mendesak lagi, “ayo bantu saya…” saya pun kelimpungan dibuatnya. Tawaran saya untuk ambil cuti selama beberapa hari dan menghabiskan waktu sepenuhnya bersama keluarga pun ditolak mentah-mentah. “Bukan itu masalahnya…” seraya menjelaskan bahwa hubungannya dengan isteri dan anak-anaknya tidak ada masalah secuilpun, bahkan sangat hangat dan harmonis.

Hingga akhirnya, saya memintanya untuk bertemu di suatu tempat. Sebelumnya ia meminta saya menemuinya di sebuah cafĂ© resto, namun saya menolaknya. Saya menyebut satu tempat yang membuat ia merasa kaget mendengarnya, “Ah, gila… masak saya harus ke tempat itu lagi?” Bahkan, sebelum hilang kagetnya saya membuatnya bertambah bingung, “jangan pakai baju bagus, jangan bawa kendaraan, naik angkot saja”. Lagi-lagi singkat komentarnya, “Usul gila apa lagi nih?” saya menutup telepon dengan mengatakan, “saya tunggu jam delapan malam ini…”

Saya bertaruh dia tidak akan datang malam itu ke tempat yang saya tentukan. Saya tidak yakin ia mau kembali ke masa lalu, ke tempat ia dan sahabat-sahabat lamanya –termasuk saya- biasa bercengkerama menikmati malam, menyeruput segelas kopi bersama, menyantap penganan kecil seperti kue putu atau gorengan bakwan, tempe dan pisang goreng. Mengingat kembali masa-masa diwaktu sama-sama tidak punya uang, padahal sudah makan sekitar delapan gorengan. Dengan segala hormat kepada si tukang gorengan, sahabat saya ini memberikan arloji kesayangannya kepada tukang gorengan sebagai alat pembayaran. Tertawalah semuanya karena si tukang gorengan sangat bahagia dan membiarkan kami menghabiskan banyak dagangannya.

Atau ketika di satu malam kami kemalaman dan tidak berani pulang ke rumah masing-masing, akhirnya tidur di masjid dengan ditemani ratusan nyamuk. Esok paginya, nyamuk-nyamuk itu tidak bisa terbang lantaran kegendutan oleh darah yang dihisap dari tubuh-tubuh kami. Maka berlombalah kami mengejar nyamuk-nyamuk yang keberatan badan untuk terbang itu dan menepuknya.

Semoga ia juga masih mengingat di satu malam yang lain, ketika ia datang dengan baju lusuhnya. Kemudian saya mempersilahkannya mengenakan baju yang saya bawa di tas. Saya masih ingat betul, hingga detik ini pun baju itu tidak pernah kembali. Tapi cukup senang jika mengingatnya, bahwa apa yang saya miliki bermanfaat untuk sahabat saya.

Sungguh terlalu banyak yang harus diingat dari masa lalu. Namun… saya ragu, apakah dia mau datang malam ini? Padahal saya sudah mengundang beberapa sahabat lain untuk juga datang.

Jam delapan lebih sembilan menit, sesosok bayangan tegap pun singgah. Saya dan beberapa sahabat lama memeluknya erat. Sepiring gorengan dan beberapa gelas yang siap dituangkan kopi dan teh sudah tersaji. Lahap ia menyantap beberapa potong gorengan dan menyeruput kopi. Tiba-tiba, “Siapa yang bayar nih? Punya uang nggak?” meledaklah tawa kami memecah keheningan malam itu. Sungguh, itu pertanyaan yang sama persis ketika dulu kami tidak punya uang untuk membayar gorengan.

Esok paginya, saya kembali mendapat telepon darinya, “terima kasih, ternyata saya hanya perlu kembali kepada sahabat dan mencoba menikmati masa lalu yang terlalu indah untuk dilupakan”.

