Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Sunday, July 31, 2005

Nyanyian Cinta untuk Pak Mardjo

SMP Negeri 207 Jakarta Barat sangat beruntung pernah memiliki seorang guru olahraga bernama Pak Sumardjo. Pria baik hati yang lebih sering menjadi sahabat bagi siapa pun siswa di sekolah itu, ketimbang sebagai guru. Ya, diah guru sekaligus sahabat semua siswa, terlebih kami, tim pramuka, Palang Merah Remaja (PMR) dan tim gerak jalan sekolah.

Dari sekian banyak kebersamaan dengannya yang tak mungkin terbilang, ada satu penggalan episode yang tak akan bisa terlupakan, setidaknya oleh saya, dan mungkin oleh sebagian besar anggota tim gerak jalan PMR. Hampir seluruh tim putra dan putri bersedih karena kami tak memenangkan satu pun trophy yang disediakan panitia dalam lomba tersebut. Berbagai cara dan petuah Pak Mardjo kali ini tak mampu menembus pekat hati kami yang terselimuti kekecewaan. Perjalanan dari Kantor Walikota DKI Jakarta Barat menuju sekolah pun diliputi keheningan, nyaris tak satu pun dari anggota tim yang bersuara di dalam mobil angkot yang kami sewa.

Gelegar dan kilatan petir pun masih belum mampu memecahkan kebekuan, justru menambah suasana semakin pekat. Rintik hujan semakin deras, perjalanan semakin terasa lama karena jalanan mulai tergenang air. Saya ingat, saat itu baru sampai di kawasan Slipi, Jakarta Barat. Sebuah mobil mogok di depan mobil kami, dan sepuluh menit sudah kami tak bisa jalan lantaran mobil depan pun belum maju barang sesenti. Melihat kondisi seperti itu, Pak Mardjo turun dan membiarkan sepatu dan celananya basah, genangan air di jalanan sudah sampai ke betis.

“Dari pada terus sedih, nggak ada gunanya, mending kita dorong mobil di depan,” suara beratnya terdengar sejuk memecah keheningan dalam mobil. Saya dan beberapa teman pun langsung menceburkan diri di jalanan yang airnya semakin ke atas itu. Bahu membahu mendorong mobil yang mogok agar ke tepi, maksudnya agar mobil kami bisa berlalu melewatinya. Setelah mobil mogok itu sampai di tepi, berlomba kami masuk kembali ke dalam mobil, tapi tidak dengan Pak Mardjo. Ia justru menuju mobil lain yang juga mogok. Tangannya hanya mengayun lembut mengajak kami turun kembali. Tanpa menunggu hitungan ketiga, kaki-kaki kecil kami kembali terendam di genangan air. Tidak terasa, empat mobil sudah yang kami dorong dan tidak sadar kami melupakan semua kepahitan kekalahan dalam lomba pagi tadi. Hanya keceriaan dalam rintik hujan dan banjir yang menghiasi wajah kami.

Semoga berkat tangan-tangan kecil dengan tenaga yang kecil pula inilah, kami tak lagi terjebak macet akibat banjir itu. Beberapa pemilik mobil yang menawarkan uang pengganti lelah untuk kami ditolak halus oleh Pak Mardjo, “Kami hanya membantu, insya Allah ikhlas” sayup suaranya terdengar.

Di dalam mobil, sisa-sisa lelah masih nampak jelas dari nafas kami tersengal. Pak Mardjo tertawa senang melihat kami tak lagi sedih, “Nampaknya kalian sudah bisa melupakan kekecewaan tadi pagi. Itu karena kalian baru saja berbuat hal terbaik yang tidak semua orang melakukannya,” jelas sekali kalimat itu hanya terukir dari lidah lelaki bijaksana sahabat kami, Pak Mardjo.

***

Suatu hari saat kuliah, sebuah kabar sampai ke telinga saya. Pak Mardjo, guru sekaligus sahabat kami itu berpulang menemui Kekasihnya, jiwa tenang yang penuh cinta itu kembali kepada Pemiliknya. Tak ada air mata yang keluar dari sudut mata ini, karena apa pun tentangnya bukanlah kesedihan, melainkan bangga dan kagum yang tak terlukiskan.

Saya baru saja menyadari, bahwa aksi Pak Mardjo di genangan air itu adalah salah satu pelajaran terpenting yang tak pernah ia ajarkan di dalam kelas. Pelajaran tentang berbagi kepada siapa pun yang membutuhkan, berbagi tanpa perlu ada kepentingan di baliknya, berbagi tanpa perlu berpikir apa yang bisa didapat sesudahnya. Pak Mardjo, telah benar-benar menanamkan benih cinta yang teramat dalam, sehingga benih itu kini telah tumbuh dan terus menghiasharumi hati ini untuk dapat dibagi kembali kepada siapa saja.

Pak Mardjo, sungguh bunga cinta itu masih terawat indah dalam hati ini.

Bayu Gawtama
Nugraha, Teguh, Wasis dan Dicky, masih ada Pak Mardjo di hati kalian kan?

1 comment:

Anonymous said...

Senang yah masih punya banyak kenangan indah.......