Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Friday, December 15, 2006

Menembus Malam Demi Sepuluh Ribu

Motor yang saya tumpangi merambat pelan di tepi jalan Pasar Ciputat, Tangerang, Banten. Waktu menunjukkan hampir pukul dua belas malam ketika sorot lampu motor saya menembak seraut wajah mematung berdiri hanya beberapa meter di depan. Matanya terpejam, padahal ia dalam keadaan berdiri, sementara di pundaknya menyangkut sehelai tali yang tersambung ke sebuah kotak seukuran kardus air mineral.

Yanto nama pemuda itu, ia salah satu dari belasan penjual rokok ketengan di Pasar Ciputat. Beberapa detik kemudian, tak sengaja jari tangan kiri ini menekan klakson motor, dan... Yanto pun terkaget. Saya merasa bersalah telah membangunkannya dari 'mimpi'. Boleh jadi, saat tertidur dalam keadaan berdiri itu ia tengah bermimpi melayani serbuan pembeli rokok hingga barang dagangannya malam itu habis terjual. Atau bahkan, ia sedang menikmati indahnya menjadi juragan rokok di kampungnya. Tetapi bunyi klakson saya barusan membuyarkan mimpi indahnya.

“Maaf mas,…” Saya jadi kikuk sendirian merasa bersalah telah mengagetkannya. Akhirnya saya menghampirinya untuk membeli beberapa butir permen. “Rokoknya nggak mas?” tanya Yanto berharap. Saya harus meminta maaf untuk kedua kali lantaran memupuskan harapannya, lantaran saya tidak merokok. “Kalau permen untungnya kecil pak, lagi pula permen ya cuma pelengkap saja. Siapa tahu ketemu pelanggan seperti bapak yang tidak merokok,” jelasnya.

Saya tertarik dengan keterangannya tentang ‘untung yang kecil’ dari jualan permen. Tapi bukan untung permen yang saya tanya, melainkan untung dari jualan rokoknya. “Seribu, paling besar seribu lima ratus untuk sebungkus rokok,” terangnya. Padahal, sering terlihat para pedagang rokok ketengan itu menjual rokoknya tidak bungkusan, melainkan ketengan lantaran pembeli rokok mereka pun bukan dari kalangan menengah ke atas. Pelanggannya biasanya membeli rokok satu atau dua batang saja, dan tak jarang untuk meladeni pembeli dua batang rokok itu harus sambil berlari mengejar angkot atau bis yang melaju.

Pernah satu kali saya melihat seorang pedagang rokok terjatuh saat mengejar angkutan umum, padahal ia hanya melayani seorang pelanggan yang hanya membeli sebatang rokok. Berapa sih untungnya? Kalau sebungkus rokok isi 24 hanya seribu rupiah, berapa untung dari sebatang rokok? Itu harus dibayar mahal tatkala ia tersungkur di jalan raya, hingga semua rokok dagangannya berantakan. Sebagian masih diselamatkan, tapi jauh lebih banyak yang patah dan tak bisa terjual lagi.

Yanto, seorang pedagang rokok ketengan di pinggir jalan kecewa karena saya hanya membeli permen lantaran untung yang didapat dari menjual permen itu kecil. Jika demikian asumsinya menjual rokok itu untungnya besar. Tetapi nyatanya, ‘besar’ yang dimaksud hanyalah seribu atau seribu lima ratus rupiah untuk sebungkus rokok?

“Berapa bungkus rokok terjual setiap malam?”

Yanto sumringah, senyumnya tak menampakkan satu pun masalah dengan jumlah rokok yang berhasil dijualnya setiap malam. “Alhamdulillah pak, sekitar sepuluh sampai lima belas bungkus”, kembali ia menutup kalimatnya dengan senyum.

Seketika hati ini berteriak keras, “Hey, dia begitu bahagia!”, padahal hanya sekitar sepuluh ribu atau dua puluh ribu yang dibawanya pulang untuk makan anak dan isterinya. Tetapi aura kesyukuran atas rezeki yang didapatkan hari itu yang membuatnya tetap tersenyum. Bandingkan dengan kita, kadang masih terkecut setiap kali menerima transferan gaji di rekening dan berujar, “Gaji segini, mana cukup?”

Yanto dan belasan pedagang rokok ketengan lainnya, setia menemani malam hingga pagi menjelang, hanya untuk mendapatkan sepuluh ribu rupiah. Namun wajah dan senyumnya menyiratkan rasa syukur yang tak bertepi atas nikmat dan rezeki yang masih bisa didapatnya. Ternyata benar, kebahagiaan tak mengenal status. Sebab kebahagiaan bukan terletak pada apa yang dimiliki seseorang, melainkan tertanam jauh di dalam hati orang-orang yang senantiasa bersyukur atas yang diperolehnya.

Gaw

2 comments:

Anonymous said...

Sekarang saya mengerti kenapa di surga banyak orang miskin, karena mereka tidak punya apa2 untuk dihisab, membaca postingan ini membuat saya jadi bersyukur tentang nikmat yang Allah berikan pada saya dan keluarga saya. Terima kasih banyak ya mas gaw....menyentuh sekali

pupuk organik said...

pupuk organik : Hasil Panen Berkwalitas : Kandungan Nutrisi, Rasa, & Daya Simpan.