Saya pun tersenyum. Begitulah sahabat, saya pun takkan pernah bisa meninggalkan sahabat-sahabat lama yang telah banyak memberikan suntikan semangat di masa lalu. Kadang kita hanya perlu memutar kembali peristiwa lampau, dan jika mengingat lagi apa-apa yang telah terlalui di waktu silam, seberkas senyum akan selalu tercipta. Dan senyum itulah yang kerap membuat hidup ini lebih terasa indah. Semoga… (gaw)

Penyumbat Rezeki

Hardi, seorang pedagang kelontong yang cukup berhasil di kotanya. Namun jangan lihat keberhasilannya sekarang sebelum tahu faktor apa yang menjadi penyebab usahanya maju dan lancar.

Setahun yang lalu, Hardi mengadukan nasibnya kepada guru ngajinya. Ia mengaku sudah lebih sebelas tahun mencoba berbagai usaha namun selalu kandas di tengah jalan. Usaha pertamanya sudah dimulai saat ia baru memasuki kuliah tingkat dua, sekitar tahun 1994. Saat itu, ia mendapat pembagian warisan dari orangtuanya yang belum lama meninggal dunia. Jiwa bisnisnya memang sudah terlihat semenjak kecil, jadi wajar jika kemudian ia mendapatkan uang warisan dalam jumlah yang cukup banyak, maka yang terbersit di kepalanya adalah bisnis.

Maka, beberapa bulan kemudian ia membuka sebuah warung makan. Mulanya, warung makannya berjalan normal, bahkan bisa dibilang sangat laku keras. Mungkin karena ia melakukan promosi sangat gencar, selain karena ia termasuk anak muda yang memiliki cukup banyak relasi meski pun usianya masih sangat muda. Jadi sangat mudah baginya untuk mengundang sahabat, kerabat dan relasinya untuk sekadar mencicipi warung makan miliknya.

Entah kenapa, selang tiga bulan kemudian satu persatu pelanggan meninggalkannya. Tak banyak lagi yang makan di warungnya, sehingga dalam waktu tak berapa lama ia terpaksa menutup usahanya dan gulung tikar. Ia pun berganti usaha yang lain dengan sisa modal yang ada.

Usaha barunya, tak jauh berbeda dengan sebelumnya. Masih seputar makanan. Kali ini ia membuka usaha catering yang melayani makan untuk kantor-kantor di kota tinggalnya. Alhamdulillah ia dipercaya seorang rekannya yang bekerja di sebuah perusahaan untuk memasukkan catering untuk makan siang beberapa karyawan. Untuk sebuah awalan, catering untuk sekitar 20 karyawan dianggapnya bagus. “mulanya 20, insya Allah menjadi 200, 2000 dan seterusnya…” semangat Hardi berapi-api.

Alih-alih bertambah pelanggan, rupanya Allah berkehendak lain. Yang 20 pun menyetop langganan catering kepada Hardi, sementara selama satu bulan penuh itu ia belum mendapatkan pelanggan baru. Akhirnya, ia pun kembali mengalami kebangkrutan. Demikian seterusnya hingga lebih sepuluh tahun kemudian ia berganti jenis usaha selalu menemui kegagalan.

Pada satu kesempatan ia mengadukan perihal kegagalan demi kegagalan usahanya kepaada guru mengajinya. Ia menceritakan secara detil semua jenis usaha yang pernah dicobanya dan bagaimana sampai akhirnya semua usahanya gagal. “Saya harus usaha apalagi guru, saya sudah kehabisan modal. Bahkan saat ini saya memiliki hutang yang tidak sedikit…” keluhnya.

Guru tersebut tak lantas memberikan jawaban dengan menyebut satu bentuk usaha baru yang patut dicoba Hardi, melainkan meminta Hardi mengingat-ingat sesuatu di masa lalu. “coba ingat, pernah punya hutang atau tidak di masa lalu? Atau pernah punya sangkutan berkenaan dengan rezeki orang lain atau tidak di masa lalu…” tanya sang guru.

