Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Tuesday, May 03, 2005

Segenggam Gundah (Ode untuk Para Ayah)

Subuh tadi saya melewati sebuah rumah, 50 meter dari rumah saya dan melihat seorang isteri mengantar suaminya sampai pagar depan rumah. "Yah, beras sudah habis loh..." ujar isterinya. Suaminya hanya tersenyum dan bersiap melangkah, namun langkahnya terhenti oleh panggilan anaknya dari dalam rumah, "Ayah..., besok Agus harus bayar uang praktek".

"Iya..." jawab sang Ayah. Getir terdengar di telinga saya, apalah lagi bagi lelaki itu, saya bisa menduga langkahnya semakin berat.

Ngomong-ngomong, saya jadi ingat pesan anak saya semalam, "besok beliin lengkeng ya" dan saya hanya menjawabnya dengan "Insya Allah" sambil berharap anak saya tak kecewa jika malam nanti tangan ini tak berjinjing buah kesukaannya itu.

Di kantor, seorang teman menerima SMS nyasar, "jangan lupa, pulang beliin susu Nadia ya". Kontan saja SMS itu membuat teman saya bingung dan sedikit berkelakar, "ini, anak siapa minta susunya ke siapa". Saya pun sempat berpikir, mungkin jika SMS itu benar-benar sampai ke nomor sang Ayah, tambah satu gundah lagi yang bersemayam. Kalau tersedia cukup uang di kantong, tidaklah masalah. Bagaimana jika sebaliknya?

Banyak para Ayah setiap pagi membawa serta gundah mereka, mengiringi setiap langkah hingga ke kantor. Keluhan isteri semalam tentang uang belanja yang sudah habis, bayaran sekolah anak yang tertunggak sejak bulan lalu, susu si kecil yang tersisa di sendok terakhir, bayar tagihan listrik, hutang di warung tetangga yang mulai sering mengganggu tidur, dan segunung gundah lain yang kerap membuatnya terlamun.

Tidak sedikit Ayah yang tangguh yang ingin membuat isterinya tersenyum, meyakinkan anak-anaknya tenang dengan satu kalimat, "Iya, nanti semua Ayah bereskan" meski dadanya bergemuruh kencang dan otaknya berputar mencari jalan untuk janjinya membereskan semua gundah yang ia genggam.

Maka sejarah pun berlangsung, banyak para Ayah yang berakhir di tali gantungan tak kuat menahan beban ekonomi yang semakin menjerat cekat lehernya. Baginya, tali gantungan tak bedanya dengan jeratan hutang dan rengekan keluarga yang tak pernah bisa ia sanggupi. Sama-sama menjerat, bedanya, tali gantungan menjerat lebih cepat dan tidak perlahan-lahan.

Tidak sedikit para Ayah yang membiarkan tangannya berlumuran darah sambil menggenggam sebilah pisau mengorbankan hak orang lain demi menuntaskan gundahnya. Walau akhirnya ia pun harus berakhir di dalam penjara. Yang pasti, tak henti tangis bayi di rumahnya, karena susu yang dijanjikan sang Ayah tak pernah terbeli.

Tak jarang para Ayah yang terpaksa menggadaikan keimanannya, menipu rekan sekantor, mendustai atasan dengan memanipulasi angka-angka, atau berbuat curang di balik meja teman sekerja. Isteri dan anak-anaknya tak pernah tahu dan tak pernah bertanya dari mana uang yang didapat sang Ayah. Halalkah? Karena yang penting teredam sudah gundah hari itu.

Teramat banyak para isteri dan anak-anak yang setia menunggu kepulangan Ayahnya, hingga larut yang ditunggu tak juga kembali. Sementara jauh disana, lelaki yang isteri dan anak-anaknya setia menunggu itu telah babak belur tak berkutik, hancur meregang nyawa, menahan sisa-sisa nafas terakhir setelah dihajar massa yang geram oleh aksi pencopetan yang dilakukannya. Sekali lagi, ada yang rela menanggung resiko ini demi segenggam gundah yang mesti ia tuntaskan.

Sungguh, diantara sekian banyak Ayah itu, saya teramat salut dengan sebagian Ayah lain yang tetap sabar menggenggam gundahnya, membawanya kembali ke rumah, menyertakannya dalam mimpi, mengadukannya dalam setiap sujud panjangnya di pertengahan malam, hingga membawanya kembali bersama pagi. Berharap ada rezeki yang Allah berikan hari itu, agar tuntas satu persatu gundah yang masih ia genggam. Ayah yang ini, masih percaya bahwa Allah takkan membiarkan hamba-Nya berada dalam kekufuran akibat gundah-gundah yang tak pernah usai.

Para Ayah ini, yang akan menyelesaikan semua gundahnya tanpa harus menciptakan gundah baru bagi keluarganya. Karena ia takkan menuntaskan gundahnya dengan tali gantungan, atau dengan tangan berlumur darah, atau berakhir di balik jeruji pengap, atau bahkan membiarkan seseorang tak dikenal membawa kabar buruk tentang dirinya yang hangus dibakar massa setelah tertangkap basah mencopet.

Dan saya, sebagai Ayah, akan tetap menggenggam gundah saya dengan senyum. Saya yakin, Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya. Semoga.

Bayu Gautama

7 comments:

abhirhay said...

nice post gaw?

Ozzan said...

Mmm.. makasih nasehatnya mas.. Sebagai ayah baru saya hrs banyak belajar :)

Anonymous said...

Salam kenal mas Gaw, tulisannya bagus banget "down to the earth".
Saya jadi teringat masa-masa berat ayah saya ketika kami sekeluarga masih kecil dimana beliau harus mencari nafkah dari pagi hingga larut malam dan bahkan hari liburpun ia habiskan untuk mencari tambahan uang untuk menghidupi keluarganya.
Jadi sedih mengingat beliau, dan sekarang tiba saatnya saya sebagai seorang ayah untuk berjuang demi keluarga saya.
Seperti kata mas Gaw, saya juga yakin bahwa Allah suka terhadap orang-orang yang tersenyum dan ringan melangkah di balik semua keluh dan gundahnya.
"Tetap Semangat."

Wass.
@deSoe

Anonymous said...

om bayu,...ayah saya dulu diangkat pegawai negeri setelah saya umur hampir 1 tahun. Diwaktu saya sd kelas 3, beliau kerja sambilan menjahit pakaian bayi orderan dr pabrik di rumah disamping ngajar bhs arab di sebuah madrasah aliyah negeri. Kata ibu, selesai menjahitnya ktnya bisa ampe jaam 12 malem lebih.
Perasaan bersalah pernah hadir, karena dulu ama kakak pernah maksa minta dibelikan mainan monopoli yg harganya cukup mahal dulu bagi saya. waaa....
Anak kecil itu kadang belum mengerti ya....sebentuk apakah gundah yang dimiliki orang tua mereka. walau sampai sekarang ayah belum bisa jadi orang kaya sekalipun...

Anonymous said...

subhanallah pak bagus sekali, mendidiku untuk berfikir lebih arif. doakan ya pak, jika suatu saat nanti mendapat pendamping hidup, saya ga ngerepotin. Intinya jadi istri kreatif gitcu..:D..syukran wa jazakallah khair pak atas tulisannya..

L. Pralangga said...

Dear Gaw,

It has been a blessing for me to have the one that has never been giving any worries. And your entry reminded me to always be gratefull for having her and it's time for me to visit home as well. Keep up the inspirational entry going...

From across the ocean, I salute you! ;-)

Anonymous said...

Boleh share kan mas tulisan2 ny.. aq suka pake bgtt