Anak Betawi yang Keliling Dunia Lewat Blog

Kate siape anak Betawi kagak bise maju? siape kate anak Betawi pade males dan banyak nyang jadi pengangguran? Bukan maksud nyombong atawe unjuk gigi, aye cuma ngasih tau kalo kagak semue anak Betawi kayak nyang ente kire...

Ini cuman persembahan kecil dari anak Betawi asal Tomang, Jembatan Gantung. Mudah-mudahan bise ngasih semangat sedikit ame semue orang, terutame anak betawi yang masih pade bingung idup mau ngapain? Nyok nyok nyoookk...

Thursday, February 17, 2005

Mentari Tak Jadi Bersinar Pagi Itu

“Abang mau kemana? Baru dua hari di rumah kok sudah mau pergi lagi. Abang nggak sayang sama Aya…”

Erat Hayati memegang pergelangan tangan Gagas. Ia seperti tak rela membiarkan abangnya pergi. Dadanya masih terasa sesak setelah kepergian bapak dan ibunya. Jilatan api yang mengganas tak hanya menghanguskan rumah mereka, tetapi juga dua orang yang teramat dicintainya.

Lidah api yang menjulur-julur berkelebatan terus menyambar dan menjalari semua sudut ruangan dalam rumah mungil itu. Adzan shubuh belum lagi tiba, tapi Hayati dan para tetangga bangun lebih pagi dan bersimbah dengan air. Bukan untuk berwudhu, tapi menyirami udara dingin pagi itu yang seketika menjadi panas yang menyesakkan.

Semua terbangun pagi itu, ayam jantan pun terbangun meski ia tak sempat berteriak memanggil pagi seperti biasanya. Tapi ada yang tak bangun pagi itu, dua sosok yang hangus terbakar berpelukan yang terlupa dibangunkan oleh Hayati. Dua sosok yang semestinya lebih dulu diselamatkan, kini menjadi penyesalan yang menyesakkan.

“Abang mau pergi. Pergi meninggalkan kedukaan ini,” aku Gagas sambil melepaskan pegangan tangan adiknya.

Perlahan tangis Hayati mengisak, mencoba menggerus perasaan abangnya dengan segukannya. Gagas tegap berdiri, dan tetap ingin pergi.

“Sudah lah ya, nggak perlu cengeng begitu,” pinta Gagas.

“Tapi abang masih menyalahkan Aya kan? Iya kan? Abang menganggap kematian bapak dan ibu karena Aya kan?” tangisnya menjadi, tak sekadar segukan.

Gagas tetap berdiri mematung. Sebentar kemudian ia raih pundak Hayati dan memeluknya erat.

“Abang tak pernah berkata begitu kan?”

“Tapi bang…”

“Adik abang yang manis, abang pergi bukan karena benci Aya. Bukan juga menyalahkan Aya atas semua ini. Abang cuma ingin…” Gagas tak melanjutkan kalimatnya.

Aya menatap harap wajah abangnya itu, menunggu barisan kata berikut menghujani telinganya. Namun sejujurnya ia hanya siap dihujani kalimat yang menenangkan, bukan yang kan mengombakkan lagi tangis di hatinya.

***

Empat tahun meninggalkan rumah berlayar jauh ke negeri jiran mengais rezeki menjadi kuli bangunan tak menyurutkan kesabaran Gagas. Bulir-bulir keringat di antara kepulan debu bangunan, tetesan darah yang sering terabaikan dari kaki yang tergores seakan berbicara tentang kesungguhan tekad lelaki muda itu mewujudkan sebuah mimpi Bapak. Pergi ke rumah Allah.

Lelaki kecil berperawakan kurus itu memanggul beban yang tak sebanding dengan bobotnya. Menahan seribu rindu akan buaian kasih tangan ibu dan untaian nasihat hangat dari Ayah.

Masih jelas senyumnya dengan mata menerawang membayangkan bapak dan ibunya mengenakan kain putih dan lantang menjawab panggilan Allah, “labbaikallahumma labbaik…” saat menggenggam gaji pertamanya.

Pupuslah rasa rindu, hadirlah bayang cinta bapak dan ibu menerima oleh-oleh cinta sang anak berupa kain putih dan mukena untuk ihram yang ia beli dari negeri jiran. Empat tahun hasil keringatnya dirasa cukup untuk biaya dua orang ke baitullah.

“Bapak, Abang pulang dua hari lagi. Insya Allah bapak bisa pergi haji tahun ini,” kalimat terakhir Gagas dari ujung telepon.