Dahi Hardi mengerenyit, mencoba mengingat-ingat masa lampaunya. Rasa-rasanya ia tak pernah punya hutang kepada siapa pun, justru sebaliknya ia malah mengingat kembali daftar nama-nama yang pernah berhutang kepadanya. “Coba lebih keras mengingat, mungkin nilainya kecil, tapi boleh jadi itu yang menjadi penyumbat rezekimu…”

“Astaghfirullah…. “ Hardi teringat sesuatu. Ia pun segera menyalami sang guru dan mohon pamit seraya berucap terima kasih. Pria itu segera memacu kencang kendaraannya menuju suatu tempat. Dalam hati ia berharap cemas, “semoga masih ada warung itu…”

Tidak kurang dari tiga belas jam waktu yang ditempuh Hardi menuju Semarang, mencari satu tempat yang pernah ia singgahi hampir dua belas tahun yang lalu. Tiba di tempat yang dituju, ia tidak menemukan lagi warung mie ayam tempatnya makan dahulu. Kemudian ia mencoba bertanya kepada orang-orang di sekitar perihal tukang mie yang pernah berjualan di situ.

“Ya, tukang mie itu bapak saya. Sekarang sudah tidak berjualan lagi. Sekarang bapak sedang sakit parah…” seorang anak menceritakan ciri-ciri fisik penjual mie ayam itu, dan Hardi yakin sekali itu orang yang dicarinya. Tanpa pikir panjang, ia minta diantarkan ke rumah penjual mie untuk bertemu langsung.

Ketika melihat kondisi penjual mie, Hardi menitikkan air mata. Ia langsung meminta beberapa anggota keluara membopong penjual mie itu ke mobilnya dan segera membawanya ke rumah sakit. Alhamdulillah, jika tidak segera dibawa ke rumah sakit, mungkin penjual mie itu tidak akan tertolong. Seluruh biaya rumah sakit tercatat mencapai lima belas juta rupiah, dan semuanya ditanggung oleh Hardi.

Beberapa hari kemudian, setelah kembali ke rumah, bapak penjual mie itu mengucapkan terima kasih kepada Hardi. “Bapak tidak tahu harus bagaimana mengembalikan uang biaya berobat itu kepada nak Hardi. Usaha dagang bapak sedang susah…” Hardi berkali-kali mencium tangan Pak Atmo, penjual mie itu. Matanya tak henti menitikkan air mata, ia sedang berusaha menyatakan sesuatu, namun bibirnya terasa sangat berat.

Akhirnya, “… semua sudah terbayar lunas pak. Saya hanya minta bapak mengikhlaskan semangkuk mie ayam yang pernah saya makan tanpa membayar dua belas tahun silam”, Hardi terus menangis berharap keikhlasan itu didapatnya. Saat itu, sehabis makan ia langsung kabur memacu sepeda motornya dan tak membayar semangkuk mie seharga 1.500 rupiah.

Pak Atmo memeluk erat tubuh Hardi dan mengusap-usap kepala pria muda itu seraya berucap, “Allah Maha Pemaaf, begitu pun semestinya kita…”.

Perlancar dahulu rezeki orang lain, agar tidak menyumbat rezeki kita.Wallaahu ‘a’lam bishshowaab (Gaw)

Wednesday, July 04, 2007

OB Juga Manusia

Ini cerita tentang persahabatan, juga tentang hal-hal kecil yang memanusiakan. Kita tidak akan menyadarinya sampai suatu waktu seseorang mengungkapkan betapa berartinya hal kecil yang pernah kita lakukan untuk orang lain.

***

Ada yang selalu dilakukan Hendi setiap pagi dan sore di kantornya. Sebuah sapaan khas selalu diucapkannya setiap pagi kepada Surya, office boy (OB) kantor tempatnya bekerja. “Assalaamu’alaikum mas Surya, apa kabar? Keluarga sehat?” tentu saja yang disapa merasa senang dan membalasnya dengan senyum. Begitu pun setiap sore menjelang pulang, setiap kali berpapasan dengan Surya, “Mas Surya, saya pulang dulu ya, salam buat keluarga di rumah. Assalaamu’alaikum”.

Kadang jika siang hari, saat semua karyawan bergegas keluar kantor untuk makan siang, Hendi terlebih dulu mampir ke pantry menemui Surya. “Sudah makan siang mas?” yang ditanya selalu menjawab dengan senyum khasnya plus sejumput kalimat singkat, “saya sudah bawa pak, silahkan bapak makan duluan”. Hendi tak sekadar menyapa, sebetulnya dia sudah tahu jika hampir setiap hari Surya selalu membawa kotak makanan yang disiapkan isterinya dari rumah.

Tidak setiap hari Surya membawa kotak makan, Hendi tahu itu. Sebab ia sering membuka lemari di pantry tempat Surya biasa menyimpan kotak nasinya. Begitu ia tak mendapati kotak nasi, maka bukan pertanyaan “sudah makan siang mas?” melainkan sebuah ajakan tak berbunyi. Hendi menarik tangan OB itu dan mengajaknya ke kantin untuk makan bersama. Meski seringkali Surya menolak halus, “maaf pak, saya harus menuangkan air putih ke gelas-gelas yang sudah kosong”.

Suatu hari, Hendi mengajukan surat pengunduran diri dari kantornya. Ia mendapat tawaran bekerja di perusahaan lain dengan jabatan yang lebih tinggi dan sudah pasti gaji yang juga lebih besar. Karena Hendi merupakan salah seorang manager terbaik di perusahaan itu, pimpinannya berupaya mencegah Hendi meninggalkan kantor itu. Demi dapat menahan lelaki itu pindah pekerjaan, pimpinannya menawarkan promosi jabatan dan gajinya dinaikkan.

Namun Hendi tak bergeming dengan tawaran itu. Tekadnya sudah bulat untuk berpindah kantor. Pun seorang Sarah yang menahannya, lelaki itu tetap pada pendiriannya. Sarah, gadis cerdas, cantik dan profesional yang selama hampir setahun dekat dengan Hendi tak berhasil membuat Hendi mengurungkan niatnya.

Selama lebih dari dua pekan, segala upaya pimpinan dan semua rekan kantornya menahan Hendi tak membuahkan hasil. Sampai akhirnya hari yang ditentukan itu pun tiba. Hendi memeluk satu persatu rekan kerjanya, mulai dari pimpinan perusahaan, para manager partner kerjanya, dan semua staff di perusahaan itu. Tetes air mata Sarah pun tak membuat hatinya mendung, “kita masih bisa bertemu kok…”, katanya.
Orang terakhir yang hendak dipeluk Hendi adalah Surya. Sang OB yang sejak mengetahui rencana kepindahan ‘sahabatnya’ itu sering terlihat murung. Hendi mendekati Surya dan memeluk tubuh kecil lelaki itu. Saat memeluk sang OB, terasa gerimis di hatinya mendengar kalimat, “selama saya bekerja di sini, hanya pak Hendi yang benar-benar memanusiakan saya. Saya tidak tahu apakah masih bisa mendengar sapaan di pagi, siang dan sore seperti yang biasa bapak lakukan untuk saya…”

Pelukannya semakin kuat dan Hendi merasa tak ingin melepaskan Surya. Ia menjatuhkan tas di tangannya dan meminta Surya untuk meletakkannya kembali ke meja kerjanya. “Tolong letakkan kembali barang-barang saya di meja kerja saya ya mas…” pintanya.

***

Ketika tidak ada yang mampu membuat seseorang mengubah pendiriannya, sahabat bisa. Sapalah sahabat, dan lihatlah betapa berharganya Anda baginya.

Gaw
Thx Hen, untuk inspiring story-nya
klik juga; http://gawtama.blogspot.com

Tuesday, July 03, 2007

Testimoni? (saya menangis untuk email ini...)

Siang ini saya terima sebuah email dari salah satu pembaca buku saya, saya copy paste langsung isi email tersebut -dengan tak menyebut nama pengirim emailnya- sebenarnya bukan maksud riya atau apapun niatan yang buruk. Saya cuma mau katakan, berbuat apa saja yang kita mampu, sekecil apapun itu, boleh jadi akan menyelamatkan saudara kita. Insya Allah... (sungguh, saya langsung menitikkan air mata membaca email di bawah ini, dan saat memposting di MP ini pun saya masih menitikkan air mata... ya Allah...)