Tak pernah terbayang oleh Gagas bahwa kain putih yang dibawanya untuk dipakai bapak berihram, justru digunakan untuk membungkus tubuh hangus sang cinta. Begitu juga ibunya. Empat tahun membunuh rindu hanya untuk melihat dua sosok tubuh yang mengenaskan, bahkan Gagas pun kesulitan saat hendak mengecup kening bapak atau ibu.

“Kalau abang ada di rumah, Bapak dan ibu takkan begini,” ucap Gagas saat kecupnya mendarat di kening pekat bapak.

***

Hayati, gadis kecil itu hanya bisa menahan bayang Gagas yang semakin jauh meninggalkannya. Seperti daun kering yang terlepas dari dahannya, terbang tersapu angin menari mengikuti iramanya. Semakin tinggi membubung, merunduk sedikit sudah diterpa hembusan berikutnya, seterusnya begitu hingga lembar yang tak lagi berwarna hijau itu hilang di ujung pandangan.

Tinggal dahan kering yang tak berdaun, Hayati menunggu semu bayang yang tak pernah kembali. Berbilang minggu, purnama dan masa terlewati tanpa lelah di gerbang harap. Tapi daun yang telah kering itu tak lagi pernah kembali.

Kehadiran Gagas sempat menawarkan hangat mentari bagi Hayati. Tapi mentari benar-benar tak hendak bersinar pagi itu, ia terbang bersama bayang yang menyatu dengan cahayanya.

“Kepergian bapak dan ibu amat menyedihkan, tapi Alhamdulillah masih ada bang Gagas,” Hayati mulai menampakkan senyumnya kepada para tetangga yang bersimpati padanya.

Tapi belum hangat dahaga itu, Gagas pergi meninggalkannya. Hayati bisu seketika. Tatapannya kosong, matanya melambai melepas kepergian Gagas. Tapi ia hanya bisa diam, dan kepergian Gagas menyisakan sejuta tanya.

“Mengapa Abang pergi meninggalkan Aya? Abang mau kemana? Baru dua hari di rumah kok sudah mau pergi lagi. Abang nggak sayang sama Aya…”

Mungkin Hayati hanya bisa berharap. Berharap dan terus bermimpi. Kelak mentari membangunkannya di pagi hari dan mengajaknya terbang menyatu dengan bayang yang pernah meninggalkannya.

***

Nyanyian pagi menggugah Hayati membuka jendela kamarnya. Daun-daun dari pohon rambutan yang tumbuh persis di dekat jendela kamarnya memainkan irama yang khas. Irama yang keluar dari sentuhan burung pipit yang hinggap dari satu dahan ke dahan lain, satu, dua, lebih lima burung itu berputar dan berganti tempat hinggap. Seperti sekelompok balerina yang tengah mempertunjukkan kebolehan tarian angsa putih yang menawan, burung-burung itu tak hentinya berpindah.

Sesosok bayang muncul dari terpaan sinar mentari yang langsung masuk ke kamar gadis kecil itu. Sosok yang pernah dirinduinya. Perlahan mendekat bayangnya menjadi sosok yang jelas. Lelaki itu, bukan yang pernah ia rindui.

Sepucuk surat yang membawa kabar dari negeri jauh,

“Abang tidak akan pernah bisa menjawab kenapa Abang meninggalkan Aya. Karena abang pun tidak pernah mendapatkan jawaban dari bapak dan ibu kenapa mereka pergi meninggalkan kita”

Sebulir air sebesar jagung menyembul di sudut mata Hayati.

“Jika surat ini tiba di tangan Aya, mungkin abang sudah entah dimana. Sungguh abang terus mencari jawaban itu meski abang harus menempuh satu-satunya jalan: mengunjungi bapak dan ibu”

Tak hanya sebulir. Kolam tangis terbentang di bening mata gadis yang sendiri itu. Mentari benar-benar tak jadi bersinar pagi itu. Mungkin selamanya.

Bayu Gautama

2 comments:

Gawtama said...

nggak juga, niatnya nggak gituh. cuman pas di tengah cerita, saya nemunya itu untuk latar belakang kenapa si Gagas nggak ada di rumah saat kebakaran... gituh aja

DH Devita said...

hmm...seperti biasanya,...
ngalir, 'kaya' kosa kata, kalimat2 yang indah, konflik yang sebenernya gak rumit2 amat alias sederhana-bisa jadi 'bercerita' dengan panjang lebar...[ya gak sih? hehhe...gak baca semua soalnya]..

alaah, pake sok gak bisa nulis fiksi lagi...kalo emang dari sononya emang udah 'mellow' mah...ngaku aja! hehehehe