***

Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarokatuh…

Mas Gaw,

Apa kabarnya? Semoga mas Gaw dan keluarga senantiasa dikasih sehat dan selalu dalam lindunganNYA, amin…

Melalui email ini saya ingin berbagi cerita mengenai sahabatku yang sekarang ini sedang merasa diuji olehNYA (ini menurut dia). Sebut saja nama teman saya Ani dan pacarnya Anto. Pada saat kami di Universitas, mereka termasuk kategori pasangan yang sangat ideal. Walaupun mereka beda Universitas, kerap kali Anto menunjukkan rasa kasih sayangnya kepada Ani, salah satunya dengan cara menjemput setiap kali Ani kuliah. Sampai kadang2 kedekatan mereka membuat kami2 ini merasa iri karena diperlakukan oleh pacar2 kami dengan biasa2 saja.

Alhasil hubungan mereka dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius, yaitu pernikahan. Walaupun saya dan Ani jarang ketemu setelah kami sama2 selesai menyelesaikan kuliah, kami berusaha saling berhubungan baik via telepon maupun pertemuan. Setelah bertahun-tahun kami tidak salaing berhubungan, sampai suatu hari teman saya (sebut aja Nia) mengabarkan ke saya bahwa Ani dalam kesulitan. Saya memberanikan diri untuk menghubunginya dan terjadilah pembicaraan yang mengejutkan saya. Ani cerita panjang lebar bahwa dia lagi diuji kesabarannya oleh Allah SWT, saya mendengarkan ceritanya dari A sampai dengan Z. Awalnya dia ingin mengakhiri hidupnya dengan cara menabrakan tubuhnya ke kereta api, tapi syukur alhamdulillah dia tidak melakukan hal bodoh ini karena masih mengingat ketiga anak2nya yang lucu dan selalu menanti dan mengharapkan kehadirannya setiap saat. Pada saat dia putus asa dan sudah tidak tahu harus berbuat apa, tiba2 dia menghubungi saya ditengah malam buta dan nangis tersedu2 bahwa dia sudah putus asa dan ingin mengakhiri segalanya karena saya panik mendengar keputusasaannya, saya memohon padanya tuk datang ke rumah saya dengan apapun kendaraan yang dia tumpangi. Alhamdulillah dia sampai dengan selamat. Dia cerita semuanya masalah pelik yang sedang ia alamin dan hadapin, saya hanya menjadi pendengar yang baik dan berusaha memberi nasihat jika diminta. Akhirnya ia tidur di rumah saya untuk menenangkan hatinya.

Keesokan harinya pas dia mau pulang, saya hanya menitipkan 2 buku dan berpesan kepadanya "Kamu baca ini dua buku karangan Bayu Gawtama dan kamu kembaliin setelah selesai seluruhnya kamu baca, Insya Allah jiwa kamu akan tenang dan kamu akan tahu apa makna arti hidup ini…."

Subhanallah…setelah beberapa hari kemudian, Ani telpon saya hanya untuk mengucapkan terima kasih atas saran saya tuk membacar buku karangan mas Gaw. Alhamdulillah sampai hari ini, apapun badai yang menerpa kehidupannya, dia tetap tegar dalam mengarunginya.

Semoga kita senantiasa bisa saling berbagi untuk saling menguatkan iman kita masing-masing, aminnn…ya robbal alamin....

Once again, thanks for being my friend for sharing…..
Salam,
D G

Monday, July 02, 2007

Dikunjungi Guru

Untuk menjaga keikhlasannya, saya harus merahasiakan nama beliau. Tapi sungguh, saya mendapatkan pelajaran banyak dari lelaki ini.

Sabtu pagi, beliau mengirim satu message, “Saya tahu bahwa hari sabtu adalah hari keluarga, namun jika berkenan saya ingin sekali silaturahim ke rumah…” kira-kira seperti itu bunyi SMS-nya.

Jujur saja, saya merasa bingung dengan rencana silaturahim bapak tiga anak asli Surabaya ini. Alasan pertama, jelas saya merasa malu. Meski belum pernah bertemu sebelumnya, tapi saya tahu persis usia beliau lebih tua dari saya. Soal silaturahim memang tidak mengenal hirarkis, tapi seyogyanya saya lah yang mendahului bersilaturahim ke tempat beliau. Kedua, saya merasa tidak siap bertemu dengannya, meski pun –lagi-lagi- saya belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.

Setelah melalui beberapa pemikiran, selang satu setengah jam kemudian saya baru membalas SMS-nya, “Insya Allah pak, silahkan, dengan senang hati jika bapak mau berkunjung ke rumah saya…”

Harap-harap cemas saya menanti kedatangannya, saya khawatir beliau tersesat di jalan mengingat ia besar di Surabaya dan (mungkin) belum terlalu hapal daerah Jakarta dan sekitarnya. Terlebih lagi, tempat tinggal saya bukan di Jakarta, melainkan di Sawangan, Depok, pinggiran Jakarta yang sebenarnya sudah memasuki wilayah Jawa Barat.

Beliau pun kirim SMS ke sekian, bahwa dia sedang mencari pengantar yang mengerti seluk beluk jalan di Jakarta dan sekitarnya agar tidak tersesat. Santun sekali bapak ini, beliau tidak hendak menyebut “driver” dan menggantinya dengan kata “pengantar”. Sungguh, belum bertemu pun saya sudah kagum dengan bapak ini dan saya semakin penasaran sekaligus bersemangat untuk segera bertemu dengannya.

Selepas dzuhur saya menunggu beliau sambil membaca-baca buku di kamar, namun ternyata saya ketiduran. Hingga menjelang pukul 15.00 WIB, isteri saya membangunkan dan memberitahu bahwa tamu saya sudah datang. Dalam mata yang masih terlihat baru bangun tidur, saya menemui beliau dan langsung menyalaminya.

Nyaris dua jam –setelah dipotong sholat ashar- kami berbincang tentang banyak hal. Saya jadi sedikit lebih tahu siapa beliau dan latar belakangnya. Sedikit tentang keluarganya dan banyak hal berkenaan dengan pengalaman hidup yang ia ceritakan. Dan yang terpenting, saat itu saya benar-benar terkelu dan tidak bisa banyak berbicara. Saya kadung dibuat kagum dengan senyum, keramahan dan kharisma yang menempel di diri dan jiwanya. Saya merasa tidak harus berkata apa-apa dan nyatanya memang tidak sanggup berkata-kata ketika ia bercerita banyak tentang perjalanan hidupnya. Jujur saja, saya merasa tengah dikunjungi seorang guru besar yang mengajarkan makna dan hakikat hidup.

“Luar biasa” ini kalimat saya yang terbetik untuk guru yang satu ini. Jika harus menyebutkan nilai hikmah yang saya dapatkan dari kunjungan guru saya ini, tentulah tidak cukup berlembar-lembar saya menuliskannya. Betapa ia telah mengajarkan sifat rendah hati (tawadhu’) dengan berkenan berkunjung ke rumah saya yang lebih muda, pelajaran tentang kesantunan juga diberikannya. Belum lagi soal makna hidup, tentang skenario Allah atas diri setiap manusia, dan lain sebagainya.

Intinya, itu kunjungan yang luar biasa. Yang saya tidak tahu apakah saya bisa membalasnya sebaik –tidak yakin bisa lebih baik- caranya bersilaturahim ke rumah saya. Tapi saya tetap berkewajiban membalasnya dengan cara yang saya mampu. Oya, salah satu pesan penting yang saya dapatkan dari beliau sebelum masuk kendaraannya, “Saya juga menjalani hidup dari bawah, mulai dari kecil. Jalani saja…”

Terima kasih,

Gaw
Terima kasih untuk seorang guru yang baru saja bersilaturahim di Sabtu siang